Salim tersenyum lebar, ‘tergantung’ itu berarti ‘iya’ bagi Gladys. Dia segera melompat naik.
Dengan kondisi ngebut tadi, mereka menempuh perjalanan dalam waktu 15 menit. Di sepanjang jalan Salim berteriak-teriak kesenangan seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.
Gladys langsung memarahinya begitu dia memarkirkan motor tersebut. “Kau gila ya!!! Orang-orang pada ngeliatin kita semua tadi di jalan, tau nggak? Dikira mereka aku menculikmu!”
“Paranoid… lagi-lagi paranoid,” Salim mengangkat bahu dengan pasrah.
“Siapa yang paranoid?” tanya seseorang.
Senyum langsung terkembang di wajah Gladys begitu melihat sang penanya, “Kak Brion. Ada apa ini? Kenapa kakak ada di sini?”
Brion balas tersenyum. “Aku diminta kepala sekolah untuk menjadi pembimbing klub Memanah kita. Itu tentu saja asal ketuanya mengijinkan.”
“Aku pasti setuju!” Gladys langsung menyesali nada suaranya yang terkesan terlalu bersemangat. Tapi dia tak mampu menyembunyikan perasaannya dengan baik kalau berhadapan dengan Brion, mantan kakak kelasnya itu.
Gladys telah menjadikan Brion sebagai targetnya semenjak mereka pertama kali bertemu. Bukan tampang Brion yang membuatnya jatuh cinta pada detik itu juga. Melainkan cara Brion memandangnya, jauh berbeda dengan cara anak laki-laki lainnya memandangnya. Brion adalah ketua klub sebelumnya. Dan Gladys tak ingin mengecewakan Brion, dia harus mampu mempertahankan semua prestasi yang diperoleh klub ketika Brion masih memimpin. Dengan munculnya pemuda itu sebagai pembimbing klub segalanya terasa… sempurna. Gladys merasa ini adalah hari terbaik dalam hidupnya.
“Kakak apa kabarnya?’ tanya Salim ramah. Brion dan Salim memang cukup dekat, Gladys harus berterimakasih karena Salim lah yang membuatnya mampu ‘berbicara’ dengan Brion dengan akrab.
“Luar biasa, Salim. Kau memodifikasi motormu lagi rupanya.”
Salim nyengir, “Keren kan, kak?”
“Jangan dipuji, kak Brion, kumohon jangan,” pinta Gladys.
“Aku takkan memuji. Sebaliknya aku malah ingin mengingatkan, kalian sudah telat untuk upacara pertama kalian di semester ini.”
Gladys dan Salim mendadak pucat, menyambar tas mereka dan berlari ke lapangan indoor sekolah. Melambaikan tangannya sambil lalu pada Brion, Gladys berseru, “Ketemu lagi setelah upacara.” Brion mengangguk ringan.
Gladys berada di depan Salim beberapa langkah. Dia sudah tak mempedulikan sahabatnya itu. Dilemparnya tasnya ke tumpukan tas anak-anak lain yang pasti sudah berbaris rapi di dalam. Dia memberikan ekspresi ‘maaf’ pada guru pengawas yang berdiri di depan pintu. Guru tadi mendesah namun bersedia membukakan pintu. Gladys bergegas menyelinap masuk. Di dalam, upacara baru dimulai sekitar 2 menitan. Dengan pandangan para guru yang terarah padanya Gladys melangkah ke barisan anak kelas 3. Cepat namun tanpa suara. Di tengah jalan dia menyadari satu hal. Dia tidak tahu dia ditempatkan di kelas yang mana. Ada total 6 kelas untuk kelas 3. Dia tidak tahu apakah dia berhasil masuk IPA yang merupakan pilihan pertamanya atau tidak.
Dalam kebingungan dia memandangi setiap barisan, memutuskan ikut manapun yang terdekat ketika sebutir kacang ditembakkan ke dahinya. Dia mengaduh, sangat pelan semestinya, sayangnya itupun cukup untuk membuat semua kepala berpaling dan menatapnya dengan penasaran. Gladys melirik sengit pada orang yang baru saja menembakkan kacang tadi padanya. Orang dengan kekuatan jari luar biasa. Dialah Mikka. Gadis paling cantik di sekolah mereka. Sahabat sekaligus musuh abadinya.
BRUAKKKKK!!!!!
Pintu menjeblak terbuka, mengalihkan semua perhatian dari Gladys ke sana.
“MAAFKAN SAYA TERLAMBAT!!!!” Itu Salim, dengan tampang polosnya dia masuk, membuat semua orang tertegun, dan tawapun pecah di ruangan itu. Salim menunduk-nunduk minta maaf sementara kepala sekolah mereka mati-matian menyuruh semua siswa diam.
“Sialan kau, Mikka. Apa maumu sebenarnya?” sembur Gladys yang telah berdiri di sebelah Mikka.
“Apa maksudmu?’ jawab Mikka dengan ekspresi tersinggung. “Aku berusaha menarik perhatianmu agar kau masuk barisan ini. Dahimu saja yang terlalu tipis, dan kau menjerit layaknya anak sepuluh tahun yang cengeng.”
Gladys mendengus tidak percaya, dipijitnya dahinya yang masih terasa nyeri. Dia bersumpah dia melihat seulas senyum puas di wajah Mikka.
Salim bergabung dengan mereka. Wajahnya merah seperti kepiting rebus. “Hai, Mikka.”
Mikka melirik dengan minat terbatas pada Salim, “Hai juga.”
Upacara itu berlangsung lambat dan membosankan. Kepala sekolah mereka sepertinya ingin memberikan ratusan petuah terutama untuk anak kelas 3 yang tahun ini akan mengikuti Ujian Nasional. Salim menguap berkali-kali, dengan keras. Saat menguap untuk ketujuhbelas kalinya, Gladys dan Mikka melotot padanya yang dibalas Salim dengan cengiran lemah.
Begitu selesai dan barisan dibubarkan, Mikka menarik Gladys keluar. “Aku bekerja sendirian sedari pagi!” omelnya, “Kau seharusnya bertanggung jawab sebagai ketua!”
“Iya, maaf…” lirih Gladys.
Mikka adalah wakil ketua di klub Memanah. Prestasinya sedikit tertinggal dari Gladys, namun dengan kecantikannya dia berhasil menjadi primadona. Jarang-jarang ada siswi cantik jago memanah. Kekuatan jarinya juga sudah terbukti berkali-kali. Seperti tembakan kacang ke dahi Gladys tadi. Itu adalah kacang mentah, Mikka selalu membawa sekantung sebagai peluru. Yang paling sering jadi korbannya siapa lagi selain Salim.
Salim membuntuti kedua gadis yang terus berdebat itu ke ruang klub Memanah. Dia bahkan dengan sukarela membawakan tas keduanya. Ruang klub Memanah berada di paling belakang komplek sekolah karena di sanalah dibangun lapangan Panahan khusus mereka.
Beberapa meter di dekat ruang klub Mikka tertegun dan bersorak, “Astaga, kak Brion?”
Brion sedang dikelilingi semua anggota klub yang berusaha mengorek semua keterangan darinya. Tentang universitas pilihannya, jurusannya, suasana kampusnya dan terutama apakah dia punya pacar sekarang.
Meninggalkan Gladys dan Samil, Mikka berlari mendekati Brion, menyingkirkan anak-anak lain yang berkerumun di sana.
Gladys menggigit bibirnya kesal, inilah yang selalu menjadi bahan pertengkaran utamanya dengan Mikka. Mereka berdua menyukai orang yang sama, Brion. Tak ada satupun yang mau mengalah meski mengatasnamakan ‘persahabatan’. Menurut perhitungan Samil, kedua gadis ini punya kans sama besar.
Mikka segera memonopoli Brion, mengakibatkan anak-anak lain memasang tampang masam. Gladys buru-buru menyuruh mereka semua masuk untuk rapat klub. Mikka tetap mepet di dekat Brion, pemuda itu menatap Gladys seolah berkata ‘ini bukan apa-apa’. Gladys merasa dirinya salah mengartikan tatapan Brion dan memilih duduk di kursinya.
“Bisa kita mulai sekarang rapatnya?’ buka Gladys.
Semua orang di sana terdiam serentak.
“Sebelumnya ada beberapa pengumuman penting yang harus ku sampaikan. Pertama, seperti yang kalian liat sendiri, kita memiliki pembimbing klub sekarang. Kak Brion.”
Tepuk tangan bergemuruh di ruangan kecil itu. Mikka memekik kecentilan, padahal biasanya dia jaga image di hadapan anak yang lain. Gladys memutar bola matanya, menahan diri untuk tidak mengomentari kelakuan gadis itu.
“Pengumuman kedua adalah dari kepala sekolah. Hari ini kita diharuskan memberikan suatu pertunjukan di hadapan semua siswa baru. Waktunya mepet, aku tahu. Ada yang punya ide? Sampaikan sekarang juga.”
Seorang anak mengangkat tangannya, “Kita bisa memberikan pertunjukan memanah.”
“Itu terlalu standar, kita akan diperkenalkan sebagai klub Memanah. Orang akan langsung berpikir ke sana. Memberikan pertunjukan memanah akan terkesan buang-buang waktu. Meski tidak jelek juga sih. Hanya saja aku menginginkan suatu pertunjukkan yang memberikan efek kuat. Ide lain?” tandas Gladys tanpa basa basi.
“Aku punya ide!” seru Salim penuh semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roughlette
HorrorSembilan tahun yang lalu Gladys tanpa sengaja menembak sahabatnya sendiri sampai tewas. Setelah keluar dari penjara, dan hidupnya seluruhnya berantakan, Gladys menyadari pistol yang dia gunakan dulu ternyata dikutuk. Pistol tersebut sekali digunakan...