|3|

55 6 6
                                    

Gemerisik daun dan angin sepoi-sepoi mengisi pendengaran Bou dan Agashi. Bou ditarik secara paksa oleh Agashi saat pulang sekolah ke ruang kesenian yang letaknya di belakang gedung sekolah.

"Jadi?" tanya Bou memulai percakapan.

"Ehm. Lo masih marah sama Noah?"

"Kenapa memangnya? Dia sudah keterlaluan gitu. Males gue punya sahabat kayak dia," jawab Bou sembari memalingkan wajah.

"Jadi gini, sebenernya Noah itu udah lama banget suka sama lo," ujar Agashi. Ia pikir sekarang saat yang tepat bagi Boi untuk mengetahui kebenarannya.

Bou membelalakan matanya, seolah berkata; Yang bener lo?!

"Iya, maaf. Selama ini gue tahu, selama ini juga gue merahasiakan sesuatu dari kalian." Agashi mengambil nafas sejenak dan melanjutkan, "gue bisa baca pikiran orang. Gue ngerahasiain itu karena gue mau kalian tampil sejujur-jujurnya di hadapan gue."

Bou mengangkat alisnya. Spechles dengan perkataan Agashi barusan.

"Nah, kalo gitu berarti gue bisa dong tahu apa yang dipikirin Noah? Apalagi kita satu meja, waktu dia bilang dia suka Jasmine pas di kantin itu nggak sepenuhnya bener, gue tahu hatinya meraung-raung pengen nyatain yang sebenernya. Waktu dia chattingan pas kerja kelompok juga sebenernya dia nggak tega, dia mencoba buat bikin lo kesal sama dia dan bikin lo benci sama dia."

"Apa faedahnya dia ngelakuin itu sama gue?"

"Seno suka lo. Seno ngakuin itu semua di hadapan Noah. Itu alasan kenapa Noah berusaha menyembunyikan perasaannya ke lo biar Seno nggak sakit hati, dan biar lo juga melupakan dia. Gue tahu, Noah bego, gue juga bego. Karena secara nggak langsung gue menghalangi jalan Seno buat masuk ke hati lo. Tapi, ya gimana lagi? Gue nggak mau aja Noah jadi nggak sahabatan sama kita lagi. Gue harap lo gak salah ambil keputusan, dan gue mohon banget lo bisa jaga semua rahasia ini," ucap Agashi berusaha sesantai mungkin, agar Bou dapat mencerna dengan baik kata-kata yang ia ucapkan.

Agashi sudah memikirkan perkataannya sejak kemarin malam, ia gelisah. Kurang lebih ia tahu semuanya, dan ia memutuskan untuk mengungkapkannya pada Bou. Dan ia yakin Bou pasti mampu menyelesaikan masalah ini.

Bukan apa-apa ia hanya ingin persahabatannya tetap utuh, karena jodoh sudah ada yang mengatur apalagi mengingat umur mereka yang masih muda, masih banyak sekali jalan menuju Roma, begitu pikirnya.

Agashi pamit kepada Bou yang sedari tadi diam bergeming. Tidak ada air mata di sana, Bou dilema. Berusaha tidak meneteskan air mata lagi agar bisa berpikir jernih.

Sepanjang jalan pulang Bou hanya merenung. Berpikir keras, apa reaksi yang harus ia lakukan setelah mendengar hal ini? Apa ia harus meninggalkan ketiga sahabatnya itu? Atau ia akan menunggu, siapa yang paling mendapatkan hatinya? Atau ia berpura-pura tidak tahu saja? Mana yang harus dipilih?

Terlalu cepat baginya, baru saja kemarin ia sakit hati, sekarang ia harus dilanda dilema. Ah, iya. Dia butuh nasihat Ibu.

Sesampainya di rumah, Bou tidak melihat siapa pun. Diingatnya hari ini, hari rabu. Ibu pulang kantor seperti biasa, dan lagi dirinya yang tidak ada acara kumpul OSIS membuat ia harus menuggu lebih lama.

Bou bosan menunggu jam delapan malam, mengerjakan pr juga tidak mood, bermain ponsel? Ia tidak begitu nyaman dengan ponselnya, terlebih ia lupa belum mengganti wallpaper-nya yang semula adalah fotonya dengan Noah. Ia putuskan untuk tidur saja.

Tiga jam berlalu, sekarang Ibu Bou sudah pulang dan sedang menyiapkan makan malam.

"Bou, bangun nak," ucap Ibunya seraya menepuk-nepuk punggung Bou.

My BouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang