Kedua: Keraguan

51 8 6
                                    


   Teeeeettthhh!!..

Jam istirahat pertama.

"Yaaahh... Akhirya selesai juga." seru Putri sambil meregangkan otot otot di seluruh tubuhnya.
"Ke kantin bareng yuk Mell.?" ajak Putri penuh semangat.
"Gak ah Put, soalnya Aku disuruh ke kantor sama pak Imam."
"Yaahhh,." sahut Putri lesu.
"Yaudah deh, aku temenin ya..."
"Eng, gak usah put. Gak papa."
"Beneran gak papa.?" selidik Putri. "Hari ini tu kamu aneh banget tau gak sih." Putri ngomel sambil menyilangkan kedua tanganya di depan dadanya.
"Atau jangan jangan kamu..?!"
"Aku kenapaa..?!"
"Gak papa,  Bye Melody.!"
"Hiiiiiihh.!! Anak ini..." gumam Melody sambil mengepalkan tangan di depan wajahnya penuh emosi.
Tapi Putri Berlalu pergi sebelum Melody sempat memukul kepala teman sebangkunya itu dengan kulit durian.

   Melody segera keluar kelas yang memang sudah sedikit sepi.
Langkahnya gontai tak bersemangat, otaknya menerka nerka, kira kira apa yang akan dikatakan Pak Imam ya.
"Haaahh... Kalau aku diskors gimana,? gak bisa masuk Ranking 10 Besar donk.?!" keluh Melody, serasa berjalan menuju ketiang gantungan rasanya.

"Ehh..ii-ittuu... Bian yaa...?!  Aduuhh, dia jalan ke sini lagi. Gimana nih. Gawaaattt.."
"Apanya yang gawat.?" tanya Bian.
"Ahh... Anuu, bukan kamu kog.  Tapi itu...   Aku!  Yaa,! aku yang gawat.! Yaaa, Haaa... jadi, permisi.!"

Melody mencoba menghindari Bian. Tapi dihalang halangi. Melody ke kiri bian ke kiri.
Melody ke kana Bian ikut ke kanan. Akhirnya Melody merapatkan punggungnya ke tembok lorong kelas.
"Maaf permisi.. Maaf, permisi..
Tubuhnya bergeser sedikit demi sedikit.

Tapi lagi lagi Bian menghalangi langkahnya dengan melintangkang tangan kirinya, buru buru Melody berbalik tapi tangan kanan Bian sudah ada di depanya. Jadilah Melody terkurung didalam jebakan buatan Bian. Wajahnya terus tertunduk, tanganya rapat berada di depan dadanya, sebuah posisi pertahan seorang wanita yang takut disentuh oleh lawan jenisnya.

"Mau melarikan diri ya.?" tegur Bian.
"Eenggg... Ngak kog. Bukann." jawab Melody dengan menggelengkan kepala
"Lalu... apa namanya
kalo bukan melarikan diri namanya.?"
Melody hanya diam, tak punya jawaban pasti akan pertanyaan Bian. Perasaanya kacau saat ini. Apalagi dia tak pernah sedekat ini dengan seorang laki laki.

"Kamu tidak lupa dengan perjanjian kita tadi pagi kan.?" tanya Bian penuh kepastian.
"Karna kamu kalah taruhan, Mulai sekarang aku ingin kamu
Jadi pelayanku selama sebulan. Mengertii...?" suaranya datar, tapi penuh penekanan. Tanganya mencengkram kedua pipi Melodi, sampai bibir Melody yang berwarna merah natural jadi monyong. Memaksa Melody untuk menatap wajahnya dengan paksa. Melody hanya bisa terpejam sambil menahan nafas. Perasaannya tak karuan. Deg degan rasanya menunggu apa yang akan dilakukan Bian kepadanya. Sebenarnya Melody tidak suka diperlakukan seperti ini, tapi entah kenapa ia tak bisa marah kepada Bian.

Nafasnya terasa di wajahnya, setiap hembusan di pipinya. Wajah mereka sudah sangat begitu dekat hanya tinggal beberapa senti lagi. Sampai sampai Melody menutup mulutnya rapat rapat, takut nafasnya bau. Suara degup jantungnya begitu keras di telinganya, memacu darah semakin cepat mengalir keotak.

"Baiklahh.!!   Aahh.... Aku haus sekalii..:(!"
Suara Bian memecah keheningan diantara mereka.
Perlahan Melody membuka matanya, sambil ngos ngosan Melody merosot kebawah karenah lemas. Tubuhnya begitu gemeteran, jatuh terduduk di lantai. Lalu Bian jongkok di depan Melody.
"Kamu lagi ngapain, heeemmhh....? Kamu enggak denger ya tadi aku ngomong apa..?"
"A. Ku. Ha. Usss...!" dikte Bian.
"Ii-iyaaaa, baiklah. Kamu hauskan.?!"
Buru buru Melodi bangkit dan berlari. Menyusuri lorong sekolah, kelas demi kelas ia lewati. Melody masih berlari melewati murid murid lain yang sedang mengobrol satu sama lain. Berkerumun di depan kelas, bercanda sambil memakan jajanan mereka, ada juga beberapa murid kutu buku yang sibuk membaca di bangku taman depan kelas mereka, seolah terasing dari peradaban jaman yang semakin cepat berputar, memaksa mengikuti arus perubahan, hingga terseret kedalam jurang penakut. Takut di sebut miskin, takut di sebut pahlawan. Takut memberi, takut memulai.
Lebih nyaman ketika berbicara lewat sosial media. Lebih berani bertindak dan memulai lewat sosial media.
Tapi takut didalam kenyataan.

Selimut HatimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang