"Saatnya tidur," ucapku seraya menggandeng
lengan adikku. Dia hanya menggumam sambil
berjalan sempoyongan menahan kantuk. Kubimbing
tubuhnya yang mungil berjalan menyusuri lorong
pendek menuju kamar. Lampu lorong kumatikan
karena memang sudah waktunya tidur.
Tiba di kamar, segera kunaikkan tubuhnya untuk
berbaring di atas ranjang dan menyelimutinya,
kuusahakan sebisa mungkin untuk membuatnya
nyaman. Dia kembali menggumam tak jelas.
Nampaknya rasa kantuk sudah tak bisa ditahannya
lagi. Aku hanya bisa tersenyum geli melihatnya.
"Mimpi indah yah, Dek." Aku pun kemudian
beranjak menuju kamarku sendiri setelah
memadamkan lampu kamar. Namun langkahku
terhenti saat adikku memanggil."Bang," panggilnya di sela-sela kantuk, "Jangan
bobo bareng mbaknya loh! Ntar dimarahin Mama."
"Mbak yang mana?" tanyaku bingung. Dia pasti
setengah mengigau, namun hal itu segera kutepis
saat melihat matanya yang kini terbuka penuh.
"Itu ... mbak rambut panjang yang melongok dari
pundak kiri Abang."
Aku tertegun, kengerian membuat nafasku tercekat
sementara ribuan semut seperti merayap di
permukaan kulitku. Leherku seketika terrasa sangat
kaku. Sebuah hal tolol untuk melihat sisi kiri
pundakku, namun bola mataku seperti bergerak
secara otomatis, melirik sisi terlarang tersebut.
"Tidak ada apa-apa kok," sahutku dengan suara
parau.
Adikku mengerjapkan matanya yang bulat. "Adek
gak suka sama dia. Melotot mulu, mana mulutnya
melongo terus," tambahnya lagi.
"Jangan bikin Abang takut, Dek! Gak ada siapa-
siapa," kataku setengah membentak sehingga
membuatnya terlihat sedikit ketakutan.
"Beneran kok," belanya. Seberapa pun jujurnya
bocah cilik yang polos, saat ini aku berharap bahwa
dirinya tengah berbohong. "Tapi dia udah pergi
barusan," ujarnya lirih. Rasa sesak di dada dan
mulas sedikit mereda.
"Barusan dia bilang mau nungguin Abang di
kamar." Aku bersumpah mendengar suara tawa
terkikik pelan, sedetik setelah adikku menyelesaikan
kalimatnya. Suara tawa yang aku yakin berasal
dari mulut perempuan: begitu lirih namun terdengar
merobek keheningan malam dan bebunyian
binatang malam lainnya. Bukan hanya itu saja, aku
juga merasakan sesuatu yang sangat dingin
menyentuh tengkukku. Tidak mungkin aku tidur di
kamar! Bohong atau tidak, adikku benar-benar
telah membuatku nyaris kencing di celana.
"Abang tidur di sini aja yah," kataku serak.
Tenggorokanku terasa sangat kering, dan suaraku
jauh terdengar seperti desisan. Tak perduli betapa
konyolnya diriku saat ini, aku segera menghambur
ke ranjang, menarik selimut dan berbaring di
sebelah adikku yang membelalakan matanya.
"Jangan di situ, Bang!" katanya setengah menjerit,
"kasian neneknya ketimpa badan Abang!"
Perlahan, suara geraman halus muncul dari arah bawah tubuhku.
Keringat dingin mengucur deras,
badanku menggigil tak terkendali.
Dan cairan hangat yang mengucur deras membasahi pahaku, tak bisa mengenyahkan rasa dingin yang datang
begitu tiba-tiba.[Cr : http://keripikpasta.blogspot.co.id]
KAMU SEDANG MEMBACA
CreepyPasta & Urban Legend
HorrorThey can see you.. They always watch you.. They're everywhere.. And maybe,they are beside or behind you right now..