Satu jam sudah perempuan berambut hitam itu duduk disudut sebuah caffe. Sesekali, ia mengetuk-ngetukkan ujung kukunya diatas meja. Entah apa yang sedang dilakukannya, yang pasti perempuan itu terlihat resah, sangat resah.
Ujung mata almondnya mengatakan bahwa perempuan manis itu sedang menunggu sesuatu. Lebih tepatnya, menunggu yang tidak pasti.Jarum jam terus berjalan, tidak pernah berhenti untuk ikut menunggu bersama perempuan itu. Hari semakin siang dan perempuan itu terlihat semakin kacau.
Berkali-kali ia memesan cokelat panas ketika ia rasa cokelat panas dihadapannya mulai mendingin.
Sekarang sudah ada lima cangkir cokelat panas dengan empat cangkir yang masing-masing mendingin, tidak disentuh, hanya dilirik.Yang dia lakukan hanya berdiam diri, tanpa memperdulikan banyak orang yang telah datang dan pergi.
Wajahnya semakin kusut, matanya mulai layu, berkaca-kaca dan akhirnya menumpahkan butiran air mata.
Ia tak peduli tentang orang lain yang memperhatikan tingkahnya, ia tak peduli jika harus dianggap gila karena memesan banyak sekali cokelat panas tanpa menyentuhnya, ia tak peduli.Semakin lama, laju air matanya semakin kencang. Perempuan manis itu tidak lagi mampu mengendalikannya. Orang-orang disekitar mulai menatapnya nanar.
Seorang pelayan datang menghampirinya dengan ragu, "permisi, ada yang ingin dipesan lagi?"
Sebenarnya, pelayan itu hanya ingin memastikan apakah perempuan itu baik-baik saja atau tidak.Ya, tidak ada jawaban. Perempuan itu semakin menangis, bahunya berguncang hebat.
Tanpa perintah, pelayan yang sedari-tadi memperhatikan itu berlalu meninggalkannya. Mungkin ia butuh waktu untuk benar-benar sendiri.Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00. Empat jam berlalu dalam hening, tidak ada tanda-tanda orang yang ditunggunya akan datang membawa bahagia.
Terlihat perempuan itu menghela napas panjang, kemudian meraih tasnya dan pergi meninggalkan caffe dengan mata sembab, dengan harapan semu, dengan hati yang masih tercabik-cabik, ia pergi, entah.