Spin One (1-3)

1.4K 38 14
                                    

Roughlette - Spin One : Mimpi Buruk Tak Terbayangkan

Gladys mengingat setiap detail yang terjadi pada hari itu. Hari dimana hidupnya yang bahagia berubah menjadi neraka hidup dalam hitungan menit. Detail yang takkan pernah bisa dia lupakan meski dia inginkan pun. Menghantuinya tanpa ampun detik demi detik, hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun dalam hukumannya.

Gladys ingat sebenarnya di pagi itu dia terbangun dengan perasaan luar biasa bahagia. Hari itu tanggal 11 Juli, hari Senin tepatnya. Semester baru akan dimulai hari itu. Hari barunya sebagai murid kelas 3 SMA, seorang senior, bayangkan. Gladys adalah ketua klub Memanah di sekolahnya. Kepala Sekolahnya pernah memuji bahwa dia adalah ketua klub terbaik sepanjang berdirinya sekolah mereka. Kenapa tidak, Gladys berhasil membawa klub mereka menyabet semua piala kejuaraan se provinsi bahkan Gladys sendiri pernah dikirim ke Thailand untuk mewakili Indonesia dan mengharumkan nama sekolah mereka SMAN 78 Surabaya. Dan sepanjang liburan dia diberitahu banyak pelajar yang berlomba masuk ke SMA mereka karena ingin mengikuti jejak Gladys.

Seperti hari-hari lainnya, Gladys selalu dibangunkan oleh tepukan lembut di pipinya. Itu Meirin. Adik kandungnya yang masih kelas 5 SD. Meirin selalu bangun lebih dulu, dan menepuk pipi Gladys untuk membangunkannya telah menjadi kebiasaan.

Perlahan Gladys membuka matanya, pura-pura masih mengantuk dia tiba-tiba menarik Meirin ke atas ranjangnya, memeluknya erat. Meirin meronta sambil tertawa kecil.

Gladys tidak pernah habis pikir kenapa orangtuanya memberinya nama 'Gladys Jacknoella' yang cenderung berbau barat sementara memberi nama adiknya 'Meirin Kuan Shi' yang berbau Chinese. Padahal Gladys dan Meirin sama-sama berkulit gelap, sama sekali tidak mewakili kesan nama bule dan cina mereka.

Gladys tomboy, 85% teman dekatnya adalah laki-laki. Dan dia anti sekali memakai rok kecuali terpaksa. Itu berarti seragam sekolah adalah pengecualian. Meirin sebaliknya feminim sekali, dan agak penakut bila harus berhadapan dengan yang namanya anak laki-laki.

Meirin berhasil kabur dari dekapan Gladys dan bergegas keluar dari kamar Gladys sambil meleletkan lidah.

Ditinggalkan begitu, Gladys turun dari ranjang dan bersiap untuk mandi. Cuma ada dua kamar mandi di rumah itu. Satu di lantai bawah, dan satu lagi tepat di sebelah kamar Gladys di lantai dua. Kamar mandi ini digunakan Gladys dan Meirin bersama-sama. Meirin pastinya mendapat giliran pertama.

Lantai kamar mandi terasa dingin dan licin. Gladys menepuk dahinya. Dia lupa menyikat lantai kamar mandi adalah tugasnya. Dan dia semestinya mengerjakannya kemarin.

"Kakak, sarapannya sudah siap," teriak Meirin dari dapur di lantai bawah.

Gladys mempercepat mandinya. Salah satu kelebihan Meirin adalah anak itu teratur luar biasa. Bagai seluruh gerakannya diatur oleh mesin sehingga tak pernah meleset dari waktu yang telah ditentukan.

Teriakan Meirin tadi bisa diartikan lain, yaitu: 1. Sudah pukul 07.00, 2. Samil menunggu di bawah.

Benar saja, sewaktu Gladys dengan telah memakai seragam lengkap dan tas sekolah turun ke bawah. Samil, sahabatnya, telah menunggu dengan santai di meja makan mereka, ikut sarapan. Mulut Samil penuh nasi goreng dan terlihat lebih peduli dengan telor ceplok di piringnya dibandingkan kedatangan Gladys.

"Pagi sayang." Seseorang mengecup dahi Gladys dengan lembut.

"Pagi, Pa," balas Gladys. "Hari ini nasi goreng?"

Papa Gladys tersenyum hangat, "Agak hangus tapi kurasa masih enak. Buktinya Salim makan dengan lahap."

Samil mengacungkan jempol sembari menggumam tidak jelas.

Papa Gladys, Patra, adalah seorang arsitek, kadang menyempatkan diri untuk membuatkan mereka sarapan meski tidak pandai memasak. Meirin adalah juaranya untuk hal masak memasak di rumah itu.

"Kalau Samil sih, semua makanan enak atau tidak, pasti ditandasnya tanpa sisa," sindir Gladys.

"Masakan Om Patra enak kok," puji Samil, "Ya kan, Meirin?"

Meirin melirik Samil dengan sebal, dia tahu dia dijadikan tameng dalam pertarungan harian Gladys-Samil, tapi dia juga tak mau mengecewakan Patra, "Iya," jawabnya hati-hati, berusaha tak terkesan memihak Samil.

"Sepanjang apa sih ususmu, bukannya ibumu juga menyiapkan sarapan untukmu?" Gladys menyerang lagi.

"Tidak baik menolak rejeki." Samil menyuap butiran terakhir nasi gorengnya. "Dan..." Salim menunjuk-nunjuk Gladys dengan sendoknya, "...kau harus bergegas. Keadaan klubmu harus dicek pagi ini juga."

Samil benar. Dan Gladys tahu itu. Hari pertama adalah hari penentuan. Murid-murid baru tidak akan terkesan kalau menemukan ruang klub yang ingin mereka masuki malah berantakan.

"Bagaimana motormu?" tanya Patra pada Samil. "Kudengar kau memodifikasinya lagi?"

Samil terlihat bersemangat ditanya begitu. Dia dengan lancar menjelaskan semua modifikasi semena-mena yang dia lakukan terhadap motornya. Motor yang membawanya ke sekolah setiap hari. Dan motor itu pula yang menjadi tumpangan Gladys. Rumah Salim berjarak sekitar 200 meter dari rumah Gladys. Ibu Samil memaksa Samil untuk selalu menjemput Gladys sehingga mereka pulang-pergi bareng ke sekolah. Alasan Ibu Salim adalah Salim ahli memodif tapi parah membawa motor. Berkali-kali pemuda itu menabrak pohon atau pagar tetangga di lingkungan mereka. Ya, saat mengendarai motor, Gladys lah yang berada di depan, Samil duduk dengan tenang di belakang.

"Oh ya ini buat isi bensinnya." Patra mengeluarkan selembar uang 50 ribuan dari dompetnya. Samil menangkupkan tangannya dengan senyum mengembang. Melihat itu, Gladys buru-buru menyambar uang tadi dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.

"Yang ini saja," tegas Gladys.

Samil menekuk wajahnya serta memberi pandangan membunuh pada Gladys. Yang seperti biasa tak dihiraukan oleh gadis itu.

"Giliran siapa yang mencuci piring hari ini?" tanya Patra.

Meirin dan Gladys saling tunjuk. "Dia."

"Kemarin kan sudah aku?" serobot Gladys.

"Betul tapi kakak mangkir dari tugas 3 hari yang lalu. Akulah yang menggantikan. Jadi hari ini kembali menjadi giliranmu."

Patra tersenyum lebar, "Berarti hari ini hari keberuntunganmu, Gladys. Ada beberapa teman kantorku yang akan bermalam malam ini di rumah kita. Kami punya proyek yang harus diselesaikan. Jadi kuharap kau sekalian bisa mencuci piring-piring di lemari kabinet."

Gladys mengerang pelan dan otomatis kehilangan nafsu makan. Dia menyambar tasnya. Mengecup pipi Meirin dan memeluk Patra. "Aku berangkat." Ditariknya Samil. Sambil lalu Samil mencoba mengusap kepala Meirin yang ditanggapi Meirin dengan teriakan tertahan dan wajah penuh kengerian. Samil tertawa melihatnya.

"Hati-hati di jalan....." seru Patra.

"We will..." sahut Gladys.

Motor Samil diparkir di sudut halaman rumah Gladys.

"Apa helm mu sudah dicuci seperti yang kusuruh?" selidik Gladys.

"Sudah," tanggap Samil, "dan itu sebenarnya yang menjadi pertanyaanku selama ini. Kau kan numpang, kenapa mesti aku juga yang menyediakan helm untukmu? Mending kalau kau puas dengan helm pinjaman. Ini seringnya malah kau protes ini itu. Warnanya lah. Aromanya lah. Bentuknya lah."

"Tanya ibumu," jawab Gladys pendek. "Ayo naik."

"Bisakah kau ngebut?" pinta Samil, berharap.

"Tergantung."

RoughletteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang