prolog

18 2 0
                                    

Hujan masih belum lekas reda memaksa tertunggu menghabiskan luncuran airnya yang berjatuhan. Kumenghela nafas dalam-dalam, dinginnya sungguh tak kepalang tulung! Mana lagi aku lupa membawa jaket dari asrama, berharap ini tidak menjadi malapetaka yang bisa saja medatangkan flu atau sakit kepala. Kalau sakit siapa yang ngurus?

Aku melihat seekor kodok kecil berwarna hijau kemerahan tengah sibuk meloncat kesana-kemana di balik rerumputan hijau. Jika hujan menjadi tembok kepulanganku, justu baginya hujan saat untuk berpesta ria. Oh... Andai saja kulitku setebalmu kodok, keluhku. Tapi itu tidakku jadikan doa, mana mau dapat kulit yang menjijikan sedangkan ciptaanku sudah sempurna.

Tapi bisa di bilang memang kulitku dulu setebal kodok-kodok itu. Dulu aku sangat mengidamkan hujan turun dan bermain bersama... Ah nama itu sukar aku sebut. Aku tak ingin hujan turun dari mataku, cukup dari langit saja. Hanya aku sendiri disini, teman kampus yang lain sudah pulang dengan kendaraan pribadi masing-masing dan ada juga yang berjalan kaki dengan payung tentunya. Andai saja bulan Desember ini aku tau akan datangnya musim penghujan, pastinya aku sudah sediakan payung dalam tas atau sekalian jaz hujannya.

"Nunggu apa, Neng?"

Aku tersentak kaget saat kehadiran Pak Edo di sampingku. Rupanya dia sudah siap dengan tas dan payung yang di tentengnya.

"Nunggu hujan reda, Pak." jawabku sopan, lantas karna dia Dosen kimiaku.

"Oh... Kamu gak bawa payung?" duganya.

Aku menganguk saja sudah cukup menjawab. Pak Edo dengan berbaik hati ingin mengantarkanku pulang keasrama. Namun, segeraku sengah.

"Aku gak mau repotin, Bapak," dalihku.

"Gak repotin kok. Aku memang berniat mampir ke asrama untuk menjemput Rena. Dia disana, ada anak baru katanya. Jadi bolehkan? Sekalian mampir."

Aku menganguk pasrah. Sampai kapan lagi rizki ini akan turun bersama hujan, menunggangi mobil mewah yang menghalau hadirnya hujan menyentuh tubuh serta udara dingin. Pak Edo seorang lelaki yang usianya tidak mudah lagi, tumbuhnya uban di rambut dan wajah yang kian menua. Tapi masih terlukis sisa-sisa ketampanannya di masa bujang. Rena yang tadi di sebut olehnya adalah Istri sekaligus pemilik asrama tempatku berada. Yup... Otomatis Pak Edo tuan asrama pula.

Kedatangan kami di sambut oleh Rena yang sedari tadi menuggu di teras depan. Sebagai seorang Istri yang berbakti pastinya dia selalu menyugukan kehangatan untuk Suami yang baru saja datang. Tapa menaruh rasa curiga dia menatapku.

"Tesa, sana lekas masuk. Nanti kamu masuk angin loh... Aku saja baru sepuluh menit di sini sudah mengigil. Oh ya, sebelum aku pergi. Em... Ada anak mes baru yang sementara ini sekamar denganmu..."

"Siapa?" potongku cepat.

"Dia, eh... Itu... Em, Pah?!" karna gugup Rena meleparkannya pada Pak Edo.

"Pandu, anakku." jawab Pak Edo.

"Laki-laki?" tanyaku bodoh.

Mereka berdua mengangguk dan kami diam sesaat. Barulah Pak Edo mencaikan suasana.

"Begini loh, Tes... Salahkah kami menitip anak lelaki kami yang masih bujang menginap. Tadinya saya mau menempatkan Pandu kekamar yang lain, tapi... Semua sudah penuh. Itu pun atas kehendak Pandu untuk sekamar denganmu, alasanya sih karan kau gadis yang lain dari yang lain..."

"Yang lain apa? Dan dari siapa? Potongku lagi dan kini aku merasa sikapku sungguh tidak sopan.

Tidak patut memang mengelak kehendak dari yang empunya tempat ini. Tapi jika penghuni barunya perempuan sih gak masalah, tapi yang ini jadi pertimbangan. Kalau nanti dia berbuat... Ehem...

"Jangan salah sangka dulu, Tes. Mungkin karna sikap anak-anak asrama yang lain terlalu berlebihan menyambutnya lantaran ketampanan anak saya, jadi ya... Dia maunya denganmu," tutur Pak Edo lagi.

"Bagaimana dia tau aku beda dari yang lain?" imbuhku lagi kurang puas.

Pak Edo hanya mengangkat bahu. Lalu tatapan matanya dengan Rena mengandung arti. Benar saja Rena segera angkat bicara, dan aku yakin mereka suka main bulu tangkis yang selalu melempar alih koknya.

"Boleh ya, Tes. Aku mohon... Anak kuwalonku* tak mau di tingal sendirian di ruamah saat kita melaksanakan bulan madu di Eropa. Dia masih kuliah sepertimu dan lagi... Dia takut sendiri."

Aku mengerutkan kening. Alasan macam apa itu? Sudah gede kok masih saja ngempeng. Tapi melihat tatapan memelas di mata Rena, ya... Apa boleh buat. Toh ini pun punyanya, siapa saja yang masuk dan tingal bukan hakku juga.

Mereka berlalu menerjang derasnya air hujan. Tampa di sadari tubuhku kembali mengigil. Mungkin karna terlalu serius menangapi lawan bicaraku jadi terlupa akan rasa dingin ini. Cepat-cepat aku masuk kedalam. Baru saja kaki menampak keambang pintu, boneka teddy bear besar miliku meluncur tepat di depan muka. Bukan itu saja, boneka yang lain pun sama.

Dengan jengkel aku masuk menemui siapa yang menyambit orang sembarangan. Yang benar saja, seorang bertubuh tingi dan cukring sedang memilah-milah barang-barang pribadiku. Betapa meronanya pipiku saat dirinya mengibarkan celana dalam dan bra miliku. Segera tanganku terulur merampas dalamanku dari tangannya. Barulah lelaki itu menatap kearahku dan bisaku lihat tengkuk wajah tampan yang membinarkan mata.

Ini kah si Pandu, bujangnya Pak Edo dan anak tirinya Rena? Kok ganteng ya, pikirku setes tampa menyadari lelaki itu kembali mengobral lagi baju-bajuku di lemari. Saat alam sadarku kembali, kutarik tubuh jungkring itu menghindar dari baju-bajuku yang dikotori oleh tangannya.

"Eh, otak ada di mana sih? Gak sopan banget berantakin hak milik orang!" semburku tampa sadar. Tak memikirkan siapa yang di gentak itu.

"Emangnya kenapa?" tanyanya sok bego.

"Ini kamarku!"

"Ini juga kamarku. Asramaku malah."

Aku terdiam seketika, menyebalkan jika mengunakan ancaman itu.

"Tapi ini barangku. Lancang sekali kau mengobrak-abriknya!"

"Sebodo. Barangmu kaya dagangan, sempit. Gimana aku bisa punya tempat kalau semua di kuasaimu."

"Tapi izin dulu keles!"

Dia kembali meraih bra milikku, lalu dengan sigap aku merebutnya kembali. Tak urung dia tetap memegang kaitan bra-ku hinga kami saling tarik-menarik. Saat itu pintu kamar terbuka dan menampakan sosok Poppy yang terkantup bibirnya melihat adegan kami. Yang kini kami sadar akan barang yang diperebutkan membuat mata Popy tak mampu berkedip, loyang yang di tangannya pun seakan ikut bergetar.

"Em.. Maaf menganggu. Ini... Ini kue un..tuk penghuni asrama baru.."

Tampa menungu jawaban dari kami Poppy segera menaruh loyang itu di meja dekat pintu dan segera berlalu. Aku menatap jengkel kearah lelaki tengik ini. Diriku malu tidak kepalang di depan teman gara-gara tamu sialan ini. Segera mungkin aku bereskan barang-barangku dan di pindahkan dengan aman dari tupai jantan ini.

---------
Catatan:

*kuwalon dalam bahasa Jawa yang berarti anak tiri.

------

"Terimakasih yang udah mau baca dan like prolog cerita pertamaku ini."

Tak Sepadam LilinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang