"Dek!" Haidar melongok dari celah yang ada di pintu kamar Hani.
Hani hanya melirik tanpa minat dan mengembalikan pandangannya pada novel yang tengah dibacanya. "Hm?"
"Gibran siapa?"
Hani mengerutkan dahi namun tak lantas menurunkan buku yang tengah ia baca. Ia berpikir sejenak, mencoba mengingat berapa orang yang ia kenal dalam hidupnya yang bernama Gibran. Dan otaknya hanya memproses satu sosok saja.
Hani menurunkan bukunya agar dapat menatap Haidar, sepupunya, lebih jelas. "Gibran siapa?"
"Lah, kenapa malah balik tanya?"
"Ya lo kira yang namanya Gibran di dunia cuma satu apa?"
Haidar memutuskan masuk kamar Hani walaupun Hani belum mengizinkan toh biasanya dia suka nyelonong keluar-masuk kamar Hani seenak udelnya. "Gibran Maleeq Narottama. Kenal nggak?"
Hani otomatis menggelengkan kepala soalnya selama ini dia ngerasa nggak kenal dengan orang bernama Gibran Maleeq Narottama.
"Masa' sih lo nggak kenal? Dia katanya sering beli vitamin C sama masker ke apotek lo kok?"
"Oh, mas Gibran? Kalau dia sih gue tahu. Kenapa emangnya?"
Haidar duduk di tepi tempat tidur milik Hani. "Lo ada hubungan apa sama dia?"
Hani mengernyit, nggak ngerti. Hubungan apaan maksud Haidar? Dia sama Gibran sejauh ini ya cuma hubungan pembeli-penjual biasa. "Ada hubungan apaan maksudnya?"
"Jujur aja sama gue, dek. Takut banget sih lo kalau gue marahin?"
"Gue bukannya takut lo marahin tapi gue nggak ngerti maksud dari kata 'hubungan'. Hubungan apaan coba? Dia cuma pelanggan apotek di tempat gue kerja kali."
Haidar menaikkan satu alisnya. "Lo yakin?" Kemudian tangannya menarik Hani untuk keluar dari kamar. "Ikut gue deh."
Haidar menarik Hani untuk mengikutinya ke ruang tamu dimana tiba-tiba saja banyak paket duduk manis di ruang tamu kediaman Ruttadi. "Gue nggak tahu sekarang papa jadi salah satu agen JNE."
"Bukan rumah papa lo yang jadi agen JNE. Ini paket buat elo."
"Gue? Dari?"
"Dari gue. Dari Gibranlah! Gue perlu seumur hidup kali buat beliin barang-barang kayak gini."
Rolex. Abercrombie & Fitch, American Eagle, American Apparel, Topshop, Pandora, Hermes, H&M, Kate Spade, Michael Kors, Louis Vuitton, dan segala merk yang bahkan belum pernah didengar Hani ada di sana.
"Hermes! Rolex! Pandora!!" ucap Haidar dengan menunjukkan kotak-kotak berisi barang mewah itu. "Lo bisa bayangin sekaya apa Gibran dari tiga merk itu doang. Lo minta ini semua ke dia?"
Hani langsung geleng-geleng kepala. "Ngapain minta ginian ke stranger? Kita kenal deket aja enggak kok. Lagian gue nggak sematre ini ya, tolong. Kecuali kalau dia suami gue baru deh gue matrein nyampe liang kubur."
"Dasar istri maruk. Kena azab baru tahu rasa lo." Haidar mendorong pelan kepala Hani dengan jari telunjuknya. "Kalau gitu balikin semua nih pemberian dia."
"Tapi gue nggak tahu alamat Gibran. Gimana dong?"
"Nomor handphonenya tapi ada?"
"Ada sih."
"Yaudah buruan telepon sekarang."
Hani nurut. Dia langsung mencari nomor Gibran yang ia beri nama 'Pecandu Vit-C'. Iya, Hani emang suka kasih nama aneh-aneh nomor di kontaknya. Papanya sendiri aja ia kasih nama 'Poopy' di handphone sebagai bentuk balas dendam karena nomor dia di handphone papanya ditulis 'Anak Tiri'.
