Aroma Barley menusuk hidung.
Keturunan Oetker memang peracik teh paling handal. Secara turun temurun mereka melayani keluarga Perdana Menteri Argus. Tapi itu dulu, sebelum akhirnya seseorang memfitnah Oetker—saking tenarnya—lalu membuat seluruh keluarganya turun derajat jadi gelandangan di Plutter. Frank yang menemukan pria malang itu, mengakui kalau bakat yang dimilikinya sangatlah langka. Akhirnya setelah berbagai pertimbangan dan kesepakatan, Oetker Junior mau bergabung dengan Momavali. Belakangan Synne juga tahu kalau teh rosehip yang diminumnya di kediaman Frank waktu itu adalah hasil racikan dari formulasi di kepala Oetker Junior.
Orang-orang sibuk membuat berbagai macam campuran teh, Synne justru terlalu sibuk dengan ingatan tentang kemarin. Sebenarnya tak usah disinggung pun otak Synne sudah mengingatnya dengan jelas. Sangat jelas sampai membuatnya pusing sendiri.
Kenyataan bahwa dia tidak bisa sedetikpun menatap lelaki itu adalah yang terburuk. Synne tahu kalau Fridd hanya bermain-main saja—permainan wajar seorang lelaki pada lawan jenis—maka tak semestinya dia begitu ceroboh dan berpikiran macam-macam.
“Pak!” Synne mengangkat tangannya, mengalihkan semua pasang mata. “Aku merasa kurang sehat, apa boleh minta izin keluar?” tangannya bergerak-gerak mengusap leher, berpura-pura. Pria berkacamata bulan separuh itu diam sebentar. Jadi begini, di balik kelebihan pasti ada sebuah kekurangan. Termasuk pada Oetker Jr ini. Dia pandai meracik teh dari berbagai jenis tumbuhan, tapi menanggapi informasi yang lain agak... sedikit terlambat.
“Apa itu? Apa korelasinya tubuh kurang sehat dan keluar kelas?”
Synne diam membisu. Dia lihat bibir Fridd sudah tersungging menyebalkan.
Fridd ikut mengangkat tangannya. “Pak, dia ingin keluar.”
Mata tua itu kembali bergerak lagi. “Oh, silakan, aku tidak akan memaksamu untuk tetap duduk di sana. Dan juga bagi siapa saja yang merasa tidak nyaman ada di kelas ini bisa keluar. Bagaimanapun kita semua perlu penyesuaian, bukan begitu nona?” kali ini Synne yang diajaknya berbicara.
Synne menanggapinya dengan senyum getir dan segera mempercepat langkah untuk ke luar ruangan. Meninggalkan tempat yang dinaungi kaca dan diisi beberapa tanaman hasil kultur. Tidak ada masalah ada di sana. Mengecap teh dari tumbuhan itu jelas menyehatkan. Tapi tidak dengan hatinya. Fridd terlalu mengganggu dan terang-terangan duduk di depannya, menatapnya, tersenyum, lalu memainkan... bibir? Jelas itu sangat mengganggu. Untuk saat ini Synne hanya menganggap Fridd sebagai pria aneh. Sangat.
Maka demi kelancaran pernapasannya Synne akan duduk berdiam diri di pinggir danau Oasle. Suasana magenta dan Magnetofon Bird adalah perpaduan paling sempurna saat dia ingin mencari tempat untuk mendamaikan diri. Burung-burung itu berkelebatan. Menyanyikan lagu-lagu ceria sampai pilu. Tapi terlalu bising saat suasana hatinya sedang kacau seperti sekarang. Matanya menatap lurus ke arah Bloodlyn—bunga warna merah darah—yang sengaja ditanam sekitar danau dan dikeluarkan dari habitat aslinya di Hutan Norim. Bunga itu merupakan modifikasi dari obyanga, mwar merah, dan sawtooth yang peka terhadap sentuhan. Belakangan Synne tahu kalau Bloodlyn adalah simbol dari keabadian. Perlindungan dirinya bukan dengan membentuk ikatan kimiawi untuk melawan patogen, tapi bunga itu memilih meleburkan diri, lalu tumbuh kembali. Sebuah siklus yang tiada henti.
Synne duduk, menatapi benda sebesar nyamuk yang beterbangan beberapa meter dari permukaan air. Mata Synne terlalu tajam mengenali benda. Latihan manualnya di Plutter—sebagai pemburu—memang tidak sia-sia. Qui—seorang siswa berusia 14 tahun yang direkrut karena otak encernya—tampak sedang duduk sendiri beberapa senti darinya. Bocah itu memang agak introvert yang cukup angkuh dan tidak bersahabat. Synne bergerak mendekat, bukan bermaksud ingin mengusik, cuma sekadar akan menanyakan seputar nyamuk-nyamuk yang tampak tidak alami itu.
“Itu adalah benda para watcher.”
Synne bagaimanapun agak terkejut. Dia belum menyuarakan pikirannya itu, bagaimana bocah itu bisa tahu?
“Aku seorang minder dan gelombang otakmu terekam jelas di sini.” Lagi, dia menunjukkan kemampuan ajaibnya sambil mengangkat layar tipis yang dipenuhi garis amplitudo, membuat perempuan itu bergumam takjub.
Lelaki berambut pirang yang belum memiliki kematangan suara itu menjelaskan kalau itu adalah sistem pengintai. Diperuntukkan untuk para watcher. Jadi selain memilliki divisi, mereka juga punya organisasi sendiri-sendiri. Semuanya punya tugas masing-masing dan berkaitan dengan bagian pekerjaan kalangan atas di CunKludge. Profesi yang sebagian besar diambil oleh para obedient.
“Wah.. bagaimana bisa kau direkrut jadi seorang minder, usiamu saja masih semuda ini.” Kalimat Synne agak merendahkan padahal kenyataannya kemampuan Qui jauh di atasnya.
“Karena posisi itu memerlukanku meskipun aku tidak menginginkannya. Dan ku rasa akan berbeda jika itu kau.” Nada pongah itu membuat kening Synne mengerut.
“Memangnya kenapa? Semua orang bisa jadi watcher, minder, dan apapun itu. Hanya CunKludge yang bisa mendiskriminasi para dissident. Bukan bocah sepertimu.”
“Hey, aku hanya bicara kenyataan.” Dia bangun menyibak celananya sebentar, membuat serbuk rerumputan kering berjatuhan. “Kau tidak bisa menjadi seorang watcher cuma karena ingin saja, tapi harus punya keahlian.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HIDEOUT
Teen FictionSinopsis Di CunKludge hanya ada dua ketetapan, hidup keras sebagai seorang Dissident atau diperlakukan layak sebagai keturunan para Obedient. Tapi mereka memilih keluar dari zona itu. Remaja berusia 17-20 tahun berkumpul dalam tempat tersembunyi...