Cafe yang kukelola ini tidak besar. Hanya berukuran 10 kali 15 meter yang dibangun di samping rumah, memanfaatkan halaman yang lumayan besar. Ada ruang penyimpanan bahan makanan di bagian belakang. Dapur tempat pengolahan kue-kue dibuat terbuka sehingga pelanggan bisa melihat prosesnya. Demikian pula tempat mesin pembuat kopinya, pelanggan bisa melihat langsung bagaimana kopi mereka diracik.
Ada ruangan kecil yang dimaksudkan sebagai kantorku, tapi aku lebih sering nongkrong di belakang meja kasir, berinteraksi dengan para pelanggan. Selain bagian yang bersekat itu, sisa ruang dibiarkan terbuka dan diisi oleh delapan meja dengan empat kursi yang mengelilingi. Masih ada tiga meja tambahan di luar ruangan, di depan, yang selalu menjadi rebutan orang-orang ketika datang di sore atau malam hari, saat matahari sudah kehilangan kegarangannya.
Tidak, aku tidak sekolah bidang kuliner sebelum memutuskan membuka usaha cafe ini. Percaya atau tidak, aku kuliah di Fakultas Keguruan dan mengambil jurusan Bahasa Indonesia. Tadinya kupikir menjadi pahlawan bahasa yang akan melawan ke-alay-an para remaja di Indonesia menciptakan banyak istilah aneh dengan memelintir kata-kata seperti 'semangat' menjadi 'cemunguut' atau 'lucu' menjadi 'lutuna' bisa membuat para tokoh pemuda yang mengikrarkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928 itu akan meneteskan air mata haru di peraduan terakhirnya. Tapi aku salah. Aku pernah mengajar, tapi menjadi guru ternyata bukan panggilan jiwaku. Jadi sebelum aku mengajak salah seorang muridku yang bandel-bandel itu duel satu lawan satu di lapangan karena tidak bisa menghilangkan bahasa alay-nya, aku lebih baik berhenti. Dan kukira tidak ada sekolah yang menerima warna rambutku dengan status sebagai guru.
Jadi, aku memutuskan banting setir menjadi pengusaha cafe. Kedua orangtuaku hanya bisa saling pandang, menggelengkan kepala, dan menghela napas panjang sebelum menyetujui keinginan dan memodali usahaku. Di Pontianak, cafe dengan konsep seperti yang kumiliki masih bisa dihitung dengan jari, kalaupun ada biasanya adalah cafe franchise dari luar negeri.
Sekali lagi tidak, aku tidak jago memasak. Sekadar bisa, iya. Tapi aku tidak akan berani menyuguhkan masakan atau kue buatanku pada pelanggan cafe. Aku punya chef pastry dan dessert untuk itu. Jangan bayangkan chef lulusan luar negeri, karena modal yang diberikan orangtuaku tidak akan mencukupinya. Dua orang chef-ku adalah lulusan SMK yang sudah berpengalaman bekerja di cafe besar lainnya sebelum kurekrut.
Aku hanya dianugerahi indra perasa yang luar biasa. Lidahku sangat terampil membedakan antara 'sampah', 'lumayan', 'enak', dan 'wow' ketika mencicipi makanan. Dan aku mengandalkan lidah itu ketika merekrut pekerjaku. Juga untuk menentukan jenis-jenis kue baru yang akan masuk dalam daftar menu.
Sejauh ini aku sangat berhasil, usahaku terlihat "menjanjikan".
Memasuki tahun kedua, aku mulai bisa mencicil utang modal pada orangtuaku. Mereka tidak pernah memintanya, tapi aku harus melakukannya untuk membuktikan pada mereka bahwa aku serius dengan usaha ini. Aku memiliki beberapa karyawan yg terdiri dari pastry chef, barista, waiters dan petugas cleaning. Sedangkan penerima pesanan sekaligus kasir adalah bagianku.**
Hujan turun sejak pagi dan pengunjung lebih sedikit dari biasanya. Aku duduk termangu di belakang meja kasir sambil menopang dagu. Mengawasi buramnya jendela oleh tempias hujan. Kursi-kursi kayu di luar ruangan sudah basah sejak tadi. Payung warna-warni yang menaunginya tidak memberi perlindungan berarti. Payung-payung itu malah terombang-ambing oleh embusan angin yang lumayan kencang.Aku baru saja menaikkan suhu pendingin ruangan ketika melihat bayangan tubuh seseorang berlari dari tempat parkir di bahu jalan menuju pintu masuk. Tanganku yang masih memegang remote AC menggantung di udara.
Itu dia! Lelaki yang menjadi obsesiku karena punggungnya yang mengundang untuk dipeluk. Sekarang hari Rabu dan baru jam 12 siang. Dia tidak semestinya berada di sini di saat ini. Penampilanku sama sekali tidak mendukung untuk menerima pria yang sekarang menuju ke depanku dengan langkah panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mungkin Suatu Hari
ChickLitMengerikan, ya? Aku jatuh hati pada lelaki milik seorang wanita yang secara rutin memberi pemasukan pada laci kasirku. Aku tahu itu. Tapi mau bagaimana lagi, perasaan suka bukan seperti tombol on off televisi yang bisa ditekan sesuka hati saat kita...