Part 4.5 EPILOG

176 20 8
                                    

Sekarang sudah lebih dari satu bulan semenjak hari itu. Aku hanya bisa mengenang. Menebak apa yang terjadi pada Hanara. Aku tak pernah lupa melodi merdu dan lirik lagu itu, Gone. Hujan di luar sana tak kuhiraukan. Badanku yang cukup basah akibat terguyur olehnya bukan masalah. Kubuka pintu ruang piano di kediaman Kurobane. Aku merindukan tempat ini. Aku merindukan kenanganku bersama gadis itu.

Aku duduk di depan piano. Jemariku perlahan menggerayangi tuts hitam dan putih yang masih mengkilat itu. Sangat merdu. Kumainkan lagu Gone yang ia tinggalkan padaku. Lagu yang selalu terputar dalam otakku, menjadi kenangan yang menderu. Denting piano yang mengalun lembut, melantunkan lagu yang lama tak terdengar bagiku, mungkin ia juga. Aku tak pernah sekalipun menyanyikan lagu ini, semenjak hari itu. Aku.. takut. Namun setidaknya, semua rasa cemasnya telah sirna. Setidaknya aku bisa duduk di sini. Aku yakin ia masih mendengarkan suara piano ini. Entah di mana. Dengan sisa tenagaku, aku akan memberikan lagu kenangan ini untuknya. Sebagai salam perpisahan. Maka aku akan lega.

Aku hanya bisa tersenyum. Membayangkan Hanara ada di sampingku, ikut memainkan melodi ini bersamaku. Kiranya aku bisa apa untuk sekarang? Aku benar-benar merindukannya. Juga Takagi-sensei yang selalu memarahiku. Saat ini aku merasa diawasi. Tapi aku tak punya waktu untuk itu. Aku harus fokus, sebelum tenagaku benar-benar baik. Palinglah hanya ajudan yang bersikeras mengawalku saat akan ke sini, atau Takagi-sensei yang tak mau keluar dari singgasananya.

Hanya saja, Hanara memang tak berani keluar. Aku tahu gadis itu tak akan keluar. Aku tahu, dan aku tak menunggu. Sekedar masuk ke ruang piano dan menyapaku, itu mana mungkin. Aku tak mau menghancurkan hidupnya lebih dari ini. Jelas sekali, aku datang untuk memberinya kabar dan kepastian. Tapi Hanara memilih mengiyakan dalam diam, aku tahu. Aku tak akan membebaninya lagi. Yang terpenting adalah kehidupan dan kebahagiaannya.

"Arigatou," ucapku pada angin. Air mataku menetes lagi. Meskipun sudah kutahan mati-matian, kututupi dengan senyum. Hari ini aku memutuskan untuk berpisah secara sepihak. Aku tak seharusnya menyeret Hanara masuk dalam hidupku. Ah salah, aku tak seharusnya melangkah dalam kehidupannya. Detik ini, aku memilih menikmati permainan pianoku. Mungkin ini yang terakhir kali. Dimana saat permainanku sudah mencapai klimaks dari lagu Gone, tapi belum selesai. Aku menutup mata. Rasanya tanganku benar-benar tak bisa kugerakkan. Tubuhku lemas seketika. Dadaku terasa sangat sakit. Jantung ini seperti akan berhenti. Hingga sebuah suara dentuman keras piano terdengar. Nadanya tak beraturan. Disebabkan tutsnya ditekan secara acak, bersamaan. Keras. Tertindih kepalaku yang berat, dan jatuh ke atasnya. Ah, andai saja aku bisa bertemu dengannya sekali lagi.

Saat itu semua gelap. Meski begitu, aku dapat merasakan dua orang ajudan mengangkatku. Membawaku keluar, kembali kepada hujan. Masuk ke dalam mobil yang setengah menit kemudian melaju, entah kemana. Setidaknya dari sini gadisku bisa memulai hidup yang baik. Dan aku juga, bisa menutup buku hidupku, dan membuka yang baru. Sayonara, Hanara.

-oOo-

3 tahun kemudian..

"Otanjoubi omedetou, Tetsuya," ucapku memberi selamat pemuda bersurai biru langit di hadapanku. Ia tersenyum. Meski tak lebar dan terkesan ala kadarnya, tapi aku tahu itu senyum bahagianya yang tulus.

"Aka-chin~" seorang pemuda bertubuh tinggi besar itu memanggilku. Matanya yang sayu malas terlihat sangat memelas. "Kenapa pestanya tidak ada makanan begini?" protesnya. Aku terkekeh.

"Kita akan three on three dulu, Atsushi. Setelah itu kita ada acara sendiri dengan teman-teman Seirin," ucapku melempar senyum pada si surai ungu pemalas itu. Di seberangku aku bisa melihat Daiki dan Momoi yang terus berdebat. Dimana Ryouta juga ada di sana, nampak ingin melerai si biru tua dan si merah muda. Meskipun nampaknya ia gagal. Di sebelahku, si hijau kacamata, Shintarou nampak memberi hadiah kepada Tetsuya. Wajah-wajah tsundere miliknya tidak pernah bisa dilepas, kurasa. Hahaha.

Sudah tiga tahun sejak aku memutuskan untuk hidup tanpanya. Ia juga nampak tak mencariku. Ah tak apa, itu yang aku inginkan. Ya, itu yang aku inginkan. Ini yang terbaik.

Hari itu, aku selamat. Bagiku itu bukan keajaiban, ataupun anugerah. Bagiku, itu kutukan. Aku dilarikan ke rumah sakit. Kupikir hari itu aku akan menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Ternyata takdir memang mempermainkanku. Aku selamat. Dan entah bagaimana, ayah mendapat pendonor jantung untukku. Kemudian aku menjalani operasi transplantasinya. Lagi-lagi hidupku merepotkan orang lain. Dosa apa umurku ini, sampai hidup di atas kematian orang lain. Sampai saat ini aku masih memikirkannya, gadis itu, Hanara. Setidaknya kini tak ada keluarga Akashi yang mengganggunya. Aku harap aku bisa bahagia dengannya. Tapi sekarang aku menikmati kebahagiaannya tanpaku. Yang penting aku sudah memberi salam padanya. Jangan pernah ingat aku lagi, Hanara. Cukup aku yang memendam rindu padamu. Bahkan setelah aku bahagia bertemu Kiseki no Sedai.

Aku melakukan sedikit pemanasan untuk permainan ini. Bakatku bermain basket adalah mutlak. Dan hari ini adalah ulang tahun Tetsuya. Sudah lama sekali sejak kami bermain bersama. Three on three babak pertama ini, aku satu tim dengan Tetsuya dan Atsushi. Sedangkan Shintarou, Ryouta, dan Daiki ada di tim lainnya. Momoi sendiri melihat. Kukatakan begini karena menjadi wasit tidak diperlukan.

Persis ketika peluit dibunyikan oleh gadis berambut merah muda itu, bola diperebutkan oleh Atsushi dan Daiki. Ketika aku memperhatikan bola yang telah melambung di udara, aku melihat seorang gadis dari arah itu. Persis di seberang taman. Sosok yang sangat kurindukan tengah berjalan sambil tersenyum. Masih dengan tongkat di tangannya. Seorang pria yang kukenali sebagai Takagi-sensei menuntunnya perlahan. Ah, akhirnya. Rasa penasaran dan rinduku terbayar sudah sekarang.

"Hoi, Akashicchi jangan melamun begitu-ssu!" suara cempereng nan berisik Ryouta masuk ke pendengaranku. Seketika kegiatanku memperhatikan gadis itu buyar. Aku tersenyum pendek. Maaf Hanara, ini ulang tahun Tetsuya. Aku ingin bermain fokus agar tak mengecewakannya.

"Ah, gomen. Aku merasa melihat sesuatu tadi. Saa, ayo kita lanjutkan," ucapku pada mereka yang ditanggapi dengan seringai puas. Juga senyum tulus Tetsuya. Kami pun melanjutkan permainan yang tertunda karenaku tadi.

Melihatmu masih hidup, bahkan tertawa, itu sudah cukup bagiku. Terima kasih, Hanara. Aku selalu menyayangimu dari sini. Hiduplah baik-baik. Karena sudah tak tersisa apapun lagi bagi kita. Semua sudah selesai. Semua sudah pergi. Gone.

-o Selesai o-

Epilognya udah ^·^ janjiku lunas yaa~
Terima kasih pembaca setia, sudah meluangkan waktu untuk secuil fanfiction absurd ini. Semoga kalian berkenan vomment atas ceritanya. Maaf kalau banyak kesalahan, seperti penulisan, typo, dan mungkin ada satu dua hal yang menyinggung pembaca. Sekali lagi terima kasih banyak ^-^

Dengan ini kunyatakan fanfiction GONE by LionitaMelati selesai. Dan tidak ada sekuel untuk cerita ini.

See u next book~! ^°^

🎉 Kamu telah selesai membaca GONE [Akashi Seijuuro x Blind!OC || Bahasa Indonesia] 🎉
GONE [Akashi Seijuuro x Blind!OC || Bahasa Indonesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang