Mataku mengerjap beberapa kali memandang sosok yang tertawa mencemooh dengan pandangan mengerikan di depanku. Menghadapi orang-orang serakah tak punya akal macam mereka membuat nyaliku ciut. Mungkin mereka memang sinting, tapi otot-otot mereka jauh lebih pandai dariku dalam urusan 'main tangan'. Sekali gampar, tubuh kurusku ini mungkin bisa mati.
"Tangkapan bagus, Louie... hampir seratus tahun berlalu semenjak mata ini berhenti diperjualbelikan". Salah satu di antara mereka terkekeh. Memajukan kepala dengan nafas baunya itu ke arahku. Lagi-lagi aku merutuki diri kenapa aku tidak ikut mati saja waktu itu.
Kedua bola mataku yang beda warna bergerak perlahan.
Beda warna. Biru safir di sebelah kanan, dan merah rubi di sebelah kiri. Mata suku kami memang begini, lalu kenapa? Kami sama-sama manusia, tapi kami selalu dianggap sebagai barang dagangan gara-gara mata ini.
"Jadi, kita potong badan anak ini dan tampilkan di sirkus?" Usul seorang yang lain, membuatku bergidik ngeri.
Kalian tahu sirkus-sirkus keliling yang biasanya datang dan singgah selama beberapa minggu di tempat kalian? Strange creature yang biasanya berisikan makhluk-makhluk aneh_manusia-manusia normal yang sengaja dibentuk cacat_dibalik kandang-kandang besar berbau kotoran singa atau gajah atau bekas air liur beruang?
Hari ini aku akan berakhir disana.
"Tuan..." kuberanikan suaraku yang bergetar ini untuk menyapa mereka. "Aku... aku bisa menari, bagaimana kalau aku ikut rombongan sirkus kalian untuk melakukan pertunjukkan disana?" Lanjutku mengulur waktu dan nyawa. Salah satu dari mereka yang bertopi hitam besar, rambut panjang gimbal dan matanya sobek terjahit satu menghisap rokoknya dalam-dalam. Nampak berpikir, menimang-nimang tawaranku.
"Oke, kau boleh menari, bocah." Serunya membuka ikatan tambang di tanganku.
"Tapi, lakukan dengan bara api di bawah kakimu"
***
Sepatu kaca yang membalut kaki si penari tidak bisa menahan ngilunya panas bara api yang mencubiti kakinya saat dia menari. Jangan bayangkan sepatu kaca Cinderella, dongeng lama_persetan dengan itu_apa yang bisa kamu harapkan dari sepatu bahan dasar kaca beling tipis yang asal-asalan dibuat seperti ini?
Konsep boneka penari kini menempel pada dirinya. Boneka bermata indah beda warna yang pintar menari di atas bara api. Si Dancing Manequin. Setidaknya mata indahnya belum dicongkel dan badannya belum dimutilasi, dikuliti, digantung dan dipamerkan di depan para pengunjung. Dancing Manequin merasa masih harus bersyukur, masih untung cuma kakinya yang melepuh saat ini.
Kandang masih tetap menjadi tempat tidur makan dan buang air baginya. Setidaknya, kandangnya ditempatkan di spot yang jauh dari pengunjung. Bisa gawat kalau ada yang lihat dia buang air, kan?
"Kakak penari?" Suara imut-imut gadis cilik memanggilnya. Dancing Manequin melongok ke bawah, mendapati seorang bocah dengan lolipop di tangannya mengembang senyum.
Waaa!! Make up-nya sudah luntur, dan kakinya sedang melepuh sekarang. Kenapa bisa-bisanya ada anak yang nyasar masuk kesini, sih?
"Ya, adik manis?" Pengunjung adalah raja, bukan?
"Kakak penari cantik saat menari! Aku sukaaa" seru gadis cilik itu gembira. Dancing Manequin mengulum senyum. Kakinya yang melepuh tiba-tiba hilang rasa sakitnya.
"Oh yaaa? Bagus deh kalau kamu suka!" Suara nyaring bahagia si Dancing Manequin terdengar.
"Kakak tau nggak? Saat kakak berputar tiga kali dengan satu kaki dan bara apinya memercik kemana-mana itu, aku kira kakak pake sihir. Hehehee..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Scene
Short Story1. The Dancing Manequin Mataku yang berlainan warna ini selalu jadi sasaran kolektor barang antik. Aku berhasil bertahan dari congkelan di mataku setelah bergabung dengan sebuah sirkus. Tidak, hidupku tidak lebih indah dari kematian disana. Tapi, d...