Satu

1.5K 52 3
                                    



"Uhuk!" Nisa terbatuk, butiran debu beterbangan di udara. Matanya mengerjap-ngerjap menghilangkan debu yang menyusup masuk ke celah kelopak matanya, menyipit saat sepasang kaki berlari rusuh memasuki ruangan yang penuh debu.

"Neeeng, jangan masuk, banya debu!" sebelum pemilik kaki rusuh itu masuk, Nisa berteriak, suara derap kaki itu terhenti. Nisa tersenyum saat penglihatannya kembali jelas, sebuah kepala menyelundup dari balik pintu, menyembul memperlihatkan kuncir kuda yang bergoyang-goyang.

"Neng, jangan masuk, banyak debu!" Nisa tersenyum, pemilik kuncir kuda itu menggelembungkan pipinya.

"Neng Raisa main sama akang Ramdan aja dih, biar ayah yang bantu ibu."

"Yah, neng kan mau bantu ibu yah, biar kamar buat neng cepet beres." Raisa merajuk.

"Hayo, yang ada kamarnya nggak beres-beres, ayo neng di sana aja, atau bantuin abu bikin makan siang dih." Nisa menggandeng sosok anak keduanya keluar kamar yang sudah lama difungsikan sebagai gudang, menggelengkan kepala saat Raisa mencoba membujuk.

"Ayah sih, mereka seharusnya kita ungsikan dulu." Nisa berjalan memasuki kamar, mendapati suaminya sedang membuka-buka album lama.

"Ayah lupa ini album ada di sini, kangen nggak sih bu? Ini kamu pas SMA kan yah?"

Nisa menghampiri, melihat foto yang ditunjuk suaminya, dia tersenyum tipis. "Cupu yah yah, tapi ayah nggak kalau cupu." Alis suaminya terangkat.

"Cupu-cupu kok ibu mau?"

Nisa tertawa, "Namanya juga masih muda, masih hilaf!"

Suaminya terkekeh.

"Kangen ya, Yah."

"Iya, kangen, ibu inget nggak hari pertama kita masuk?"

Nisa mengangguk, mengenang masa itu, masa yang kata orang, masa paling bahagia.

... ... ...

Perlahan Dhanis melangkahkan kaki ke halaman sekolah barunya, warna putih dan abu-abu mendominasi pakaian anak-anak baru, memasuki tahun pertama mereka.

Dhanis berjalan perlahan sambil memperhatikan SMU barunya. Gedung SMU itu amat luas, hampir semua sarana dan prasarananya lengkap, bisa dibilang cukup elit, maklum sekolah itu adalah salah satu sekolah terbaik di Jakarta, cukup sulit untuk masuk ke sana, selain tingkat penerimaannya memiliki standar yang tinggi, sekolah ini juga tidak menerima sembarang murid, apalagi setiap kelas hanya menampung dua puluh sampai dua puluh lima orang murid.

Ada sedikit kebanggaan dalam diri Dhanis saat menginjakkan kaki, apalagi dia bisa bersama beberapa temannya yang juga di terima di sini.

"Nis, buruan kita cari nama kita," seorang cowok dengan seragam baru menarik tangan Dhanis.

Dhanis mengerjap kaget. "Zaldy! Jangan ngagetin dong!" omelnya pada sahabat sejak kecilnya yang mempunyai nama lengkap Frezaldy Giftandira.

Cowok yang di panggil Zaldy itu memandang Dhanis dengan rada jengkel, "Lagian lo malah bengong sih. Kita kan harus liat papan pengumuman," Zaldy menarik tangan Dhanis.

"Iya, tapi nggak usah buru-buru gitu dong!" protes Dhanis. Zaldy langsung memelototinya.

"Iya-iya gue tahu," Dhanis takluk, berjalan mengikuti Zaldy.

Zaldy tersenyum, "Nah gitu dong! Jangan bikin yang aneh-aneh deh."

Dhanis hanya bisa cemberut.

MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang