Semua orang sudah duduk di tribun yang mengitari arena. Layar besar dengan ukuran fantastis dipasang oleh tiang pancang sebesar batang Queets Spruce, sejenis cemara sitka. Jadi bisa dibayangkan seberapa besar layarnya bukan? Yang jelas jika dibandingkan dengan mereka hanya jadi sebuah titik. Layar itu berdiri dalam radius 200 meter dari lapangan.
Synne tampak menyembul dari beberapa orang di divisi yang memiliki warna khas aqua blue. Dia berdiri di samping Yura dan Kov. Teman lelakinya itu sedang sibuk menyesuaikan fokus tanpa kacamatanya. Mata Synne beralih pada seorang pria pemilik tato emas berbentuk burung di leher yang sejak sekian detik yang lalu seperti sedang mengawasinya. Synne yakin betul, karena siapapun akan merasakan ada yang berbeda saat seseorang sedang memantaunya. Meskipun saat dia menoleh orang itu kedapatan sedang fokus melihat ke arah layar.
Synne tak mau ambil pusing.
Kali ini layar tipis itu menampilkan satu persatu profil pemain tunggal. Sama seperti nama-nama yang tertera di layar ruang makan kemarin, layar besar itu juga didominasi oleh orang-orang serupa yang tampak sekali punya penampilan dan bakat lebih unggul. Mereka adalah para senior. Dimulai dari ketua divisinya, Jim Gawneth, lalu diikuti oleh Emily Carsson—si rambut merah yang berpapasan dengannya waktu itu—beberapa perwakilan divisi lainnya dan yang terakhir adalah Fridd Unter. Pria itu seperti seorang superstar. Teriakan penonton yang mendukungnya dengan dukungan pada yang lain jelas berbeda.
“Ah, sudah kuduga pria itu pasti ikut lagi, padahal divisinya sudah dapat triple crown. Bakatnya memang tidak main-main.”
Synne mengerutkan kening, kalimat Yura terlalu samar baginya. “Triple crown?”
“Ah, ya, dia sudah menang tiga kali berturut-turut. Awalnya pertandingan ini cuma untuk main-main saja. Tapi belakangan berubah lebih kompetitif dan harus kuakui kalau keahliannya memang paling unggul. Sejauh ini. Meskipun sebagai anggota yang baik aku lebih mendukung Jim untuk memenangkan semuanya, sih.”
Kalau dilihat dari formasi pemain, orang-orang itu memang tampak tidak biasa.
“Lalu apa yang akan mereka dapat kalau bisa jadi pemenang?”
Yura tampak mengedikkan bahu. “Mm.. popularitas?” dia agak berpikir. “Dan keuntungan bagi tiap divisi. Kita akan dapat poin yang bisa dipakai untuk ujian nanti. Dan itu tidak mudah.”
Tidak mudah karena semua orang juga menginginkannya. Diberi kemudahan saat ujian, siapa juga yang akan menolak.
“Lalu apa yang akan dilakukan dengan poin yang kita miliki?”
“Bisa kita tukar dengan alat. Give and take. Kita memberi, kita akan mendapatkan sesuatu.”
Pandangannya menangkap kalimat penjelas di bawah nama-nama orang itu. Seperti.. sebuah jabatan.
“Apa kita semua bisa ikut bertanding?” Synne ingin tahu.
“Tidak. Pertandingan ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki titel sebagai watcher, minder, pacesetter, dan controller. Tidak untuk kita.” Kov menukas. Sepertinya mulai terusik karena Synne terus saja bertanya. “Aku juga dulu sepertimu. Tidak tahu apa-apa.” Katanya sambil terkekeh.
Synne masih belum bisa mencernanya. Pertanyaan-pertanyaan itu justru membuatnya sadar betapa masih minimnya pengetahuan Synne tentang Momavali dan seluruh kebijakan yang tentu saja sangatlah asing.
Matanya intens menatapi layar yang mulai bergerak. Para pemain sudah mulai bersiap-siap. Semuanya menggunakan seragam berbahan nomex yang dimasukkan ke dalam celana. Bagian pinggangnya digantungi senapan dan beberapa alat. Fridd—si lelaki bermata biru—mulai mengurung tangannya dengan sarung abu-abu pudar. Beberapa gadis praktis menjerit, tidak terkecuali bagian dari divisi 7.
Musik dengan alunan keras mulai bergema. Suasana berubah menegangkan. Segala persiapan dan raut wajah itu sepertinya tidak menganggap pertandingan sebagai sebuah permainan biasa. Dari layar wajah mereka yang kian pucat tampak begitu jelas, bersiap sambil menetralisir udara yang kian mencekam. Semua orang itu akan memasuki Hutan Norim. Kawasan paling liar di Momavali. Synne tidak yakin betul, tapi sepengalamannya terjebak di sana semalam memang lingkungan Hutan Norim tidak biasa. Beberapa orang mengatakan: “semakin dalam kau berjalan ke dalamnya, semakin susah bagimu mencari jalan keluar”. Makanya partisipan pertandingan itu haruslah mereka yang berpengalaman, atau para senior dan beberapa mungkin yang terbilang nekat.
Setelah suara kendang mahogani ditabuh oleh dua orang yang tubuhnya dicat merah, saat itu pula langkah-langkah gegas mulai melesat berlainan arah. Saat ini kamera tengah fokus pada sosok Emily. Perempuan yang punya kesan pongah itu sedang menyisir kawasan yang dipenuhi tumbuhan akasia dengan warna daun tak biasa: merah. Emily mengeluarkan cold steel reckon untuk menyibak tanaman berduri itu. Semua mata dibuat terpukau dengan kecepatan Emily. Tangannya yang terampil dan langkah cekatan, tidak heran kalau beberapa orang meneriakinya sebagai perempuan super.
“Aku iri dengannya.” Yura menginterupsi membuat Synne tertawa kecil.
“Aku juga.” Timpalnya. “Dan kurasa beberapa orang juga.” Kata Synne merujuk pada beberapa orang yang heboh berkomentar. Emily memang tampak sangat keren. Memutus ranting dengan sekali tebas. Meskipun langkahnya amat cepat, tapi tidak tampak terburu-buru. Semua penghalangnya dia tumpas dengan rapi.
Kamera berhenti.
Emily hilang dari sana.
Synne sama tegangnya dengan penonton yang lain. Kakinya berjinjit-jinjit seakan bisa melihat sesuatu yang disembunyikan oleh layar. Tak lama suara riuh mulai menjalar di divisi 3 begitu sebuah keping perunggu muncul di layar. Emily bangun dengan senyum lebih lembut dari sebelumnya.
“Perunggu pertama. Aku akan menemukan emas secepatnya.” Dia berkata yang disambut semangat mengembara dari anggota divisi diwakili warna terakota.
Synne merasa bersyukur. Bagaimanapun dia tidak ingin melihat pembantaian di hari pertama. Meski cuma sebuah permainan. Tapi tidakkah semua orang itu terlalu kompetitif. Mencari, berlari, memburu, dan... apa mereka juga akan saling berkelahi? Karena sepertinya pertemuan dua orang dari kubu divisi 6 dan 5 agak mencekam. Dua pasang mata itu mencelat. Pria berambut klimis yang memiliki luka sayatan di dahinya sedang mengatur napas sementara pria lainnya seperti ingin memulai aba-aba untuk menerkam musuh.
Hening.
Suasana jadi sama dinginnya dengan aura dua orang yang sedang berhadapan di layar. Nama ketua divisi 5 adalah Igor, seorang pria atletis yang ototnya berkenjal-kenjal. Tatapan intens dua orang itu membuat napas beberapa orang ikut menderu. Synne melirik ke arah dua kawannya yang ikut resah. Kini layar memperlihatkan tangan mereka yang saling mengangkat sebilah pisau lipat.
“Biarkan aku jadi pemenang!” Igor setengah memperingatkan yang kemudian dibalas senyuman sungging. Langkah keduanya dibuat perlahan dan penuh antisipasi. Satu..dua.. dan Brakk.
Suara tiba-tiba itu praktis membuat semua orang menjerit. Synne menutup mulut tak kalah terkejut. Sebuah jaring tiba-tiba saja muncul dari tanah, menangkap tubuh Dagony dan menjungkalkannya ke bawah. Pria itu kewalahan menghadapi jaring yang mengurungnya, membuatnya bergoyang-goyang saat bergelantungan di cabang pohon...... Igor terbahak yang diikuti tawa beberapa orang penonton.
“Nikmati sisa waktu di sana! Biar aku saja yang mencari emasnya, bye!” tubuhnya langsung menghilang setelah masuk ke dalam semak.
“Sialan! Kau yang sengaja memasang perangkapnya, ya? Hey! Turunkan aku! Lihat saja akan kubalas nanti!” Dagony tak terima dan terus mengguncang tubuhnya sendiri.
Yura mendesis. “Mereka bersahabat, makanya aku setengah bertanya-tanya saat pertandingannya berubah seintens tadi.”
Fridd Unter, si pria berambut cokelat itu kini sedang mendominasi layar. Sepertinya pengatur kamera tahu betul siapa dia karena dengan sengaja memperbesar fokus di wajahnya. Tentu saja beberapa gadis langsung menjerit histeris. Synne pikir hanya para gadis saja, tapi rupanya banyak juga remaja lelaki yang mengagumi sosoknya.
Pria itu sedang menyisir rawa yang airnya berwarna hitam pekat. Larsnya tenggelam setengah, lalu lebih dalam saat posisinya mulai menjauh dari tepian. Semua orang bersorak saat mata mereka menangkap sinar keemasan di dalam genangan itu. Beberapa bahkan terang-terangan memberi dukungan. Tapi, memangnya orang gila mana yang meletakkan benda buruan di dalam rawa, sih? Tentu saja, untuk hasil yang memuaskan ada resiko yang sama besarnya. Fridd terus berjalan sampai air itu kini sudah sepinggangnya. Dia pasti akan langsung berenang kalau bukan karena airnya yang berlumpur.
Fokus orang-orang itu sama tegangnya dengan langkah-langkah kaki Fridd.
“Tak!” sesuatu menyerang kepalanya. Aliran darah kecil merembes. Tak lama serangan bertubi-tubi datang. Rupanya itu adalah buah.... dari tangan si monyet ekor panjang yang bergelantungan. Fridd memutar tubuh. Berdiri tegak untuk mulai mengeluarkan alat.
“Kenapa tidak menggunakan snippernya?” Synne merasa heran. Lelaki itu punya dua buah jenis senapan tapi memilih menggunakan alat manual.
“Itu dilarang. Kalau mereka tidak menyerang dan mengancam nyawa kau tidak boleh melukai mereka.”
“Tapi kepalanya berdarah, dan apa itu bukan termasuk serangan.”
Kepala Yura mengedik, memberi tahu kalau ada pertunjukkan yang lebih menarik dibandingkan lemparan apel tadi. Benar saja. Ratusan monyet mutan itu sudah mengisi puncak-puncak pohon dengan wajah bengisnya seakan siap mengoyak tubuh siapapun. Lutut Synne lemas bukan main. Hidupnya di Plutter memang keras, tapi tidak pernah sekalipun melihat siapapun dimangsa di depan matanya. Raut wajah semua orang berubah gelap.
Kamera mulai tidak stabil dan itu jelas membuat suasana tambah mencekam.
Satu monyet datang menyerang yang kecepatan larinya sama dengan Bel II—pesawat militer CunKludge—mencakar wajah Fridd. Diikuti beberapa yang lain. Gambar berubah sayup-sayup sampai akhirnya mati total dan memperlihatkan Jim Gawneth yang sedang duduk di bawah pohon.
Tidak ada yang berminat.
Synne cemas bukan main. Pertanyaan seputar bagaimana-Fridd-akan-bertahan, terus saja mengusik batinnya. Otaknya mulai kalut. Secara instingtif ia langsung membuat langkah seribu untuk segera turun dari tribun. Larinya bagai Antelop, memelesak masuk ke dalam hutan. Dia harus menolong pria itu. Bagaimanapun caranya.
Synne menuruni tribun. Menabrak siapapun yang menghalangi jalannya. Ia kerasukan dan tidak tahu bagaimana cara menghentikan kecemasannya yang mencapai kulminasi. Beberapa orang menunjuk dan menuding kalau dia sudah gila sebab tak pernah sekalipun ada di antara mereka nekat memasuki arena pertandingan selama diadakannya challenge day. Dan... dia yang pertama. Lalu sekarang tubuhnya meroket, menuju jalan masuk, menyibak akasia dan menginjak beri liar. Synne kehabisan akal. Dia hanya meneriakkan nama ‘Fridd’ yang mengudara dan memantul di pepohonan yang bentuk batangnya berwarna perak. Batang-batang kokoh itu seperti menyaring suaranya dan sedetik kemudian memantulkan gema cukup kuat. Synne tahu pasti lengkingannya bisa didengar Fridd atau paling tidak mampu mengalihkan kumpulan monyet buas yang taringnya mirip mata pedang.
Tapi kemudian pandangan Synne berubah kabur.
Belum seperempat hutan dia melangkah, beberapa pepohonan, burung dan serangga lenyap dalam sepersekian detik. Semuanya menghilang lamat-lamat. Matanya mulai berkeliling sampai akhirnya semua pemandangan semak belukar hutan berganti menjadi pemandangan tribun berderet. Dia menoleh ke kanan ada Fridd berdiri di sana. Lelaki itu tampak kotor dan berkeringat, meski ekspresinya lebih tenang dari sebelumnya. Fridd tampak sehat, yang membuat Synne merasa lega. Dan setelah melihat senyum yang tertahan di sana, Synne barulah sadar akan tindakan bodoh yang telah dilakukannya. Ia melupakan sesuatu. Gadis itu lupa kalau hutan yang baru saja dia masuki hanyalah proyeksi dari sebuah halusinator.
Jelasnya dia meneriakkan nama ‘Fridd Unter’ di tengah lapangan yang disulap jadi hutan; arena pertandingan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HIDEOUT
Teen FictionSinopsis Di CunKludge hanya ada dua ketetapan, hidup keras sebagai seorang Dissident atau diperlakukan layak sebagai keturunan para Obedient. Tapi mereka memilih keluar dari zona itu. Remaja berusia 17-20 tahun berkumpul dalam tempat tersembunyi...