5.2

551 86 2
                                    


Kapi sudah menanti-nantikan hari ini. Sepulang dari pendidikannya di rumah sakit Harapan Baru, ia segera bergegas mempersiapkan diri untuk pasien barunya. Ralat, pasien baru Arthur.

Rekam medis Snow Maharani sudah ia pelajari. Memang tidak bisa ia bawanya dari rumah sakit Sehat Sejahtera, tapi toh isinya hanya obat-obatan apa saja yang pernah dikonsumsi wanita itu.

Dan hari ini ia tahu Arthur tidak berencana memberikan obat-obatan apapun. Kapi tahu langkah awal adalah membuat pasien itu mau bercerita. Kapi tidak sabar mendengarkan hasil konsultasi mereka. Ia hanya berharap Arthur mau membocorkan sebanyak-banyaknya tentang pasien ini, meski ia sangsi. Kerahasiaan informasi dokter-pasien adalah hal utama, terutama pada kejiwaan. Tapi Kapi berniat merayu Arthur.

"Saya dengan dia?" Tanya Snow setelah ia mendengar penjelasan Kapi. Mereka berada di dalam ruang praktek Arthur, duduk berhadapan di sofa.

Kapi mengangguk. "Dokter Arthur adalah psikiater yang cukup terkenal. Saya yakin Anda ada di tangan yang tepat."

Meski Kapi tahu dan mengagumi kemampuan Arthur, tapi ia pernah perlu memujinya. Selama ini, yang terjadi adalah sebaliknya. Arthur yang akan memuji Kapi di depan teman sejawatnya yang lain. Namun hari ini, ekspresi ragu dari Snow membuat Kapi mengeluarkan pujian itu.

Snow menggeleng tidak suka. Ini tidak sesuai dengan perjanjian mereka. Ia akan dirawat dokter itu. Dokter yang mirip Sam. Ia perlu ditangani dokter Kapi. Harus.

"Anda yang akan merawat saya," ucap Snow tegas sambil menatap Kapi. Pemuda itu tersenyum lebar, seakan sudah menduganya.

"Saya belum lulus jadi spesialis, Mbak. Jadi maaf saya belum bisa merawat Mbak. Tapi dokter Arthur adalah mentor saya selama kuliah. Kalau Mbak percaya saya, saya bisa pastikan..."

"Kita baru bertemu kemarin, kenapa saya harus mempercayai Anda?" jawab Snow ketus.

Kapi membuka mulutnya, hendak menjawab. Kemudian ia menutupnya kembali. Ia tidak punya jawaban.

"Kalau Mbak bersikeras, hari ini dokter Kapi yang akan merawat Mbak," Arthur tiba-tiba menyela.

Kapi mengerutkan dahinya, tapi ia membiarkan Arthur berbicara.

"Tapi karena sebenarnya Kapi belum bisa menangani pasien, dan ini adalah klinik saya, maka saya akan mensupervisi," lanjut Arthur.

Snow langsung mengangguk. Ada satu syarat lagi yang diutarakan dokter yang lebih tua itu, tapi baginya itu bukan hal yang baru. Setiap sesi konsultasi mereka akan diabadikan. Aka nada kamera kecil yang dipasang di ruangan itu. Snow menyetujuinya, asalkan Arthur harus keluar dari ruangan. Ia bisa mensupervisi dari hasil rekaman itu.

Setelah mereka bertiga setuju, hanya Kapi dan Snow yang tinggal di dalam ruangan itu. Kapi berusaha menyapanya dan mengawali konsultasinya. Sayangnya, sudah lima menit berlalu, tapi tak sepatah katapun terucap. Setidaknya, tidak tentang kondisinya.

"Sekarang saya kedinginan, dokter bisa matikan ACnya."

Begitu Arthur keluar, Snow mengomentari apapun yang ada di ruangan itu. Sofa berbahan kain yang menurutnya sudah 'menyerap' keringat dari berbagai pasien. Karpet berwarna abu-abu yang menurutnya terlalu pucat. Sampai piagam penghargaan yang memenuhi dinding yang semuanya menuliskan nama dr. ARTHUR FELIX, Sp. K.J.

"Dok... AC?" Snow bertanya lagi. "Dokter diam di situ saja nggak akan membuat ACnya mati."

"Dan Mbak duduk di situ saja nggak akan membuat saya mengenal Mbak, lho."

MoonlightingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang