Dua Hati

42 7 2
                                    

Aku mencintainya.

Tunggu, apakah aku benar-benar mencintainya ? Kami menjalin hubungan ini atas dasar cinta, bukan ? Lalu mengapa aku lebih memilih menatap orang itu daripada mengindahkan sosoknya di sampingku ? Mengapa aku selalu merasa kosong, bahkan sejak awal kami berkenalan hingga kami memutuskan untuk mempunyai hubungan seperti ini ?

Sebenarnya untuk siapa kalimat 'aku mencintainya' itu tadi ? Mengapa aku merasa hubungan yang kami miliki ini terasa hambar ? Mengapa hatiku masih belum 'bekerja' untuknya ? Kata orang, cinta tumbuh karena terbiasa. Aku terbiasa bersamanya, namun mengapa sulit sekali bagiku untuk menyimpulkan bahwa aku sudah mencintainya ? Lihat saja, aku bahkan masih bertanya-tanya tentang perasaanku ini.

Aku tak tahu dan tak mengerti alasan ku bertahan dengan kami yang seperti ini. Entah dia juga merasakan hal yang sama atau hanya aku yang merasa demikian. Jenuh, mungkin pilihan kata yang tepat. Tapi kata Jenuh itu lebih pas untuk sebuah perasaan yang telah berubah, bukan ? Seperti, sebelumnya kau mencintainya namun kemudian tidak lagi. Sudah seperti itu kah perasaan ku selama ini padanya ? 'Nya' yang kumaksud di sini adalah kekasih ku, bukan dia.

Dia.

Laki-laki yang sejak awal menyita perhatianku itu kini sedang sibuk berlatih di lapangan. Dia selalu berlatih keras untuk turnamen-turnamen bergengsi yang akan datang, agar dapat memperbaiki ranking internasionalnya yang menurun beberapa waktu lalu. Kami sesama atlet tahu betul betapa pentingnya peringkat itu. Tentu saja agar kami dapat bermain pada Olimpiade mendatang.

Bagaimana bisa dia menjadi lebih menarik daripada kekasih ku sendiri ? Bukan, bukan secara fisik aku menilainya. Tetapi dari perasaan nyaman yang aku rasakan jika bersama salahsatu dari mereka. Aku tidak bilang bahwa aku merasa risih di dekat kekasih ku. Maksudku adalah kalian akan merasa nyaman walau hanya diam. Dan kenyamanan dalam diam itu tak aku rasakan saat ini.

Kami terduduk di pinggir lapangan baru selesai berlatih, setelah itu kami diam. Dia di sebelahku dengan pemikirannya sendiri, sementara aku dengan segala pikiranku tentang laki-laki di lapangan sebelah itu. Kami sama-sama terdiam, yang terdengar hanya bunyi shuttle cock yang beradu dengan raket dan suara-suara lain dari pinggir lapangan.

Sejujurnya ada yang menganggu pikiran ku selama ini. Sebuah wajah sendu di malam aku dan kekasih ku meresmikan hubungan kami. Waktu itu sudah sangat larut malam dan aku masih tersadar karena ucapan 'selamat' terus berdatangan kepadaku dari teman-teman sesama atlet, sehingga aku memilih untuk membuat susu hangat di dapur umum asrama agar aku segera tertidur. Betapa tak terduganya, aku malah bertemu dengan wajah sendu itu di dalam sana.

Dia terduduk di meja di tengah dapur sambil terdiam sementara kedua tangannya melingkari sebuah gelas berukuran sedang yang ku yakini isinya teh. Sekedar info saja, dia tidak minum kopi, itulah yang aku dapatkan dari pertemuan pertama kami di dapur umum itu setahun yang lalu.

Untuk alasan yang tak dapat dijelaskan, aku terdiam di dekat pantry, tak jadi membuat susu. Semua pergerakan ku rasanya terkunci saat mata sipitnya menatap mataku. Yang aku tahu waktu itu, perutku terasa mual, seperti yang biasa terjadi setiap dia menatapku seintens itu.

Sebelumnya kami tidak pernah diam dengan suasana canggung seperti itu. Kami sering terdiam, namun aku menikmatinya, tapi aku juga menikmati keheningan yang satu itu walaupun aku merasa ada kejanggalan di dalam ekspresi kami masing-masing. Aku seperti ingin menjelaskan sesuatu, sementara dia terlihat...kecewa ? Entahlah, rasanya terlalu dini untuk menyimpulkannya.

Boleh ku akui, aku merasa senang dengan pernyataanya sebelum dia pergi dari sana, "Aku terlambat, ya, Sa."

Kalimat itu membuatku terombang-ambing bahkan setelah seminggu lamanya kejadian di dapur umum itu berlalu. Juga sikapnya yang mendadak dingin dan statusnya yang kini telah menjadi milik orang.

There are some feelings you will never find words for ; you will learn to name them after the ones who gave them to you.

Short StoriesWhere stories live. Discover now