7. Let's Dance Together

36 3 0
                                    

Aku meringis saat merasakan nyeri yang luar biasa pada pergelangan kakiku. Kubuka mataku pelan-pelan, menyesuaikan dengan cahaya yang ada di sekitarku. Saat aku sudah mendapatkan fokus, aku bisa melihat Bintang sedang sibuk mengikat beberapa batang pohon, dia tidak menyadari aku yang sudah bangun.

"Bintang?" dia tidak menyahut, bahkan melihat kearahku pun tidak. "Bint-"

"Kenapa kamu nggak bilang?" Dia menatapku nanar, matanya tampak memerah.

"Maksudnya?" aku bingung kemana Bintang membawa arah pembicaraan kami.

Bintang menunjuk kearah kakiku dengan dagunya, "Liat sendiri."

Kedua kakiku tampak diperban, dan disebelah kakiku, terdapat perban yang dipenuhi banyak darah, kurasa aku mengerti. "Oh."

Bintang berdiri, wajahnya tampak sangat marah. "Kakimu bengkak, dipenuhi banyak luka, mengeluarkan banyak darah, dan kamu cuma bilang 'oh'?" Bintang mengalihkan pandangannya dariku.

"What a surprise?! " Bintang mengibaskan tangannya dengan tatapan terkejut yang dibuat-buat.

Bintang kembali menatapku. Kini amarahnya sudah mulai hilang. "Harusnya kamu bilang sejak awal kalau kaki kamu sakit!"

"Sekarang sudah nggak terlalu sakit, kok." aku membela diri.

"Terang aja, kan sudah kuobati!" dia menunjuk perban yang ada disampingku. "Lihat darah yang sudah kamu keluarkan, kalau begini terus, kamu mungkin akan kehabisan darah!"

Aku menunduk, "Maaf, Bintang, aku cuma nggak mau merepotkan kamu."

Bintang mengacak-acak rambutnya dengan tampang frustrasi, "justru kalo kamu kayak gini aku merasa repot." Bintang mengambil batang pohon yang tadinya dia ikat. "Aku buat kruk tadi waktu kamu pingsan, jadi, semoga tingginya pas."

"Makasih, ya," aku diam, dalam hati terharu akan perbuatannya, "dan, maaf juga buat yang tadi."

"Udahlah," Bintang mengibaskan tangannya. "Nggak perlu minta maaf," Bintang menyerahkan botol air mineral kepadaku. Aku langsung minum sebanyak mungkin.

"Ini udah jam 3 sore, kita harus gerak cepat biar bisa nyari yang lain," aku mengangguk.
Bintang membantuku berdiri, kemudian membantuku memakaikan ranselku. Tangan kananku menyangga tongkat sementara tangan kiriku, kukalungkan di bahu Bintang.

Dalam keadaan sedekat ini dengan Bintang, rasanya sakit dikakiku benar-benar hilang, saat angin terbang melewati Bintang, aku mencium aroma parfumnya yang lembut dan menyegarkan, dalam diam aku menghirup udara sebanyak mungkin, mencoba merekam segala hal tentang Bintang yang saat ini berada sangat dekat denganku.

Mungkin saja kami akan terpisah secepatnya setelah kami bertemu dengan yang lainnya. Dan aku harus siap akan segala kemungkinan kehilangan Bintang.

Kami kembali berjalan menyusuri sungai. Sepanjang perjalanan, Bintang menyanyikan beberapa lagu, katanya supaya aku nggak kesepian. Aku ikut menyanyi bersamanya jika aku tahu lagu apa yang dia bawakan. Kami istirahat setiap setengah jam. Sekarang sudah pukul 4.35 sore, aku dan Bintang duduk menyender di pohon.

Pohon-pohon disekitar kami rata-rata sudah mati, ataupun layu, tidak ada daunnya sama sekali. Aku berencana untuk memberitahu Awan lokasi ini nantinya, supaya bisa direboisasi. Sinar matahari senja tidak lagi menyengat kulit. Jadi aku dan Bintang tidak lagi merasa kepanasan.

"Kayaknya malam ini kita kemah lagi deh, soalnya nggak ada tanda-tanda ketemu sama anggota ORPAS."

Aku mengiyakan perkataan Bintang. "Jadi, kamu bawa makanan apa?" jujur saja aku kelaparan.

The Star And The Firefly Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang