BAB IKarena kami sudah ditakdirkan sebagai seorang keturunan, mau tidak mau kami ikut menanggung beban kehidupan yang berat
Fidelma mengatakan “Ketika kau ditakdirkan menjadi keturunan seorang Dissident, meskipun hatimu seorang Obedient, tetap saja tidak ada jalan.”
Kata-kata itu bukanlah bentuk rasa simpati seorang reporter eksentrik pada penduduk, melainkan hanya sebuah olok-olok yang membuat siapapun mual ketika melihat sosoknya muncul di layar kaca. Mungkin sebuah keberuntungan dia bisa diangkat jadi reporter tersohor oleh pusat semenjak siapapun tahu kalau Fidelma adalah kelahiran Plutter. Kawasan paling menyedihkan dari daerah lainnya yang dibatasi dinding melingkar. Salah satu dari dua dinding tempat tinggal para Dissident.
Meski usianya tak lagi muda, setiap hari sosoknya tak pernah absen dari layar kaca, bahkan porsinya mengalahkan para petinggi negara.
Synne mulai merenungkan kata-kata Fidelma di acara berita sepanjang waktu. Wanita itu menyatakan kalau cara menaklukan karakter penduduk dengan menyisipkan benda asing itu memang ampuh. Pilihan akhir pemerintah, selain hanya memberikan sanksi dan kurungan saat ada pelanggaran hukum. Terbukti memang, penduduk jadi lebih tenang dan damai sejak diterapkan peraturan: “Bahwa seorang Dissident, pada usia ke 20 akan diadisi sistem kecuali mereka yang berhasil mengikuti ujian negara.”
Dan itu jadi sangat mustahil untuk menghindar karena para Dissident tak pernah diberi keleluasaan, termasuk pelatihan sebelum ujian seperti yang didapatkan para obedient. Mereka hanya perlu menerima kenyataan dan bersiap-siap menerima hasil akhir yang pahit. Tidak muudah untuk mengikuti empat jenis ujian; kecerdasan, emosional, kekuatan dan strategi. Sekalipun mereka tahu hasil akhirnya adalah bisa hidup layak dan naik tingkat menjadi seorang obedient yang akan mengabdikan hidupnya untuk negara.
Itulah julukan negara pada dua karakter yang berbanding terbalik. Katanya, dahulu pernah terjadi pemberontakan massal yang membuat bangsa terpecah belah dan sistem negara runtuh. Dalam pergolakan itu terdapat dua kutub, mereka yang anti pusat dan abdi pusat. Para Dissident adalah keturunan seorang anti pusat yang diduga sebagai pelopor kehancuran sementara Obedient adalah mereka yang setia jiwa raga menaati peraturan pusat.
Untuk menghindari api kembali menyulut, bagi para Dissident pemerintah membuat aturan demi menyamai karakter setiap penduduk yaitu dengan mengadisi sistem di usia ke dua puluh. Mereka membual tentang penambahan alat itu sebagai bentuk peningkatan daya tahan tubuh akibat kondisi alam yang buruk. Nyatanya, lewat benda mirip jarum yang ditancapkan pada tulang belakang, perlahan perintah otak mereka dibajak dan dialihkan pada hal-hal positif menurut pusat. Setelah lima tahun berlalu mereka menjadi semi Cyborg berwatak dingin.
***Itu adalah peraturan baru.
Membayangkannya saja membuat Synne merinding mengingat usianya sudah menginjak tahun ke 17.
Dia sedang duduk di atas tembok berbahan tanah liat, menikmati ketenangan yang hanya terjadi sewaktu-waktu saja. Dia pernah dengar pepatah kalau sebaik apapun sebuah bangunan, yang terbaik adalah rumahmu sendiri. Begitulah yang Synne rasakan. Seburuk apapun Plutter atau tempat tinggal para Dissident lainnya, sekali lagi itulah yang bagi mereka terbaik. Tidak seperti kawasan para Obedient di dinding pertama sampai ketiga, para Dissident justru perlu mengatur strategi agar bisa melawan bencana. Kehidupan yang harus ditanggung seorang Dissident yaitu terserang wabah penyakit, kelaparan, diserang binatang buas, atau melalui hari-hari dengan suhu ekstrem; musim dingin yang terlalu dingin bahkan musim panas nyaris melepuhkan kulit. Kadang saat air menggenangi beberapa wilayah, ribuan orang memanjat dinding dan berdiam diri untuk beberapa waktu ke depan sampai air surut. Mereka tidak pernah benar-benar merasa aman dan harus siaga sepanjang waktu.
Di atas tembok, Synne melihat air laut mengelilingi negara CunKludge. Riaknya tak terlalu jelas karena masih pagi, tapi saat sore hari ombak biasa datang bergulung-gulung dengan hari yang mematang. Hal yang paling dia sukai adalah melihat sinar oranye matahari sore yang menyebar lalu tenggelam. Kadang Air laut merembes dan rakyat berbondong-bondong membangun lubang-lubang resapan dengan bor karatan. Selain tanahnya buruk, akibat genangan air laut yang mengering, kadang beberapa titik di Plutter juga ditimbun garam.
Synne mengawasi pergerakan itu di sana, di atas puncak tertinggi tumpukan bata tanah liat yang disusun berantakan. Dari sana dia hanya melihat titik orang-orang berbaju kumal saling bergerak mengeruk garam cokelat itu dan mengeringkannya menggunakan para-para berjajar di atas atap. Biasanya burung parkit akan terkecoh tapi tidak untuk itu. Aromanya yang terlalu amis dan menyengat membuat burung putih-biru tersebut urung untuk hinggap atau sekadar mengorek-ngorek mencari pakannya yang tersembunyi. Dia melihat burung itu melintas di atas kepalanya dengan bentangan sayap yang hanya berupa garis diikuti beberapa kawanan berwarna sama.
Trak!
Sebuah benda menyentak kepala Synne dan anehnya tidak ada tanda-tanda benda itu jatuh atau masuk ke dalam air. Dia mencari-cari, sampai saat pandangannya terpusat pada lelaki bertubuh jangkung, berambut keemasan dengan matanya yang lebih hijau saat tertimpa sinar.
“Ini Billonda, bola pejal yang bisa melayang melewati dinding-dinding itu,” Kane duduk di samping Synne. Tidak perlu takut, karena dinding itu bisa mendaratkan sebuah pesawat KludgeSky sekalipun, satu-satunya maskapai di negara CunKludge yang dimiliki oleh pemerintah. Pesawat sejenis Pilatus Porter dilengkapi rentang sayap kurang dari enam belas meter. Pemerintah dan para pengawal militer akan mendarat di sana dua kali setahun—saat hari dilakukan penyisipan atau perayaan negara. Siapapun yang berusia dua puluh harus rela ditanami sebuah benda di dalam tubuh mereka dan berubah menjadi semi cyborg.
Di tahun pertama memang tidak masalah bahkan sampai tahun kelima setelah benda itu ditanam. Tapi setelahnya, otak mereka perlahan disadap dan diolah secara perlahan. Seperti halnya tahapan menuju demensia, hingga terakhir mereka lupa seluruhnya selain kewajiban sebagai penduduk; membuat produk negara. Plutter ahli dalam hal memahat batu dan kayu. Menciptakan karakter sama tidaklah sulit bagi negara seperti CunKludge.
Kane memainkan bolanya. Synne yang sejak tadi melamun sambil menghirup udara panas, kali ini memegangnya. Bola itu berwarna hitam bertekstur mulus. Synne dan Jim seperti satu jiwa. Hanya di depan Jim, Synne bisa melihat gambaran dirinya sendiri. Pendidikan di CunKludge adalah hal langka atau nyaris tidak ada. Kegiatan itu dilegalkan hanya pada wilayah para Obedient, sementara untuk para Dissident, mereka tak bisa meminta hal lebih. Bahkan pusat latihan untuk bekal menghadapi kondisi wilayah yang fluktuatif pun hanya sebatas impian. Memang ada pelatihan membaca, tapi diwajibkan empat tahun saja bagi tiap keturunan Dissident. Memprihatinkan.
“Aku ingin hidup normal, Kane,” Synne menunduk, membayangkan perbedaan sorot mata ibunya lima tahun lalu dengan sekarang yang nyaris seperti tanpa jiwa. Tatapan dari bola mata hijau yang hidup dan hangat. Sayangnya itu dulu, sebelum ayah dan Flinch—kakak lelakinya—menghilang. Dulu ketika ibu dan ayahnya remaja, masih belum ada pemberontakan. Singkatnya para tetua di Plutter tidak pernah merasakan bagaimana persisnya penyisipan benda yang dimaksud. Hanya sebatas tahu saja.
Kane belum menjawabnya. Dia ikut menunduk, menatapi riak air di bawah kakinya dengan gelombang teratur. Dari permukaan air laut, Kane mampu melihat raut wajahnya yang sendu.
Synne tahu, lelaki itu juga sama halnya dengan dia. Mengenang masa lalu saat ayahnya masih ada.
“Beginilah hidup normal di CunKludge,” katanya sambil mengedikkan bahu. Kane melemparkan bongkah batu kecil, menimbulkan riak halus di permukaan air. “Memangnya kehidupan normal seperti apa yang ada dalam bayanganmu?”
Angin kecil menepuk pipi mereka berdua, menerbangkan anak rambut cokelat bergelombang Synne. Keduanya saling menatap lewat pantulan di atas air.
“Entahlah, mungkin sesuatu seperti berkumpul di ruang keluarga, mengganti tayangan Fidelma, mengoles selai blueberry ke atas roti putih, atau mendengar Ibu kembali menguntai senandung-senandung kecilnya yang sudah lama hilang. Kurang lebih.”
Belakangan Synne merasa wanita itu jadi orang lain dengan raut lebih kaku dan dingin.
Kane mengangguk. “Cukup sederhana. Tapi dulu kau sering mengeluhkan omelannya ‘kan? Bukankah bagus kalau ibumu jadi lebih pendiam?”
Synne menepuk Kane. “Tidak lucu, Kane.”
Keduanya saling bertatapan lalu melepaskan tawa mereka. Terdengar renyah dan panjang. Tapi entah kenapa justru tawa itu malah berubah memilukan sampai membuat tenggorokkan Synne tercekat. Bayangan masa lalu menjebaknya dalam rasa sesal tanpa ujung. Sungguh, yang paling menyakitkan dari kehidupan para remaja itu adalah saat mereka tinggal bersama keluarga tapi tidak terasa hidup sama sekali. Lalu saat pesawat datang, mereka melihat dalam perasaan ganjil bagaimana pesawat-pesawat itu membawa memori—mungkin bisa disebut jiwa—siapapun yang berada di usia kedua puluh akibat tubuh ditanami sebuah sistem.
Air matanya bergulir, tidak lama tawa itu berganti jadi menyakitkan. Dadanya berubah sesak. Tanpa sadar Synne terisak. Dia membiarkan air matanya jatuh menyatu dengan air laut.
“Synne?” Kane mengelus punggungnya.
“Tidak bisakah kita hentikan ini?” ujar Synne. “Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri, tanpa sebuah sistem. Memoriku utuh. Dan sekalipun hidup di wilayah yang rusak, tapi kita tetap jadi manusia sepenuhnya,” kali ini nada suaranya tampak memohon. Tapi Kane bukanlah seseorang yang memiliki kekuatan besar. Sama seperti lainnya, mereka hanya sepercik api dari bara yang besar, meskipun menghilang tidak akan menginduksi induknya untuk ikut mati. Kekuatan CunKludge adalah bara api, dan mereka hanya percikan api tanpa arti.
“Kalau begitu, sepertinya kita perlu membuat perlawanan kecil untuk membuat mereka sadar kalau remaja-remaja inilah yang akan membangun sebuah negara.” Kane bangkit berdiri dengan seringai senyum penuh arti. Synne tahu maksudnya. “Bagaimana?” tawarnya.
“Kukira, memang tidak ada yang lebih baik dari ini.” Senyum kembali terukir di bibir Synne.
Kane mengulurkan sebelah tangannya yang bebas lalu menarik Synne dari sana. Mereka sering jadi penyusup melewati batas-batas dinding berisi ruang-ruang rahasia yang sengaja dibangun untuk fungsi pengawasan, termasuk jalan menuju puncak tembok itu.
“Apa kita perlu menawarkan, Pitalite itu?”
Pitalite atau pita light sebuah lampu buatan dari bahan alga yang didapat Kane dari menyusuri sudut-sudut genangan air laut. Dia memang pandai berenang padahal ketinggian air dari dasar hampir sepuluh meter.
“Aku hanya butuh satu keping emas, itu sudah cukup,” Synne memainkan bola yang masih setia di genggamannya.
“Dia bertaruh lima keping emas.”
Tangan Synne membeku di udara, dia langsung berdiri hampir terjerumus dan terjun menghantam tanah berkerikil di bawah sana kalau saja Kane tidak tangkas menahannya.
“Kau belum mendapatkannya, jangan sampai nasibmu berakhir di sini.”
Mereka berdua bergerak menyusuri dinding yang memiliki topografi amat curam, menanjak, turun sampai rumpang di beberapa bagian. Tapi, kaki-kaki itu sudah terlatih. Di dekat rongga bulat tak sempurna, Kane menarik tali besar yang disimpul beberapa bagian, fungsinya untuk menggantung dan menjejak. Synne turun lebih dulu, sekitar dua menit gadis itu sudah sampai di bawah, di sebuah petakan gelap yang sengaja mereka bangun dari kayu lapuk sisa pembakaran untuk menutupi jalan rahasia itu dari berbagai pasang mata.
“Tak kusangka, kau semakin mahir saja memanjat dan turun dari dinding,” nada suara Kane setengah menyindir, karena Synne tampak menyamai levelnya. Lelaki itu menepuk kedua telapaknya yang berdebu di celana parasut berwarna hijau busuk.
“Itu tidak akan terjadi kalau bukan karena instruksimu,” Synne menyunggingkan bibir, membuka pintu kayu tanpa engsel.
Sebenarnya rumah petakan itu satu-satunya hunian berkayu di antara rumah warga yang sama di daerah Plutter. Semua kediaman dibangun dari batu alam berwarna hitam pekat berlainan masa. Semuanya berbentuk kotak: jendela kotak, bangunan kotak, cerobong asap kotak, hanya pintu yang dibuat melengkung. Rumah-rumah itu berdiri di atas tanah tandus dan kering.
Plutter merupakan kawasan dengan tipe tanah paling buruk di negara CunKludge karena hanya ditumbuhi tanaman Alder yang persediannya kian menipis akibat ledakan pertumbuhan penduduk. Awalnya mereka hanya menggunakan kayu-kayunya saja, mengulitinya untuk dijadikan bahan bakar saat musim dingin yang merontokkan tulang datang. Tapi akhir-akhir ini, beberapa remaja memiliki gagasan cemerlang dengan menjadikan pohon-pohon sebagai bahan pangan, daunnya yang lebar dan bergerigi diolah jadi lauk, getahnya dijadikan sirup, sementara kayu-kayunya dijadikan furnitur dan pondasi. Dan yang lebih mencengangkan, baru-baru ini Synne dan Kane berhasil mendulang prestasi dengan mengetahui fakta kulit kayu pohon Alder mengandung salicin, zat anti inflamasi yang terjadi murni akibat ketidaksengajaan.
Sejak saat itu, peradaban baru muncul di Plutter.
Peradaban pemahat batu dan kayu, menjadi pembuat sirup, dan peramu obat. Di tanah litosol mereka menemukan keajaiban baru dari pohon Alder. Sebuah harta yang mungkin saja tak dimiliki para Obedient.
Synne dan Kane mendengar sayatan-sayatan gergaji kayu yang sedang membentuk pohon-pohon berkulit hitam kasar itu sebelum akhirnya tiba di sebuah perempatan dan langkahnya memilih arah sebelah kanan, menyusuri jalanan berbatu dan sampai di gerbang berupa pintu besi yang menjulang. Akses keluar-masuk tiap-tiap daerah.
“Kau tunggu di sini, aku akan kembali secepat mungkin,” Synne membuat kesepakatan. Sebelum pergi dia memberikan sebuah kartu berserat, meninggalkan Kane untuk sementara dan membiarkan pria itu menunggunya beberapa waktu.
Langkah kaki Synne memang yang terbaik dari para gadis di Plutter. Perempuan berambut bergelombang kecokelatan itu memang tidak bisa dikatakan sebagai kaum feminis, dia terlalu lantang dan terang-terangan. Segala langkahnya dilakukan tanpa ragu termasuk menjadi pedagang terlarang dan pemburu. Tidak ada pilihan, Synne dan Kane dihadapkan pada krisis di usia belia mereka, mau tidak mau mereka harus memutar otak untuk membuat rencana menghadapi kondisi yang kacau balau. Meski tidak pernah tahu dunia pendidikan yang sebenarnya. Tapi di rumah-rumah, setiap warga wajib memiliki televisi—meskipun di Plutter benda tersebut hasil tukar guling—dari layar itulah mereka belajar otodidak. Meskipun setiap detik yang ditayangkan hanyalah Fidelma dan prestasi petinggi yang dibuat-buat.
Synne berjalan, membawa sebuah benda, modifikasi dari kaca yang tak terpakai. Benda itu berbentuk tabung memanjang. Di dalamnya terdapat alga hijau yang melayang-layang dalam cairan keruh berupa air tercemar limbah di sekitar aliran sungai kecil Plutter. Meski tahu berbahaya, masyarakat tetap saja menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari, karena tidak ada lagi sumber air bersih.
“Aku tidak tahu ini yang harus kubawa atau satunya lagi, tapi semoga saja ini yang berfungsi. Kalau tidak, kita harus kembali lagi melewati dinding-dinding ini,” dari raut wajah Synne terpancar kesenangan. Gadis itu sedang membayangkan hal-hal spektakuler kalau saja lima keping emas bisa digenggamnya. Tentu saja dengan resiko ketahuan dan hukuman bagi seorang pedagang liar yang nekat masuk ke kawasan para Obedient. Tentu saja ini juga sebuah pesanan ilegal.
“Berikan Pitalite-mu, biar aku saja yang membawanya,” Kane menawarkan diri, maksudnya tidak lain biarkan dia saja yang menanggung risiko yang akan dihadapi kalau saja aktivitas mereka ini terendus orang-orang pusat—tepatnya di lima dinding utama.
“Bukankah kita akan melakukannya bersama-sama?” Synne salah paham, dia menduga kalau Kane ingin menguasai benda itu secara pribadi.
“Maksudku, terlalu beresiko, setelah kita tidak sengaja berpapasan dengan orang-orang pusat waktu itu, pasti mereka jadi lebih siaga.”
Mereka pernah lolos satu kali. Tapi usai kejar-kejaran waktu itu, Synne dan Kane memperoleh keberuntungan dengan menemukan dua kartu masuk yang bisa membuka gerbang di dinding kelima dan keempat secara otomatis.
“Kita bergerak bersama,” tukas Synne dengan lantang.
Kane menghela napas. “Mau bagaimana lagi.”
Mereka berjalan beriringan melewati kawasan lainnya dari para Dissident. Beberapa pemandangan berkelebatan di depan Synne. Para penempa berlian dengan lempeng ototnya, pengrajin keramik bergelambir, atau beberapa petani yang memasukkan hasil alam mereka ke dalam sebuah pedati. Terdengar pula bunyi ringkikan kuda atau mesin-mesin industri yang membuat suasana agak bising. Ada juga beberapa anak sedang berlarian dengan pakaian kumalnya.
Sebenarnya para Dissident adalah orang-orang utama penghasil produk negara. Mulai dari pusat industri, intan, berlian, pertanian, peternakan sampai penambangan. Sayangnya, hanya ada satu kebebasan yang bisa dimiliki keturunan Dissident—selain dari pemenuhan kebutuhan hidup—mereka berhak untuk memilih hidup di dinding bagian mana dan keluar masuk ke dalamnya demi kelancaran transaksi. Tentunya selain lima dinding milik Obedient. Cuma itu, selebihnya dianggap suatu pelanggaran. Termasuk yang dilakukan Synne dan Kane detik itu yang berencana menyusup ke Haen.
Bisa dikatakan Synne dan Kane adalah penjual gelap. Maksudnya bukan menjual ekstrak plum yang begitu dilarang di CunKludge, atau membuat gambar sayap di dinding yang menggambarkan keinginan untuk keluar dari negara tersebut. Synne dan Kane hanya membuat kebutuhan yang bukan komoditi negara. Sesuatu yang benar-benar dilarang selain dua hal tadi adalah membuat produk yang bukan termasuk dalam daftar produk buatan CunKludge. Negara menganggap itu bukanlah prestasi membanggakan bagi mereka.
Dia melangkah, menembus batas dinding dan tiba di dinding ke-6. Ada banyak warga yang berkumpul di alun-alun. Mereka membentuk barisan di bawah dinding tempat pesawat mendarat. Hari itu tepat hari penyisipan di daerah Judith. Berbeda halnya dengan para warga yang tampak kucal dan kumuh, seorang pria nyaris botak dan beberapa antek-anteknya memakai pakaian serba putih dengan barrier berupa sarung tangan dan masker. Remaja lelaki dan perempuan berusia dua puluh membentuk dua baris berbeda. Pasti perasaan mereka tengah diisi kekalutan. Disamping pemandangan itu, ada hal lain yang menyita perhatian Synne, tidak lain adalah penduduk berwajah layu dan badan kurus kering.
“Judith sedang dilanda wabah penyakit menular, itulah kenapa sejak kemarin transaksi perdagangan dihentikan,” Kane menjelaskan.
Synne dan Kane duduk di atas birai menyaksikan dalam debar jantung sangat cepat. Pemandangan itu bukanlah untuk pertama kalinya mereka lihat. Synne tahu apa itu tepatnya ketika ia berusia delapan tahun. Kane berdiri di sebelahnya, mereka mengamati orang-orang itu naik dan turun dari podium dengan raut wajah berbeda-beda. Setelah itu, dalam beberapa waktu lagi mereka bagai makhluk tak bernyawa. Synne tak bisa membayangkan bagaimana kalau sebelah tubuhnya dikendalikan sementara tubuh yang lain berontak? Pasti sangat menyakitkan. Sayangnya itu adalah takdir mereka.
Dia mendengar jeritan pilu itu mengisi telinga sampai bermuara di rongga dada. Synne menggenggam erat tangan Kane. Bendera dinaikkan. Berkibar dengan tenangnya di atas tiang pancang dengan warna yang tak pernah hilang di ingatan bahkan di penglihatan Synne dan Kane. Karena benda itu—selain simbol perayaan setiap tanggal 25 Januari—menjadi sebuah bentuk kehilangan. Nanti, setiap lima tahun, sistem yang ditanam akan diperbaharui dari jarak jauh, menjadikan manusia-manusia itu semakin mirip robot-robot kaku macam Gronggel—robot buatan pusat.
Seorang pria bermuka masam dengan kulit pucat dan kerut di wajah, naik ke podium yang memang dimiliki tiap daerah. Tubuhnya kalah tinggi dibandingkan pengawal berbaju putih di kiri-kanannya. Dia membuka perkamen, membacakan kalimat yang selalu diulang-ulang setiap tahun. Meski begitu, profesionalitasnya sebagai pembaca tak pernah berkembang. Selalu dengan raut dan gestur tangan yang sama.
Tidak kuat harus berlama-lama di sana, Synne dan Jim pun memutuskan untuk pergi.
“Aku bersumpah tidak akan pernah rela disisipi benda seperti orang-orang itu!” tandas Synne dalam langkahnya yang dibuat besar-besar.
“Maka kau harus ikut ujian negara.”
“Ya, akan kulakukan seperti itu. Menurutmu, apa yang lebih baik dibandingkan menerima perlakuan itu secara sukarela?”
“Kurasa dua duanya bukan pilihan yang bagus. Kau tahu sendiri ada nyawa yang harus dibayar agar bisa menjadi seorang Obedient.”
“Kau memang benar. Sayangnya kita memang tidak punya pilihan. Tidak seharusnya kita dilahirkan di sini.”
Kebahagiaan. Hal utopis itu memang ada, bagi mereka yang diliputi keberuntungan. Sementara Synne sendiri sampai saat ini hanya bisa berangan-angan.
Synne dan Kane tiba di depan gerbang besi, akses masuk menuju Haen. Bukan sembarangan orang yang bisa masuk ke sana kalau mereka tidak memiliki kunci. Keduanya memasang kartu di kolom kecil bagian dari pintu gerbang. Setelah terbuka, Synne memiringkan dan mengempiskan tubuhnya lebih dulu, melewati bagian sempit itu lalu disusul Kane. Terdengar suara desis dari pintu yang kembali menutup.
Haen dinding ke-5, daerah yang diisi cendikiawan, orang-orang kaya dan anggota militer. Anehnya, apa yang mereka harapkan dari sebuah Pitalite mengingat daerah mereka cukup kaya dengan aliran uang, makanan, dan listrik. Satu-satunya tujuan Synne dan Jim membuat benda itu tidak lain adalah untuk membantu penerangan di malam hari karena dua daerah dari lima yang paling depan, semuanya tidak dialiri listrik dan gelap pada malam hari. Televisi yang mereka miliki pun bertenaga baterai surya, alokasi wajib dari pemerintah karena saat staff-nya berpatroli dan televisi warga didapati mati, maka mereka akan dikenakan denda yang sangat parah.
“Tunggu Kane,” Synne menghentikan langkah kawannya itu di depan gerbang masuk. “Tiba-tiba saja aku merasa ada yang janggal,” katanya mulai curiga.
“Itu hanya instingmu saja, tidak ada yang aneh. Dia bilang katanya kawasan Haen sudah hampir sebulan tidak dialiri listrik, jadi kemarin pegawainya secara langsung meminta padaku,” Kane berbicara dengan santai. “Dia gadis belia, aku tidak tahu jelas namanya,” katanya sambil terus berjalan.
Otaknya memang sudah menguasai peta negara itu, Kane sudah fasih melihat lokasi sebagai jalan pintas. Semuanya didapat dari alat perekam serupa bola pejal yang dia tunjukkan sebelumnya. Semacam pencitraan jarak dekat. Kane memang cemerlang.
Synne dan Kane sampai di dinding ketiga. Corak tempat tinggal di sana didominasi warna putih dengan lampu-lampu mewah bergelantungan pada bagian serambi. Jalanannya bukan tanah hitam nan terjal, tapi aspal halus dengan material berkualitas. Ragam pepohonan dan bunga menghiasi pinggir jalan. Berbeda dengan daerahnya, Haen memiliki banyak jenis tanaman yang berlainan warna, tanahnya gembur, menyimpan banyak cacing-cacing hitam. Aroma udaranya bukan bau serbuk kayu yang dipanggang, atau batu-batu terbakar sengat matahari, melainkan aroma yang sangat segar. Aroma keteraturan dan kelimpahan.
Synne menghirupnya dalam-dalam. Kalau saja udara di sana bisa ia tampung, maka Synne akan melakukannya. Menyediakan kantung udara sebanyak mungkin lalu dibagikan kepada masyarakat di Plutter.
Synne dan Kane terus berjalan, membawa pesanan yang ditempatkan di dalam sebuah tas berbentuk tabung memanjang.
Kane berhenti, menggerakkan sesuatu di tangannya. Sebuah kompas hasil modifikasi, “di sini!” kakinya bergerak memasuki celah kecil dari dua rumah yang tampak sepi. Tepatnya itu adalah bagian persil. Tempat itu jauh lebih gelap dari bagian jalanan berselimutkan cahaya matahari. Seorang gadis menunggu di persimpangan. Gadis dengan baju mahalnya berupa gaun krem dengan leher berenda. Bagian dada kananannya disemat korsase ungu. Kedua telinganya diapit anting-anting perak. Dia pasti kalangan bangsawan.
Synne menarik Kane sebelum temannya itu membuat gerakan untuk mendekat ke arah gadis di ujung sana. Ada sesuatu yang ganjil. Lagipula, perempuan itu bukanlah salah satu pelanggan yang dikenalnya.
“Dia memakai korsase ungu Kane,” Synne memberi peringatan tentang warna ungu. Korsase itu jelas bukan barang yang bisa dipakai oleh semua orang di CunKludge. Hanya mereka yang istimewa, identik dengan orang-orang pilihan dan kepercayaan beserta keturunannya.
“Ayolah Synne, singkirkan pikiranmu tentang segala hal berbau pemerintah. Bagaimanapun juga, pelanggan kita sudah di depan mata, mau diapakan lagi?” Kane benar-benar melangkah tegas, dia sepertinya tidak ragu sama sekali.
Synne tak bisa menghalangi tekadnya. Semoga saja yang ada di pikirkannya memang keliru.
Mereka tepat berhadapan sekarang. Melihat wajah angkuh gadis remaja itu membuat Synne ingin muntah. Penampakan mereka jauh berbeda; Synne mengenakan baju wol kusam dan Kane dengan baju serat yute murahan, sementara gadis itu memakai pakaian berbahan sutera.
Synne menurunkan benda di punggungnya, menyerahkannya pada Kane.
“Pitalite, edisi terbatas,” tukas Synne dengan nada datar.
Gadis itu mengangkat gaunnya selutut lalu mengambil sesuatu dari balik kaos kaki panjangnya. Sebuah kantung berwarna hitam. Mereka melakukan pertukaran dalam gerak berlawanan arah, tidak ada yang berpikiran ingin ditipu.
“Bagaimana cara kalian menjamin kalau alatnya benar-benar berfungsi?” tanyanya bernada pongah.
Synne tersenyum tidak percaya, sesaat emosinya terpancing.
“Kalau memang kau ragu, tidak usah membelinya!” tandas Synne.
Kane menahan Synne yang bergerak maju.
“Bagaimanapun juga, kalian sudah membawanya sampai sejauh ini.” Kedua tangannya mengangkat sisi-sisi rok, lalu merendahkan kepala singkat bersiap untuk pergi. Sayangnya, Kane menangkap tangan gadis itu.
“Kesepakatannya belum tuntas, nona,” kata Kane dengan tangan bergerak memeriksa kantung hitam.
Synne lihat bibir Kane tersungging kecewa. Kepalanya melongok untuk melihat apa yang terjadi. “Dua keping emas?” Synne menyela dengan intonasi tinggi. “Bukankah kesepakatannya lima keping emas? Kau mau menipu kami?”
Gadis itu menyeringai. “Memang benar. Aku akan memberikan lima keping emas.”
Synne hendak melampiaskan kekecewaannya, tapi Kane tak membiarkan itu terjadi. Terlalu berbahaya.
“Aku akan memberikan tiga kepingnya nanti, setelah aku tahu kalau alat ini benar-benar berguna.” Dia berlalu dengan cara berjalannya yang angkuh. Synne tidak tahan ingin mengejarnya, dan menarik lepas jepitan di rambut panjangnya, tapi Kane menahan.
“Sudahlah, lagi pula target kita memang satu keping emas ‘kan?”
Meskipun masih setengah emosi, perlahan Synne menahan untuk melampiaskannya. Dia tahu konsekuensinya jauh lebih buruk kalau harus berurusan dengan mereka.
***
BAB II
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HIDEOUT
Teen FictionSinopsis Di CunKludge hanya ada dua ketetapan, hidup keras sebagai seorang Dissident atau diperlakukan layak sebagai keturunan para Obedient. Tapi mereka memilih keluar dari zona itu. Remaja berusia 17-20 tahun berkumpul dalam tempat tersembunyi...