Chapter 4 : Bimbingan

224 9 2
                                    

Setiap mahasiswa yang udah di semester *ehem* akhir pastinya punya dosen pembimbing kan gaes. Baik dosen pembimbing untuk skripsi ataupun akademik.

Dosen pembimbing gue namanya Pak Handoko. Pak Handoko orangnya serius gaes. Dia udah pegang gelar Professor. Professor loh Professor. Tapi bukan kayak Professor Dumbledor yang ada di film Harry Potter ya gaes.

Coba deh lo bayangin aja udah berapa banyak buku yang udah dilahap sama dia. Kalo gue sih gak kebayang gaes. Gue kan orangnya gak kepo. Kalo gue kepo, gue gak bakal ada di kampus. Sekarang gue pasti ada di ladang sawah miliknya Pak Tani.

'Apa kata dunia?'

Dunia aja bisa berkata-kata gaes, masa Matahari sama Bulan gak bisa. Kan aneh? Apa gue perlu gabung ke NASA biar bisa memecahkan misteri langka ini? Atau gue perlu menyamar jadi alien dulu biar bisa bicara sama Matahari dan Bulan? Kan gak mungkin. Gak mungkin. Gue terlalu ganteng untuk semua itu.

Lalu, tentang Pak Handoko tadi. Beliau ini adalah dosen senior di kampus gue gaes. Dosen sesepuh. Nilai yang diberikan oleh beliau juga seperti jurus miliknya Sailor Moon. "Dengan kekuatan bulan aku akan menghukum mu". Tapi bedanya Pak Handoko sama Sailor Moon itu, kalo Sailor Moon punya tanda bulan sabit di jidatnya, kalo beliau bulan sabitnya ada di Transkrip Nilai mahasiswa. Jadi jangan sampe ketuker gaes. Jangan.

Di hari yang mendung ini, semendung hati gue #eaa, gue akan bimbingan sama Pak Handoko sebagai pembimbing Tugas Akhir gue. Sebagai mahasiswa yang rajin bimbingan tentunya beliau inget betul sama gue. Tuh gaes, kalo bisa kita yang diinget sama dosen itu perlakuan baik bukan yang jelek-jeleknya, contohnya kayak gue. Gue ini contoh yang baik. Contoh gue. Contoh. Try This At Home. Look at me. I'm cool. Love and Peace.

Dari kejauhan gue melihat cengiran seseorang yang sangat tidak asing lagi dalam hidup gue yang terlalu sempurna ini, ya itu senyumannya si Robi. Senyuman yang terpancar dari wajah Robi kelihatan sangat girang, saking girangnya pengen gue tabok. Lalu, dia memanggil nama gue dengan sangat romantis,

"Ucuuppp"

Gue menghentikan langkah kaki, dan menunggu Robi datang menghampiri,

"Wah tumben lo datang duluan, biasanya ngaret. Mana Vino?", Robi menepuk bahu kanan gue

"Mungkin belum bangun dia wakakak", gue membayangkan Vino yang masih molor di kasur sambil ileran

"Sudah kuduga", wajah Robi jadi memelas

Gue dan Robi pun memasuki gedung yang dimana di dalamnya terdapat makhluk-makhluk dengan otak selangit, dengan gelar yang lebih panjang dari namanya. Apakah itu?

DOSEN!

Iya betul sekali saudara-saudaraku sekalian

Lalu, kaki gue mengirim sinyal yang tak wajar ke otak gue, sehingga otak gue menggerakkan mata gue untuk mencari kursi kosong demi menjawab respon dari sinyal kaki gue. Ya, itulah kronologis singkat di tubuh gue kalo pengen duduk. Gue saat ini ngerasa ganteng banget gaes setelah menuliskan kalimat yang penuh dengan makna science begitu. Apakah gue diberikan pinjaman otak oleh kakek Albert Einstein? Atau secara mendadak gue bukan kuliah di jurusan ilmu komputer melainkan di kedokteran? Atau yang lebih greget lagi, jangan-jangan gue ini sebenarnya Kapten Amerika?! Gue gak nyangka banget bray. Gue terharu. Gue ngerasa seperti Hachi yang udah bertemu dengan emaknya.

Udah, gue duduk tuh. Terus Robi juga duduk. Tukang es cendol depan kampus gue juga duduk. Gajah pun juga ikutan duduk. Entah apa saat ini sedang zamannya dimana 'duduk' menjadi hits dan trending topik anak gH40Lz. Gue juga gak ngerti. Yang gue ngerti cuma kamu. Kamu? Iya kamu.

Dunia ProgrammerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang