Curiosity

103 3 1
                                    

"Curiosity is the most powerful thing you own."

-James Cameron


Abim

"Siapa yang bisa bikin lo sampe kayak gini?"

Tadinya gue udah berniat untuk main PS sepuasnya dirumah sebagai bentuk pelampiasan atas ulangan sejarah yang bikin lemah otak. Gue bukannya bego sejarah, selama ini nilai sejarah gue baik - baik aja, cuma gue males aja ngafalin tanggal pertempuran, apa gunanya coba mengingat yang sudah berlalu? Dan disinilah gue sekarang, menunggu Rara yang lagi latihan Paskibra karena Nino sang manusia super sibuk itu, yang notabene nya kakak Rara sedang rapat buku tahunan sekolah.

It's okay, Rara itu anaknya asik dalam kondisi apapun. Dari awal gue kenal dia, gue memang ngerasa ada suatu hal yang bikin gue nyaman sama dia—ralat—semua orang, bukan hanya gue. Rara is the type girl who can share positive energy for everyone around her, semacam mood maker gitu ngerti gak? That's why Rara bisa berbaur sama banyak orang, dari berbagai latar belakang. Coba aja lo dateng ke Airlangga dan tanya yang namanya Narasya Parasayu Rasendriya, pasti semua orang dengan senang hati akan menjelaskannya ke lo.

Dari semua temen Nino, bisa dibilang gue yang paling deket sama Rara, deket banget malah. Tapi bukan berarti kami pacaran. Gue sama Rara tuh lebih ke temen yang enak buat diajak bertukar pikiran. Dan lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk gue tau kepribadian Rara yang sesungguhnya.

Gue ngeliat jam tangan, jam setengah lima sore. Seharusnya Rara udah selesai latihan, gue mengalihkan pandangan dari jam tangan gue ke arah lapangan dan mendapati Rara sedang berlari - lari kecil ke arah gue. Rambutnya dikuncir satu, mukanya merah padam tapi masih bisa senyum ke gue. And yep, dalam kondisi apapun Rara tetep cantik.  Gue pun langsung memberikan dia sebotol air mineral yang diterimanya dengan senyum sumringah.

"Wah, makasih. Yang lain emang pada kemana Bim?" Kata Rara lalu meminum air mineralnya.

"Nino ngurus BTS, Radif hunting tempat foto, Nathan sama Faiz main PS dirumah Faiz," Jawab gue, sementara Rara mengangguk-anggukan kepalanya, "Emang sendirinya gak mau main PS? Tumben." Cibirnya.

"Maunya sih gitu, tapi gue harus mengantarkan tuan putri sampai rumah," Kata gue dengan nada meledek, membuat Rara langsung cemberut sementara gue tertawa keras.

"Yaudah deh kita ke Citos dulu, terus ke Timezone, main sebentar," Kata Rara. Pas banget nih, gue emang butuh refreshing, pikir gue. "Basket, basket" Kata Rara lagi setengah judes, gue langsung tersenyum, mengingat permainan basket di Timezone yang selalu gue menangkan dengan skor telak kalo main sama dia.

"Oke." Kata gue. Dan kita berdua pun langsung melangkahkan kaki menuju mobil gue yang terletak di parkiran sekolah.

Sepanjang perjalanan menuju Citos, Rara cuma diam. Biasanya Rara akan menceritakan apapun dengan semangat, entah tentang Paskibra yang bisa bikin variasi formasi baru, ataupun tentang Khalisha—sahabatnya—yang harus lari keliling lapangan tujuh kali karena datang telat, namun kali ini tidak ada satupun cerita yang Rara bawa. Mulutnya terkunci dan matanya memandang kosong jalan raya dibalik kaca mobil.

"Ra," Panggil gue, membuat Rara menoleh ke arah gue dengan pandangan bertanya. "Ada yang mau diceritain?" Kata gue to the point.

Rara tersenyum sekilas, "Selalu ketauan ya, kalo sama lo," Katanya. "Always," Jawab gue tenang. Kemudian ia menghela nafas, "Bim, emang kalo orang dingin sama kita, berarti dia benci sama kita ya?" Tanyanya.

Verstecken LiebenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang