Tsuyu ( Hujan )

26 7 3
                                    

Saitama diguyur hujan lagi hari ini dan lagi-lagi aku harus terperangkap di bawah halte Bus yang sepi dan terbilang jarang dilewati Bus, kalaupun dilewati mungkin hanya tiga kali dalam sehari. Tapi tak mengapa karena dengan begitu aku mempunyai kesempatan mengamati seorang gadis yang berdiri di seberang sana.

Sudah dua minggu ini—sejak musim hujan melanda Jepang—gadis itu selalu terlihat di jalan ini, tak pernah absen. Anehnya, dia selalu tak berpayung di saat hujan seperti sore ini. Sekujur tubuhnya sudah basah kuyup, pertanda sudah daritadi dia berdiri di atas trotoar di seberangku.

Aku tidak tahu apa yang membuatnya selalu betah diguyur air hujan seperti ini setiap hari. Mungkinkah ia sedang menghemat air untuk mandi ? Hahaha, rasanya pemikiran itu sangat tidak mungkin, kan? Kota kami memang sepi dan biaya hidupnya memang lebih rendah daripada kota-kota lain, tetapi kami tidak pernah kekurangan pasokan air seperti dugaan tak mungkin ku itu tadi. Entahlah, pasti dia memiliki alasannya sendiri. Tetapi tetap saja, apa dia tak takut jatuh sakit ?

Suara khas Bus berwarna oranye tertangkap oleh telingaku, saatnya mengucapkan selamat tinggal pada si gadis pecinta hujan.

🍩


Aku segera bergegas begitu guru yang mengisi pelajaran terakhir sore ini berjalan meninggalkan kelas.

"Kazawa, kau mau ikut main video game di rumah Ryu ?" tawar Makoto yang sudah daritadi membenahi buku-bukunya dan kini ranselnya sudah ia kenakan di punggungnya.

Aku menggelengkan kepala. "Kalian saja, di luar juga hujan."

"Ya sudah, kita barengan ke stasiun, ya ? Kami tidak punya payung." Ujarnya seraya merangkul ku.

"Makoto, Kazawa 'kan tidak searah dengan kita." Seru Ryu dari tempatnya duduk.

Makoto menepuk keningnya sendiri, baru menyadari kenyataan yang sudah lebih dari satu tahun ini bahwa aku selalu pulang berbeda arah dengan mereka.

"Oh iya, kau 'kan selalu pulang dengan Bus di jalan sepi itu, ya ?" ucapnya dan mendapatkan anggukan dariku.

"Kazawa, apa kau pernah melihat seorang gadis di jalan itu ? Yang selalu berdiri kehujanan itu ?" pertanyanyaan Ryu mendapatkan perhatianku.

Mungkin kah maksudnya adalah gadis yang selama ini ku jumpai itu ?

"Apa maksudmu Akira ?" kini giliran Makoto yang bersuara.

Ryu mengangguk, membenarkan. "Iya Akira. Apa kau melihatnya ?" Ryu kembali bertanya padaku.

Jadi, gadis itu namanya Akira.

"Iya, ada apa dengannya ?" tanyaku balik, penasaran dengan maksud Ryu tiba-tiba membahas si gadis hujan yang kupikir hanya diketahui olehku.

"Hmm, jadi benar yang dibicarakan banyak orang selama ini."

"Apa ?" desakku.

Ryu berdecak. "Seperti yang kau lihat selama musim hujan ini. Dia seperti itu sejak kecelakaan beruntun di jalan itu."

Kecelakaan beruntun ? Kecelakaan besar yang menewaskan belasan orang tahun lalu itu, maksudnya ? Lalu apa hubungannya dengan Akira yang sering berdiri di tengah hujan ?

"Akira itu satu-satunya orang yang selamat dari kecelakaan waktu itu, sementara seluruh keluarganya tewas bersama korban lainnya." Lanjut Ryu menjawab semua pertanyaan yang sebelumnya tak pernah terjawab di dalam benakku ; mengapa ia selalu berdiri di tengah hujan ?

"Hahh, malangnya Akira yang cantik itu, bahkan ia sampai berhenti bersekolah." Keluh Makoto di sampingku.

Apa ? Tunggu dulu... "Dia bersekolah di sini ?" tanyaku tak percaya.

"Iya, kau lupa, ya, dia 'kan yang selalu memenuhi loker mu dengan surat cintanya. Oh, tentu saja kau tak ingat, kau kan pernah menolaknya begitu saja."

Dengan susah payah aku mengorek ingatanku setahun yang lalu, saat ia menahanku di depan sekolah ketika hujan sedang turun dengan derasnya. Waktu itu untuk pertama kalinya gadis itu memperkenalkan dirinya padaku walau aku sering kali menangkap basah ia sedang berdiri di depan lokerku, menyimpan surat-surat beraroma parfum vanilla yang tak pernah kusentuh sama sekali apalagi kubaca.

Saat itu juga aku memintanya untuk berhenti peduli padaku, maksudku berhenti dengan hobinya mengirimiku surat karena aku sama sekali tidak tertarik dengan hal seperti itu. Ya bisa dibilang, aku menolak perasaannya. Dia kelihatan baik-baik saja setelah menerima penolakanku dan malah ia memberiku payung lipatnya kemudian berlari menerobos hujan sore itu dan memasuki sebuah mobil sedan yang berhenti di depan pagar sekolah. Kalau tidak salah hari itu adalah hari di mana kecelakaan besar itu terjadi.

14 Juni 2015.

Aku juga ingat setelah hari itu aku tak pernah melihatnya lagi di depan loker, di pinggir lapangan, di kantin atau di sudut manapun dari sekolah kami. Surat-suratnya pun berhenti memenuhi lokerku dan payung kuningnya yang sengaja kugantung di knop pintu loker pun juga tak pernah berpindah dari tempatnya.

Ah, mengapa aku baru menyadarinya sekarang ?

"Kazawa, apa yang sedang kau pikirkan ?" suara berat Makoto menyentakku.

Aku memandang payung lipat di mejaku, meraihnya kemudian memberikannya kepada Makoto. "Ini, pakailah." Kataku singkat lalu berlari menuju lokerku, mengeluarkan benda berwarna kuning itu dari sana dan kembali memacu kakiku menuju ke mana pemiliknya selalu berada.

Kakiku baru berhenti bergerak setelah menemukan sosok berbalut terusan berwarna merah muda pucat itu tengah berjongkok di atas trotoar yang sepi. Kedua tangannya memeluk kakinya yang ditekuk, bahunya bergetar karena menangis—walau wajahnya tertutup rambut panjangnya aku bisa mengetahuinya karena hari ini adalah hari itu, hari ia kehilangan keluarganya.

Sambil menggenggam erat payung di tanganku, aku melangkah mendekatinya, mempersempit jarak di antara kami. Dia samasekali tidak menoleh padaku walau aku pun sudah ikut-ikutan duduk di atas trotoar di sebelahnya.

Mataku menyapu wajahnya, memerhatikan kulit putih pucat itu diguyur air hujan kemudian turun membasahi bibirnya yang berwarna ungu. Aku tak sanggup lagi melihatnya yang serapuh ini, aku lebih senang melihat gadis berwajah kecil yang selalu tersenyum di depan lokerku satu tahun lalu—oke, meski aku baru menyadari bahwa mereka adalah orang yang sama.

Aku menunduk menatap celanaku yang sudah basah seluruhnya padahal aku sangat benci kehujanan apalagi seragam ini masih harus dipakai lagi besok tetapi aku malah berharap hujan turun semakin deras, biar aku sama basahnya dengan gadis yang masih setia membisu di sebelahku ini, biar aku juga bisa merasakan kesedihan yang membungkamnya.

Namun sampai menit ketiga puluh kami diguyur air hujan yang sama, aku masih sulit memecah bisu di antara kami. Aku pun sangsi dia mau menganggapku ada setelah aku menolaknya hari itu. Pada akhirnya yang aku lakukan adalah membentangkan payung kuning itu di atas kepala kami berdua, menghentikan tetes-tetes air hujan mengguyur tubuh kami tetapi air tak berhenti membasahi pipinya yang tirus.

Saat itulah ia bereaksi, meskipun hanya sebatas menatap heran ke arahku yang tersenyum getir. Mata merahnya yang mengeluarkan pandangan polos tetapi hampir tertutupi sorot kesedihan itu seperti meminta penjelasan tetapi aku membalasnya dengan diam.

Tanpa kata, tetapi aku ingin dia tahu mulai detik ini aku tidak akan berhenti memayunginya dari derasnya air hujan.

Short StoriesWhere stories live. Discover now