1.2

1.9K 183 28
                                    



Snow tertidur sesaat dengan posisi melingkar dan mendekap tubuhnya rapat-rapat. Ia kedinginan tapi ia tidak bisa bergerak dari kasurnya. Ia tidak mau bergerak. Dan ia tidak tahu di mana ia melemparkan remote ACnya.

Tiba-tiba Snow tersentak kaget. Matanya yang bulat membesar, memenuhi wajah tirusnya yang pucat. Dadanya berdebar kencang dan kepalanya terasa berdenyut. Seakan ia baru saja lari dengan kekuatan maksimal dan tiba-tiba seseorang menghantamnya.

"Aku membangunkanmu?"

Snow mendongak, menatap samar wajah seorang pria yang berdiri menjulang di depannya, diterangi cahaya pucat bulan. Mungkin pria ini yang membuatnya terbangun. Mungkin. Atau mungkin otaknya yang menyentakknya, menyuruhnya bangun.

Snow memundurkan badannya ketika pria itu mengulurkan tangan ke wajahnya. Pria itu ikut menghentikan tangannya di udara, lalu tersenyum lembut.

"Ini aku..."

Snow memperhatikan sekeliling kamarnya dengak panik. Hanya ada mereka berdua di ruangan remang-remang ini.

"Kau... Sam... yang asli?"

"Aku Sam saja," pria itu terdengar jengkel. Tapi ia kembali mengangkat sudut bibirnya. "Ayo, sudah waktunya kau turun dari kasurmu. Kau tahu betapa baunya kamar ini? Betapa baunya dirimu?"

Lampu dinyalakan. Refleks, Snow mengerjap-kerjapkan matanya, berusaha menghalau sinar lampu yang begitu terang.

Saat Sam kembali mendekatinya, Snow baru menyadari Sam membawa segelas air dan sebuah botol kecil berwarna orange.

"Aku melihat catatanmu. Kau belum minum obatmu beberapa hari," Sam mengangsurkan obat itu ke depan Snow.

Snow hanya mendengus. Ia bangkit dari kasurnya, tubuhnya kesemutan semua. Ia berjalan sempoyongan ke arah kamar mandi. Beberapa kertas menempel di kakinya. Kusut. Mungkin salah satunya adalah sketsa untuk kliennya. Tapi ia terlihat tidak peduli. Tidak sekarang.

Snow berusaha mengingat berapa lama lagi waktu yang ia miliki untuk menyerahkan pekerjaannya, tapi ia tidak bisa. Di dalam otaknya hanya ada warna abu-abu pekat berasap. Ia bahkan tidak bisa mengingat hari apa ini. Atau apakah ia sudah menggosok gigi. Atau makan makanan yang layak.

Bayangan wajahnya di kaca membuatnya sedikit berjengit.

Matanya terlihat merah, dengan kantung mata kehitaman. Kaus berwarna putih dengan bercak kekuningan di sana sini yang ia kenakan terlihat kusut sekali.

"Kau tidak suka melihatku?" tiba-tiba Sam ada di sampingnya. Nada suaranya seperti merajuk, berharap Snow membahagiakannya dan menjawab 'tidak, aku senang kau di sini.'.

"Apa aku suka melihat mantan pacarku sendiri masuk tanpa izin ke rumahku?" balas Snow ketus, masih terpana dengan kondisi fisiknya.

Mantan pacar. Snow sudah terbiasa menyebut kata-kata itu sejak setahun yang lalu.

"Pintumu tidak terkunci," jawab Sam, seakan itu memberikan penjelasan yang cukup. "Dan aku mengkhawatirkanmu."

"Kau tidak meminum obatmu," tuduh Sam lagi.

Snow mendesah panjang. Ia tidak suka jika ada yang mengingatkannya tentang obat sialan itu. Ia tahu ia belum meminumnya. Itulah gunanya buku agenda berisi catatannya. Ia sengaja mengurangi dosisinya, lalu benar-benar tidak meminumnya beberapa hari ini.

Toh, ia sudah sembuh. Ia tidak perlu berkunjung ke dokter. Dan ia tidak perlu obat itu.

"Kau tidak perlu mencampuri urusanku," sentak Snow. "Mau aku minum atau aku buang, itu urusanku."

MoonlightingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang