“Ditolak!” sergah Gladys cepat, “Hanya anggota klub yang boleh memberikan pendapat!”
“Tapi dengarkan dulu pendapatku!” todong Salim. Dia memang bukan anggota klub Memanah, faktanya bahkan dia terlalu malas untuk ikut klub manapun di sekolah. Namun Salim sering berkeliaran di klub Memanah, bahkan dianggap anggota kehormatan oleh anggota yang lain, kecuali oleh Gladys dan…
“Kau bukan anggota!!!” tegas Mikka yang sering sebal dengan keberadaan anak itu di klub.
“Dengarkan dulu saranku apa…..” lirih Salim. Dia tahu Mikka bisa sangat menakutkan bila dilawan.
“Tidak perlu, ada saran yang lain?” Gladys mengedarkan pandangan. Tak ada yang mengangkat tangan, sebaliknya semua anak malah menatap ke arah Salim yang memasang wajah memelas. “Sekali tidak tetap tidak, Salim.”
Salim mendengus, kemudian merubah taktiknya dengan pintar, “Ah, kita kan belum mendengar pendapat pembimbing klub, bukan begitu kak Brion?”
Seketika Gladys dan Mikka menggeram, keduanya tahu pasti apa jawaban yang bakal diberikan Brion.
“Kita dengar dulu sarannya,” kata Brion tenang, yang langsung disetujui seluruh anak di sana.
Berusaha tersenyum semanis yang dia mampu, Gladys berkata, “Kalau begitu baiklah, apa rencanamu Salina?”
Salina adalah julukan yang diberikan Gladys untuk Salim. Salim sangat membenci julukan tersebut. Untungnya kali ini dia tidak peduli, dia merasa menang.
“Tunggu sebentar.” Salim bergegas keluar ruangan dan kembali dengan membawa sebuah kotak kayu. “Aku menemukan ini di rumah kakekku sewaktu liburan tadi.” Dia membuka penutup kotak dan mengeluarkan sebuah pistol jenis Walther P99 buatan Jerman. Anak-anak di sana langsung berdecak kagum dan melontarkan beragam pertanyaan.
“Apa itu asli?”
“Apa aku boleh menyentuhnya?”
“Legal gak sih punya pistol begituan?”
“Ini asli, sangat asli,” jawab Salim dengan sombong.
“Lalu? Apa hubungannya dengan pertunjukkan kami?” serang Gladys dengan tidak sabar.
Salim mengangkat telunjuknya, “Kita buat semacam sandiwara pendek di panggung. Bayangkan begini, ada seorang anak berdiri di panggung dengan membawa balon-balon beraneka warna. Kemudian seorang anak lainnya berperan sebagai ‘si jahat’ yang mengancam nyawa si anak pembawa balon. Si jahat membawa sebuah pistol dan menodongkannya pada si anak pembawa balon. Kemudian menembakkannya! Balon meletus satu per satu! Hebat kan ideku?”
“Itu ide paling buruk yang pernah kudengar sepanjang hidupku,” sindir Mikka.
“Dan bodoh,” tambah Gladys. “Mana mungkin kita menembakkan pistol di atas panggung!? Dikemanakan otakmu, Salina!?”
“Di sanalah kemampuan kalian diuji,” Salim telah menunggu komentar semacam itu, “Sebenarnya tak ada acara tembak-tembakan. Kita melakukan semacam trik di sana.”
Gladys mengerutkan dahi, “Maksudmu?”
“Si jahat sebenarnya hanya menodongkan pistol ini. Tanpa menembakkan apapun. Toh pistol ini tak memiliki peluru juga. Kau pikir aku gila apa bawa-bawa pistol berisi peluru?! Nah, ketika si jahat pura-pura menembak si anak pembawa balon sebenarnya ada anggota klub yang memanah balon tadi satu per satu dari balik panggung. Tapi penonton takkan tahu apa-apa, karena mereka hanya melihat si anak pembawa balon dan si jahat.”
Ruangan klub langsung ribut, semua anggota menyukai ide itu. Mereka langsung membayangkan tanggapan dari para penonton nanti.
“Idenya lumayan.” Gladys sungguh tidak rela bila harus memuji Salim. “Kurasa bisa dipraktekkan bila semua anggota setuju.”
Tidak perlu ditanya lagi semua anak di sana mengangguk dengan semangat, bahkan Mikka turut mengangguk meski ogah-ogahan.
“Baiklah, ada yang berminat menjadi ‘si jahat’?” tanya Gladys secara terbuka.
Semua tangan menunjuk padanya. “Ketua harus tampil, itu aturannya,” seru seorang anak yang diakuri anak lainnya.
Gladys mendesah, “Berarti sang pembawa balon adalah Mikka?”
“Aku menolak.” Mikka menggeleng pasti, “Aku memilih bertindak sebagai pemanah yang berada di balik panggung. Sang pemanah itu haruslah orang terbaik di klub kita. Dengan tingkat keakuratan yang tinggi. Dan akulah orang yang paling tepat untuk itu karena Gladys sudah berperan sebagai si jahat.” Mikka menyampaikannya dengan nada suara angkuh, anehnya semua orang terlihat memakan penjelasan tersebut dengan baik.
“Boleh usul?” timbrung Brion, “Bagaimana kalau si anak pembawa balon dimainkan langsung oleh Salim?”
“Kakak, dia bukan—“
“Bukan anggota, ya kita semua menyadari hal tersebut. Tapi Gladys, dia lah yang membawa ide ini. Tak ada salahnya melibatkan Salim dalam pertunjukkan ini. Semua anak di sekolah kita pasti senang melihatnya di panggung.”
“Heh… itu pasti… setelah dia membuat kehebohan pagi ini saat upacara,” sentak Mikka. Anak-anak tertawa ketika mengingatnya. Salim bersemu merah.
“Loh ada apa di upacara pertama kalian?” selidik Brion, tertarik.
Anak-anak tertawa makin keras dan wajah Salim sudah mirip kepiting rebus sekarang. Mikka menceritakan kejadiannya pada Brion yang akhirnya turut tertawa karenanya.
“Guys, kita harus cepat,” potong Gladys, “Siapkan semua alat yang diperlukan sekarang juga. Rapat kububarkan! Mikka, bagian belakang panggung tanggung jawabmu!”
Mikka memberikan senyum ‘percayakan padaku’ pada Gladys, dan melontarkan sesuatu pada Salim, “Salim, kau sudah membuat surat wasiat belum? Siapa tahu panahku meleset ke kepalamu.”
“Itu tidak lucu, Mikka.” Salim bergidik.
“Itu lucu kok, buatku tentu.” Mikka menyeringai yang membuat Salim menjauh darinya, membawa kotak kayunya ke dekat Gladys.
Gladys melirik Salim, “Mau apa kau?”
“Kau harus mencobanya dulu.”
“Mencoba apa?”
“Memegang pistolnya, bodoh.” Salim memutar bola matanya, “Jangan sampai kau kelihatan kaku di panggung nanti. Melihat aktor di tivi dengan pistol sangat berbeda dengan memerankannya sendiri dan menarik pelatuk secara nyata.”
Salim mengulurkan Walther P99-nya. Dengan ragu Gladys mengambilnya. Sebagai seorang atlit panah Gladys memiliki kepekaan lebih terhadap ukuran dibanding orang biasa. Sekali lihat dia langsung bisa mengira panjang pistol itu sekitar 180 mm, tinggi 130 mm dan lebar 30 mm. Dipindahkannya pistol tadi dari tangan kanan ke tangan kiri, lalu sebaliknya, untuk mengira beratnya. Dan dia mendapatkan suatu angka, 630 gram.
Gladys mulai meneliti setiap bagian pistol yang berwarna hijau polimer itu. Mencoba mengarahkannya pada sesuatu, lalu memasukkannya jarinya ke bagian pelatuk. “Hei, bodoh, ini beneran gak ada pelurunya kan?”
“La iya lah, coba aja ditekan pelatuknya.”
Gladys menelan ludahnya dengan gugup. Mengarahkan pistol ke lantai. Menghitung sampai tiga dalam hati kemudian menekan pelatuknya, bersiap mendengar bunyi tembakan yang mungkin akan menjadi pengalaman terburuk dalam hidupnya. Namun tak terjadi apa-apa. Walther P99 itu hanya terdiam. Gladys tersenyum, menekan pelatuknya berkali-kali. Pistol ini terasa hanya seperti mainan.
Dilepaskannya jarinya dari pelatuk, Gladys mengangkat moncong pistol dari lantai, dan saat itulah dia merasa pistol itu berdenyut dan hidup. Gladys memekik sejadi-jadinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roughlette
HorrorSembilan tahun yang lalu Gladys tanpa sengaja menembak sahabatnya sendiri sampai tewas. Setelah keluar dari penjara, dan hidupnya seluruhnya berantakan, Gladys menyadari pistol yang dia gunakan dulu ternyata dikutuk. Pistol tersebut sekali digunakan...