"Katanya kau suka hujan, tapi kenapa kau sekarang membencinya?"
"Aku tidak membenci hujan, aku membenci kenangan ketika hujan tiba"
Perempuan itu menangis, mendongak ke atas menatap hujan yang sedang membasahi tubuh dan wajahnya. Bulirnya terasa lebih tajam sekarang, seperti hatinya yang sedang tertusuk belati, sakit, ia sedang benar benar berusaha melupakan kenangan yang terjadi kala hujan tiba.
***
Empat tahun yang lalu, gadis itu bertemu dengan laki laki yang dua tahun lebih tua darinya di perpustakaan kota ketika hujan deras menahan mereka pulang di jam tutup perpustakaan itu. Duduk sebangku di kursi panjang.
"Kau suka hujan?" tanya anak laki laki seketika memecah lamunan gadis itu.
"Ehm, iya aku menyukainya"
"Hujan itu berkah. Tapi tak sedikit dari mereka yang membencinya."
"Hmm" gadis itu hanya mendeham. Merasa aneh laki laki di sebelahnya tiba tiba berbicara banyak padahal mereka belum saling mengenal.
"Duluan ya" laki laki itu angkat bicara seakan meminta izin pada seorang teman atas kepulangan dirinya. Gadis itu sebenarnya tidak masalah bila dia pulang tanpa pamit, sejak itulah gadis itu sadar. Laki laki tadi sungguh aneh.
Gadis itu hendak menuju tempat parkir sepedanya, namun langkahnya terhenti melihat ada Kartu Tanda Anggota Perpusakaan tergeletak di bawah. Ia memungutnya kemudian melihat tampang foto pemilik kartu, dia laki laki yang duduk sebelahnya tadi. Bagaimana bisa dia seteledor itu, bukankah kartu itu sangat penting untuk meminjam buku di perpustakaan. Tanpa berpikir panjang gadis itu memasukkannya ke dalam tas miliknya, berharap ia akan mengembalikan pada pemiliknya. Sebenarnya bisa saja ia memberikan pada petugas perpustakaan untuk menyimpannya, namun ia sendiri tidak berpikir panjang seperti itu. Ia gadis yang selalu membuat keputusan tiba tiba kemudian memikirkan semua akibatnya setelah keputusan itu dibuatnya.
Minggu ini libur panjang, sebelum gadis itu masuk SMA. Ia awalnya ingin sekolah di luar kota, namun orangtua gadis itu menahannya tetap di kota kelahiran sang gadis. Ia pun menghormati orangtuanya. Dan di sanalah sebuah takdir telah dituliskan rapi oleh Sang Pencipta Skenario di dunia.
Ia hendak mengembalikan pada pemilik kartu secara langsung tanpa perantara. Oleh sebab itu ia kembali ke perpustakaan kota, di kala hujan menyapa. Bahkan gadis itu menunggu laki laki itu sejak pagi, hingga ia bertemu laki laki beransel itu. Gadis itu menghampiri laki laki yang sedang bersusah payah melepas jas hujan yang ia gunakan untuk menerobos hujan dengan sepedanya tadi.
"Hai" sapa gadis itu.
"Oh hai" balas laki laki itu sambil meletakkan jas hujannya di atas sepeda.
"Ini milikmu?" tanya gadis itu sedikit agak ragu-bercampur malu
"Oh.. kau menemukannya. Terimakasih banyak.. seharian aku mencarinya. Aku benar benar teledor"
"Aku menemukannya kemarin di sana" sambil menunjuk tempat jatuhnya kartu itu sekitar dua meter dari mereka berdiri
"Kau mau ke perpustakaan juga?" tanya laki laki itu
"Sebenarnya aku sudah selesai, aku mau pulang. Tapi hujan menghentikanku pulang."
"Lebih baik kau masuk lagi, hujan semakin deras"
"Hmm.. baiklah" gadis itu berbelok arah menuju pintu masuk perpustakaan, namun langkahnya terhenti ketika laki laki itu memanggil namanya. Sebentar, dari mana ia tahu namanya. Bukankah ia tidak pernah memperkenalkan dirinya pada laki laki itu..
"Rein" sapa laki laki itu-dengan nada ragu
"Eh? Iyaa." Gadis itu menoleh pada laki laki itu.
"Terimakasih kau sudah menemukannya"
"Sama sama"
Gadis itu jelas bingung, siapa sebenarnya laki laki itu. Kenapa dia bisa tau namanya?
[To be continued..]
Hai, ini cerita pertamaku. Kalau ada kritik dan saran dengan senang hati akan aku terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faded
Teen FictionAku menyukainya, alasannya sederhana, di awal pertemuan kami dia lebih dulu tau namaku tanpa kuberitahu. Dan ternyata alasan itu salah, dia tidak benar benar tau namaku, hanya tidak sengaja menyebut namaku dengan benar. Setelah aku tau alasan itu...