Bd Saint-Germain, Paris, France
Aku menguap lebar hingga mataku berair. Aku mengucek mata, menyingkirkan air yang keluar karena menguap. Kemudian kembali menatap Pria Perancis yang sedang menatapku galak. “Apa katamu tadi?” tanyaku tanpa merasa berdosa.
Ia mengerjap tidak percaya. “Kau tidak mendengarkanku?”
Aku nyengir, kemudian menyesap hot chocolate-ku. “Salahmu sendiri menyeretku kesini saat aku lagi tertidur nyenyak di apartemenku. Hanya karena apartemenku cuma membutuhkan sekitar lima menit berjalan kaki kesini,” kataku sambil mengibaskan tanganku.
Apartemenku memang dekat sekali dari sini, Café de Flore, dari apartemenku, Apartment La Maison Saint Germain, yang sama-sama beralamat di Bd Saint-Germain. Mungkin untuk berjalan kaki, hanya membutuhkan kurang dari lima menit, tapi bila dengan kendaraan dapat kupastikan hanya sekitar semenit.
Dia menghembuskan napas dengan keras-keras. “Sudahlah lupakan.”
Aku mengulum senyum geli. “Kau ini seperti anak kecil.” Aku tertawa pelan. “Sudahlah, ceritakan kembali. Aku berjanji aku akan mendengarkanmu dengan baik.”
Dia menyesap espresso-nya. Kemudian dia menatapku sambil mendengus. “Sahabat apa kau ini? Saat sahabatnya berbicara tidak mendengarkan.”
Astaga, apakah mood Pria Perancis ini benar-benar sedang kacau? Aku menghembuskan napas pelan. “Baiklah, maafkan aku. Jadi, apa yang sedang mengganggumu, Xavier Truffaut?”
“Baiklah, aku akan mengatakannya lagi, Avalon Williams,” jawabnya sinis. “Aku hanya senang bahwa Odette Joyeux sudah berpisah dengan si Périer brengsek itu.”
Apa? Jadi dia meneleponku di hari liburku yang terpenting dan menyeretku kesini hanya untuk mendengarkan kalimat itu saja? Yang benar saja! “Kau gila.”
“Maaf?” Dia mengangkat alisnya.
“Oh Xavier! Kau menyeretku kesini hanya untuk mengatakan bahwa Odette—mantan kesayanganmu—sudah berpisah dengan kekasihnya? Oh! Kau pasti gila.”
Xavier menatapku tidak suka. Ia memandangku dengan gusar. “Kau mengatakannya seolah aku sudah melakukan hal yang amat buruk denganmu.”
Well, ini memang hal yang buruk untukku.
Xavier Truffaut, adalah sahabatku dari kami sama-sama bersekolah di sekolah dasar. Ia adalah asli pria Perancis. Sebenarnya menurutku dia lumayan tampan—baiklah aku bohong—dia sangat tampan dengan matanya yang berwanra Hazel, dan rambutnya yang berwarna light brown. Apalagi dada bidangnya, sungguh menggiurkan...
Astaga, Ave! Wake up!
Tapi aku tidak habis pikir dengannya, pria yang se-oke dia, sampai sekarang masih tergila-gila dengan mantan pacarnya yang ia kencani saat high school, Odette Joyeux.
Sebenarnya aku sudah sering mendengar cerita-cerita tentang Odette dari Xavier sepanjang hidupku. Seperti; “Aku tidak percaya! Odette berciuman dengan orang lain di pentas musiknya!” atau “Ini gila! Odette mengatakan dia sudah tidak tahan denganku, padahal aku tidak melakukan apapun!” atau “Odette adalah wanita termanis yang pernah aku temui.” dan yang membuatku muak “Ave! Odette sudah memaafkanku, dia menerimaku kembali.”
Kalau dia tidak mau pacar kesayangannya dicium orang, walau hanya di sebuah pentas music, sekalian saja larang dia menjadi aktris drama musical di sekolah. Tidak melakukan apapun? Hah! Tidak melakukan apapun! Aku sangat jelas tahu kalau sahabatku ini terlalu sayang dengan Odette sehingga ia sangat posesif. Bagaimana Odette tahan dengan sikap posesifnya? Melihatnya saja aku tidak tahan. Aku tidak peduli kalau Odette manis, cantik, gendut, atau seperti hidung babi, tolong jangan memuji seseorang didepanku dengan pandangan memuja, karena percuma aku tidak memedulikannya. Dan anehnya, walau sahabatku tahu aku tidak peduli dia selalu saja melakukan hal itu di depanku. Dan astaga, mereka sudah menjalani hubungan putus-nyambung selama bertahun-tahun! Jadi kata-kata seperti; “dia sudah menerimaku kembali” sangat membuatku muak. Ya Tuhan, sepertinya sahabatku terkena sindrom Odette akut sehingga merasa hanya Odette satu-satunya wanita di dunia.