4.2

1.5K 145 18
                                    

Kapi menghentikan motornya di sebuah bangunan tingkat dua berwarna merah. Kapi memastikan lagi nomor rumah dari foto di ponselnya.

Snow Maharani. Lavender V/55.

Kapi tahu memfoto informasi pribadi pasien di rekam medis seharusnya tidak boleh dilakukan. Tapi ia juga tahu wanita ini membutuhkan bantuannya. Persentasi melukai diri sendiri sampai bunuh diri pada pasien schizophrenia mencapai 50%. Kapi tidak bisa berdiam diri saat mengetahui ia bisa melakukan sesuatu untuk pasiennya.

Tidak sulit menemukan rumah wanita itu. Rumahnya ada di sebuah kawasan perumahan yang cukup berada, dengan penjagaan beberapa satpam di ujung perumahan yang tadi meminta KTP-nya untuk bisa masuk.

Kapi melepaskan helmnya dan menaruhnya di spion kanannya. Ia baru saja turun dari motornya ketika ponselnya bordering.

"Halo, Kak..." Kapi menghela napas kecil sebelum akhirnya mengangkatnya. Seperti dugaannya, kakaknya mempertanyakan kenapa ia tidak online di skype-nya. Ipad-nya memang sengaja ia tinggalkan di kamar kos-nya. Lagipula, bagaimana menggunakan alat sebesar itu di atas motor, di jalanan?

"Maaf, Kak, aku ada pasien sekarang. Kuserahkan semuanya pada kakak. Kakak yang mengatur saja."

Kapi tidak menunggu jawaban Tiwi dan langsung menutup ponselnya. Perlahan, Kapi memasuki halaman depan tanpa pagar itu dan mengetuk pintu berwarna putih.

"Permisi?" tanyanya saat tidak ada yang membuka pintu. "Mbak Snow?"

Masih jam 1 siang dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Atau jangan-jangan penghuninya sedang bekerja?

Kapi hampir melupakan kemungkinan itu. Bisa saja wanita itu bekerja di hari Minggu seperti ini. Toh, sepertinya pekerjaannya berhubungan dengan seni yang biasanya bebas jam kerja. Kapi kembali teringat sketsa gambar wajahnya. Ia butuh jawaban atas keanehan itu. Gambar yang luar biasa mirip dengan wajahnya.

Kapi mencoba melongok dari jendela tapi jendelanya tertutup korden. Ia mengetuk lagi beberapa kali sebelum akhirnya mencoba membuka pintunya.

Pintu itu terbuka dengan mudahnya diiringi derit kecil. Sinar matahari langsung memasuki ruangan itu, memperlihatkan rumah yang bersih dan tertata rapi. Bukan rumah seperti ini yang ia bayangkan dihuni oleh seorang penderita schizophrenia.

Terlalu rapi. Terlalu bersih.

Kapi mulai berpikir ia salah rumah, tapi kemudian wanita itu muncul. Wajahnya masih sepucat tadi pagi.

"Snow?" tanyanya, kemudian cepat-cepat meralat. "Mbak Snow?"

"Saya dokter dari rumah sakit Sehat Sejahtera," jelas Kapi segera ketika ia melihat Snow membulatkan matanya, terkejut dengan kehadiran Kapi.

Wajah Snow berubah menjadi tegang selama... satu... dua detik saja.

"Maaf, saya tiba-tiba masuk. Pintunya tidak terkunci,"

"Kau Kapiten Samudra?" suara wanita itu terdengar tegas. Dan mengintimidasi. Ekspresi wajahnya sungguh berbeda dengan beberapa saat yang lalu.

"Ya. Saya hanya ingin berbicara dengan Anda."

"Saya tidak," Snow mengeraskan rahangnya. "Silakan Anda keluar."

"Anda mencari dokter Yudi tadi malam. Dan saya tahu Anda sedang butuh pertolongan." Kapi tidak menyerah begitu saja. Ia tidak boleh menyerah. Ia tidak boleh menyetujui ucapan wanita itu dan pergi begitu saja. Ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Toh, itulah tujuannya ingin menjadi psikiater. Menebus dosanya.

MoonlightingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang