Part 1

218K 12.4K 174
                                    

"Saat aku melihatnya pertama kali, aku langsung tahu kalau dia adalah anakku, dan aku akan berjuang untuknya."

Adrian menepikan mobilnya di pinggiran jalan raya. Ia tidak tahu jalan dan tidak suka menggunakan GPS. Bukannya tidak suka, Ia tidak mengerti caranya. Dia terlalu gaptek untuk ukuran pemimpin dari sebuah perusahaan yang cukup besar. Ia sudah terbiasa pergi dengan supir namun Ia malas untuk membawa supir pribadinya untuk ikut ke Malang,

Kakaknya sialan. Kenapa wanita itu selalu saja membuatnya melakukan sesuatu yang tidak penting? Seperti saat ini, kakaknya menyuruhnya mengantarkan sebuah gaun milik wanita itu yang sebenarnya dapat diantar oleh kurir atau menggunakan jasa perusahaan pengiriman barang dan logistik.

"Aku nggak percaya kurir, Adrian." Begitu katanya yang membuatnya tersesat di tengah-tengah kota Malang saat ini.

Adrian keluar dari mobilnya dengan membiarkan mesin mobil menyala dan pintu terbuka. Ia menghentikan seorang penduduk asli Malang yang kebetulan sedang melewati mobilnya, dan menanyakan lokasi Cafe Tara yang ternyata sudah tidak jauh dari tempatnya berhenti sekarang.

Ia masuk lagi ke mobil dengan menggerutu tidak jelas. Ia kesal sekali. Ia menjalankan mobilnya dimana 5 menit kemudian, Ia sudah mencapai Cafe Tara.

Adrian belum berniat untuk turun dari mobilnya. Ia bersandar di kursi kemudi mobilnya dan mengeluarkan handphonenya.

"Halo?" Ujar sebuah suara diseberang sana.

"Aku udah di depan Cafe Tara. Kakak dimana sih?"

"Aku di kantor. Tunggu dulu sebentar."

Adrian melebarkan matanya tidak percaya. "Tau gitu aku tunggu kakak aja di hotel." Ia kesal. Ia yang harus kesini, sekarang ia diminta menunggu kakaknya yang ternyata masih di kantor. Adrian terus-terusan memaki Safira dalam hati.

"Udah terlanjur. Kamu masuk aja duluan."

Adrian keluar dari mobil sedannya dan masuk ke dalam cafe itu. Ia berjalan ke counter dan langsung memesan minumannya.

"Silahkan tunggu, Bapak Adrian nanti minumannya akan diantar."

Adrian mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, ia berbalik, memutar pandangannya ke seluruh Cafe ini untuk mencari meja yang sekiranya nyaman. Meja di dekat jendela adalah pilihannya. Ia berjalan pelan menuju meja pilihannya melewati pelanggan-pelanggan lain.

Adrian duduk dan meletakkan kunci mobil dan handphonenya di meja. Ia memandang keluar jendela, memperhatikan jalanan kota Malang yang lenggang. Akan sangat menyenangkan apabila keadaan jalanan di Jakarta bisa seperti ini.

"Bapak Adrian?"

Adrian menoleh dan melihat seorang pelayan wanita mengantar minumannya. Ia dan wanita itu sama-sama kaget.

"Aleina?"

"Satu espressonya sudah, pesanannya sudah semua ya Pak Adrian." ujar wanita itu yang berusaha untuk menjaga nada suaranya agar tetap tenang.

Wanita itu langsung berbalik dan berjalan ke belakang.

Itu Aleina mantan istrinya. Kenapa Aleina harus bekerja? Ia selalu mingirimi wanita itu uang dan Ia yakin sekali kalau uang yang ia kirim sudah cukup sekali untuk menghidupinya dengan cukup mewah bahkan tanpa Aleina harus bekerja.

Adrian tidak melihat Aleina lagi setelah itu. Ini pertama kalinya ia melihat Aleina setelah 4 tahun yang lalu Aleina pergi dari rumahnya. Waktu 4 tahun membuat wanita itu sedikit berubah, dan Adrian dapat melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada Aleina.

"Adrian"

Itu suara Safira, kakaknya.

"Sudah pesan?"

LE PERE DE LA FILLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang