Should I Tell You ?

62 8 2
                                    

Aku memandang mu dari sudut kelas kita dalam diam. Kamu sedang bercanda dengan teman-teman laki-laki yang lain. Sibuk menertawakan sesuatu dari dalam ponselmu. Apa itu yang ada di sana ? Aku penasaran akan hal yang membuatmu begitu bahagia.

Secara tiba-tba kamu mengalihkan pandanganmu dari sana lalu pandangan kita bertubrukan dan kamu tersenyum tipis namun manis sekali. Aku hanya sanggup tersenyum kikuk ke arahmu yang lanjut menertawai sesuatu.

"TEMAN-TEMAN ! KE GEDUNG TEATER, SEKARANG !" Teriak Daniel, ketua kelas kami yang baru saja tiba di dalam kelas.

Seluruh isi kelas yang memang sedang menunggu kabar mengenai tempat belajar kami untuk pelajaran Bahasa Indonesia, karena minggu lalu kami dijanjikan untuk menonton film di gedung teater dan Daniel selaku ketua kelas tadi pergi bertanya untuk sekedar memastikan.

Kami segera bergegas ke gedung teater yang letaknya di sayap kanan sebelah barat, sementara kelas kami ada di sayap kiri lantai dua. Aku berhenti sejenak, tepat sebelum berbelok menuju tangga yang terhubung ke lantai satu karena masih sangat ramai.

Seseorang menepuk pundakku. "Kenapa belum turun, Rad ?" suara itu menyentakku. Aku segera berdiri tegap sebelum berbalik menatapnya.

"Em, nunggu tangganya sepi." Jawabku kelewat kikuk. Oalahhh, sungguh aku benci menjadi kikuk seperti ini di depannya. Pasti dia akan berpikir bahwa aku benar-benar freak, walaupun sebenarnya iya.

Aku bisa melihat kerutan samar di keningnya. "Kenapa nggak lewat tangga di sana aja ?"

Memang tangga menuju lantai satu ada dua, tetapi siapa yang mau berjalan jauh lagi ke sana ? Naik tangga tiap pagi menuju kelas saja sudah cukup membuat betisku seperti kaki gajah. No, thanks.

Aku menggeleng samar. "Kejauhan, Bi." Oke, barusan, aku berusaha akrab dengannya. Tidak ada salahnya, 'kan ? Lagian, dia duluan yang memanggil aku dengan singkatan namaku. Jadi, aku hanya berusaha mengimbanginya saja.

Dia tertawa renyah. Manis sekali. Siapa pun yang menyaksikannya pasti akan terjangkit kejang-kejang level parah. Untungnya, aku sudah membentengi diriku dengan meremas pensil mekanik yang daritadi berada di dalam genggaman tanganku.

"Iya juga, sih. Mana mesti ngelewatin kelas dua belas, pula. Yang ada, elo malah digodain sama cowok-cowoknya." Apa dia mengkhawatirkan ku, atau sekedar basa-basi ?

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis ke arahnya, kemudian menyadari sesuatu. Koridor sudah sepi dan tangga pun sudah sangat sepi. "Lo nungguin temen-temen lo ?" tanyaku, memastikan karena rupanya hanya kami berdua yang tersisa di sana.

Dia juga baru tersadar dengan keadaan sekitar. "Oh, nggak juga, sih. Ayo, jalan, tangganya udah sepi, tuh." Kemudian dia berjalan mendahuluiku.

Aku memandang punggungnya yang terpisah tiga anak tangga dariku. Kepalanya tertunduk untuk memerhatikan langkahnya yang panjang. Saking panjangnya, aku terpisah jauh darinya.

"Radin, lo ngapain ?" Pertanyaan itu menyadarkanku bahwa aku masih berdiri di tempat, tidak bergerak sama sekali dari posisi awal kami. Sementara Abi sudah berada di anak tangga terakhir.

Ya Tuhan, semoga Abi nggak sadar kalau aku daritadi keasyikan merhatiin dia, amin.


🍩

Cewek dingin. Itu, sih, anggapan pertama gue kalau nama Radin disebut-sebut sama komplotan gue di meja belakang. Jangan tanya, deh, kenapa bisa nama Radin disebut-sebut sama tukang 'nyampah' ini. Ya apalagi kalau bukan mereka tertarik sama cewek macam Radin yang kalem, nggak banyak monyong alias ngomong, dan mukanya yang kata mereka mirip Maudy Ayunda.

Short StoriesWhere stories live. Discover now