Aina menyadarkan tubuhnya di pintu kamar Ainun yang baru saja ditutupnya. Sakit rasanya saat ia melihat kakaknya menahan sedihnya.
Kemana hati nuraninya selama ini? Kenapa selama ini ia buta dan tuli dengan semuanya? Aina ingat betul hari itu tepatnya hari saat beberapa hari kembalinya ke Belanda selepas menyasikkan acara wisuda Ainun, saat itu ia melihat isi dari dompet Habibie dan alangkah terkejutnya Aina melihat foto dengan wajah yang mirip sekali darinya, Ainun, satu nama yang terlintas di benaknya. Foto Ainun hanya beberapa lembar memang tapi foto itu membuat Aina sadar, gadia yang selama ini di ceritakan oleh Habibie adalah Ainun.
Hingga beberapa bulan berlalu dengan dirinya yang seakan tak tahu menahu dengan rasa cinta Habibie pada Ainun, dirinya malah menyatakan cinta pada lelaki itu. Habibie tak menjawabnya dan Aina tahu pasti apa yang membuat Habibie tak menjawabnya.
Dan dengan piciknya ia mengatakan bahwa Ainun sudah dijodohkan dengan lelaki lain. Untuk beberapa saat Habibie tampak tak memiliki semangat lagi dan Aina buta dengan kesedihan itu. Hubungannya dengan Habibie semakin membaik seiring berjalannya waktu, saat ia mengatakan cinta lagi pada Habibie, lelaki akhirnya menerimanya.
Dirinya saat itu memang pernah berkata bahwa cinta tumbuh seiringnya kebersamaan dan menawarkan Habibie untuk menjalani saja hubungan ini dulu jika tak cocok maka akhiri, dan karena itu Habibie menerimanya.
Selama itu hubungan mereka Habibie sama sekali tak pernah mencintainya. Selama beberapa tahun kebersamaan mereka, Habibie hanya memandangnya sebagai Ainun, selalu saja Ainun namun ia tak peduli itu.
Hubungan mereka lancar hingga saat ini karena ia tak pernah mengeluh ataupun menuntut Habibie. Hingga tiba saat Habibie memutuskan untuk menikahinya dan mengajaknya kembali ke Semarang. Ia tahu kenapa Habibie melakukan pernikahan ini, sangat tahu malahan dan satu kali lagi ia membutakan diri.
Dan untuk pertama kalinya saat kepulangannya, ia dapat melihat langsung tatapan cinta Habibie untuk Ainun.
Malam itu Habibie datang ke rumah untuk melamarnya. Ainun kakaknya hanya diam tanpa berniat untuk menyapa Habibie. Kakaknya terlalu takut pada dirinya, dan dirinya terlalu jahat pada kakaknya.
Dengan gontai Aina berjalan, hingga tubuhnya hampir jatuh. Tangisnya tak terbendung saat ia melihat wajah ibunya yang sudah mulai tua.
"Bu, Aina nggak bisa menikah dengan Habibie." Tubuhnya gemetar, mengeluarkan segala emosi yang dipendamnya selama ini.
Aina marah dan benci pada dirinya sendiri. Kenapa ia sejahat ini pada Ainun? Pada Habibie? Kenapa ia selicik ini? Tuhan, ia tak pantas menjadi seorang adik. Aina menjelaskan semuanya pada kedua orangtuanya, mereka kecewa tentu saja dan tanpa Aina sadari Habibie berdiri di ambang pintu ruang keluarga tempat di mana ia baru saja menceritakan semuanya.
Tangisnya pecah sekali lagi melihat tatapan kecewa dari Habibie. "Maafin aku, Hab, maaf." Pintanya.
Habibie menghembuskan napasnya perlahan dengan pelan ia mengusap air mata yang jatuh di pelupuk mata Aina. "Aku maafkan." ucapnya walau sebenarnya ia sangat kecewa dengan sosok di depannya ini.
"Nikahilah Ainun, dia sangat mencintaimu."
Habibie mengangguk, tanpa di suruhpun ia sudah berniat melamar Ainun sepulangnya dari Belanda. "Dan semoga kau mendapatkan lelaki yang terbaik untukmu." Balas Habibie.
"Pastinya, udah sana pergi sebelum aku berubah pikiran." Ledek Aina.
Punggung itu menjauh dan tak akan kembali padanya. Bagaimanapun juga ia mencintai Habibie namun ia tahu kebahagiaan Habibie bukan bersamanya tapi bersama Ainun.
Habibie berjongkok tepat di depan pintu kamar Ainun, tangannya menulis serangkaian kalimat pada kertas putih tersebut lalu dengan perlahan ia memasukannya kewat celah bawah pintu.
Ainun menyadari itu, saat di mana sebuah surat yang perlahan masuk melewati bawah pintunya itu.
Dengan tergesa-gesa ia mengambil surat tersebut. Sudah lama sekali orang tak memberikannya sebuah surat, dan yang selalu memberikannya surat biasanya Habibie.
Mengingat nama itu saja membuat Ainun sedih dan ingin menangis, tapi jika ia menangis make upnya akan luntur dan ia tak mau melihat Aina khawatir padanya.
Calon pengantin perempuan nggak baik berada di kamar terus.
Cepat buka pintunya.Calon pengantin? Ini pasti salah kamar, batin Ainun. Karena sudah jelas yang menikah Aina adiknya, bukan dirinya.
Dengan cepat Ainun membuka pintu kamarnya dan mendapati lelaki dengan jas hitam di depannya.
Mata hitam yang memandangnya teduh. Habibie lelaki itu berdiri tepat di depannya.
"Ini bukan kamar Aina." ucap Ainun parau. Pandangannya ia alihkan karena ia belum siap berhadapan dengan lelaki itu.
"Memang."
"Kamar Aina ada di sebalah kanan kamarku."
Habibie bisa melihat jelas kesedihan di mata itu, mungkin ini saat yang tepat untuk dirinya mengungkapkan perasaannya selama ini.
"Te Amo." Bisik Habibie.
Ainun mendongak, menatap Habibie tak percaya. "Aku Ainun, bukan Aina." ucap mencoba tak acuh dan mencoba setenang mungkin walau hatinya bergemuruh dengan berbagai emosi yang sulit dijabarkan.
"Tak ada jawaban untuk pernyataan cintaku, Nun?"
Nun? Ainun? Apakah yang di maksud Habibie dirinya? Tapi tidak mungkin bukan karena hari ini adalah hari pernikahannya dengan Aina.
"Kamu bakalan menikah dengan Aina jadi aku nggak perlu ngejawab ucapanmu itu, dan jangan bercanda, aku nggak suka."
Habibie harus benar-benar bersabar dengan kekeras kepalaan Ainun karena ia tahu tak mudah bagi Ainun untuk menerima pernyataan cintanya.
"Aku cinta kamu Nun, perlu kau tahu aku nggak pernah suka dengan Aina walau kalian kembar identik namun kalian berbeda."
"Aku nggak peduli, lebih baik kamu siap-siap buat acara nikahan kamu, walau cuman di hadiri keluarga inti aja tapi kamu harus siap-siap."
"Aku nggak akan nikah sama Aina, kami membatalkannya, karena aku mencintaimu, Nun." ucap akhirnya Habibie yang membuat Ainun terdiam.
Ainun memandang lelaki itu dengan tatapan penuh rindu, tak pernah terbayang olehnya Habibie akan melakukan semua ini, ia kira Habibie mencintai Aina, tapi ternyata salah. Habibie mencintainya!
Dekapan hangat itu Habibie berikan, ia merindukan Ainun sangat merindukan Ainun. "Habibie, kenapa semua ini terjadi?" bisik lirih Ainun.
Habibie baru saja selesai menjelaskannya pada Ainun dan bisikan lirih Ainun membuatnya semakin memeluk erat gadis itu.Habibie menutup perlahan matanya dengan bibir yang berucap, "Ini terjadi untuk membuat kita bertambah dewasa. Sudah jangan bicarakan lagi, yang jelas aku sangat bahagia hari ini."
*
Tanpa panah Anteros, panah Cupid tiada artinya. Hanya sakit yang kita dapatkan.
Cinta sepihak adalah cinta yang Cupid berikan dan panah cinta Anteros yang akan melengkapinya. Dan panah itu memang sudah tertancap pada kita, namun kita seakan buta dan tak acuh dengan perasaan itu.
Dan saat ini kita sudah melewati banyaknya skenario Tuhan.
Waktu membuat kita tersadar bahwa cinta sudah ada pada hati kita dan harus kita ungkapkan, apapun situasinya.
Te Amo, Habibie.
***
Tbc
***Akhirnya selesai juga. endingnya maksa ya hahaha.
Maafkan kegilaan daku.
Oh ya ini yang jaman sekarang itu yang awal kisah sama akhir kisah. Sedangkan yang lainnya cuman flashback doang.Oke minat vommentnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Habibie Untuk Ainun
De TodoNo plagiat! Bagaimana perasaanmu saat sahabatmu menikah dengan kembaranmu sendiri? Senang? Ya pastinya. Namun bagaimana jika kau memiliki rasa pada sahabatmu itu? Inilah yang di alami Ainun. Dirinya harus rela melihat kembarannya Aina untuk menika...