Bagian tanpa judul 2

26 0 0
                                    


     Berulang kali kukatakan aku hanya asisten Midha, tetap saja Sabiha tidak peduli. "Mbak Midha, sudah biasa. Lagi pula, penggemarnya pasti banyak. Bagaimana juga aku bisa belajar secara khusus mengenai tulis-menulis," katanya suatu saat. Menurutnya, belajar dari asisten seorang penulis juga bukan sesuatu yang tabu dan salah. Sah-sah saja. "Lagian, dari cerita-cerita yang sudah dibukukan, tulisan Mas Ver juga menarik dan punya khas tersendiri. Dan aku suka..." Aku sudah tidak bisa menolak kemauan Sabiha untuk belajar dariku. Kupikir-pikir, kapan lagi aku bisa berbagi kemampuan jika aku hanya ribet mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan Midha. Begitu Midha tidak masalah aku berbagi kebisaan, aku menerima Sabiha sebagai sahabat yang belajar menulis. 

     "Cha, hari ini aku sibuk banget. Mbak Midha mau ada pelatihan di Tarakan. Perpustakaan Tarakan mengundangnya untuk mengisi pelatihan di sana. Aku harus menyiapkan materi-materi untuk pelatihan 2 hari di sana. Belum pernak-pernik yang lain yang juga harus kusiapkan. Jadi, aku mohon pengertianmu, ya..." Terpaksa aku menelpon Chacha, -panggilan sayangku untuk Sabiha-, karena bbm dan whatsapp-nya benar-benar merecoki isi kepalaku. Aku nggak mau Midha mengomel lagi jika persiapan ke Tarakan keteteran. 

     Suara di seberang sana diam. Kuperhatikan OPPO find clover milikku, detik pembicaraan belum terputus. Itu artinya Chacha belum mematikan teleponnya. "Cha, aku matikan telponnya, ya?" Aku tidak serta-merta memutuskan sambungan. Suara di seberang tetap diam. Setelah menghela nafas dan melihat tumpukan berkas-berkas di meja, aku langsung mematikan sambungan telepon. Terserahlah gumamku begitu mematikan sambungan telepon. Aku tak bisa meladeni kemauannya terus-menerus dalam kondisi dikejar date line persiapan Midha. Baru saja aku selesai mengurusi Chacha, Midha  menghubungiku lagi. 

     "Ver, ada nggak 1 orang yang bisa kita ajak ke Tarakan?" tanya Midha membuka pembicaraan. 

     "Untuk apa?"

     "Ya untuk acara pelatihan kita di Perpustakaan Tarakan nanti. Kalau bisa jangan yang sudah bisa menulis dengan baik dan benar," terdengar suara Midha tertawa. Aku tahu gelagat Midha seperti ini. Pertanda ia ingin mengajak seseorang yang sedang proses belajar menulis cerita. Nanti di sana, selain akan menunjuk salah satu peserta pelatihan, ia juga akan menunjukkan contoh lain dari seseorang yang akan kami bawa dari sini. 

     "Nanti aku carikan!" OPPO mengeluarkan suara krik-krik-krik lagi. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar suara itu. Segera aku buka pesan yang dikirim Chacha. Hanya fotonya yang datang. Sesaat, masih sambil bicara dengan Midha, aku tertegun melihat foto yang Chacha kirimkan. Dia terlihat segar, cantik dengan t-shirt biru yang dikenakan. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai di pundak. Sementara tembok di belakangnya yang berwarna biru kian mengindahkan pesona gadis ini. Beautiful cantik, gumamku tanpa sengaja.

     "Apanya yang beautiful cantik, Ver?" Midha tiba-tiba bertanya. Aku yang terkejut hanya melempar jawaban sekenanya. Kukatakan ada model cantik di laptopku. Dalam hati aku merutuk ceplosanku barusan. "Bisakan Ver kamu siapkan seseorang itu? Aku maunya cewek. Jangan cowok, ya?" Midha kembali mengulang permintaannya. Tanpa berpikir panjang aku mengiyakan keinginan Midha. Dan aku tahu siapa yang akan kuajak ke Perpustakaan Tarakan. 

     Kutuliskan balasan untuk Chacha yang sudah mengirimkan fotonya. Makasih foto cantiknya, bikin aku melek mendadak. Hanya hitungan detik Chacha langsung membalas pesanku. Katanya, kalau dikirimi foto cantikku baru deh muji. Eh, tapi aku memang cantik, kan? Kalau hal ini Chacha sampaikan langsung, pasti dengan gaya manjanya. Anak ini memang agak manja. Aku membalas pesannya dengan mengirimkan icon tertawa lebar. Mulut menganga yang menampakkan tonsil di dalamnya. Sesudahnya aku tuliskan, mau nggak ikut ke Tarakan? Mbak Midha ngajak tuh!  

     "Beneran aku diajak Mbak Midha ke Tarakan?" Chacha tidak membalas pesanku, dia langsung menelpon serta langsung menanyakan kebenaran ajakan Midha. Aku jawab iyaaaa dengan intonasi panjang. Dari seberang sana terdengar suara gumaman alhamdulillah. "Kapan, Mas?"Setelah kukatakan 2 minggu lagi ia langsung menyanggupinya. Anak kos macam Chacha, diajak pergi gratis begini pasti tiada ditolaknya. Apalagi kepergiannya juga ada sangkut-paut dengan hobinya, menulis. 

     Dua hari jelang keberangkatan ke Tarakan, Chacha kuminta datang ke rumah Midha. Supaya Midha juga tahu siapa perempuan yang akan menjadi bagian tim-nya di sana. Midha masih menerima telpon dari Kepala Perpustakaan Tarakan, Ibu Willis. Sepertinya hanya membicarakan hal-hal kecil semata. Dan sebelum mengakhiri teleponnya Midha terdengar mengatakan 3 orang. Tak salah lagi, pasti mengenai akomodasi untuk kami bertiga selama di Tarakan. Terima kasih untuk undangan dan kerja samanya, begitu yang aku dengar sebelum akhirnya Midha benar-benar menutup sambungan teleponnya. 

     "Anak yang mau kita ajak belum datang, Ver?" Sambil bertanya, mata Midha melihat sekeliling ruang tunggu kantornya. Aku menggeleng. "Nanti langsung ajak ke ruang pertemuan, ya?" pinta Midha kemudian berjalan masuk ke dalam. Ketika hendak kembali ke ruang kerjaku, ada yang memanggil namaku pelan. Aku menengok dan terkenyut saking terpananya. Chacha datang ke kantor mengenakkan t-shirt biru seperti yang dikirimkan tempo hari. Ia memadukan t-shirt birunya dengan rok jeans lebar. Rambutnya dibiarkan tergerai mengumbar di pundaknya. Ia tersenyum ketika melihatku terpana. 

     "Hai Mas? Heran ya lihat cewek cantik kayak aku?" Khas ucapan narsisnya keluar dari bibirnya yang dilipstiki merah, tipis-tipis saja. Wajahnya, sepertinya hanya disapu bedak yang juga tipis. Aku tidak menyesal menelan ludah melihat keindahan makhluk ciptaan Tuhan ini. Baru sesudah ia menepuk dadaku pelan, aku sadar. Nourma, yang duduk di meja front office  sempat meledekku. Tanpa menunggu lama, kugamit tangan Chacha, segera mengajaknya menemui Mbak Midha yang pastinya sudah menunggu di ruang pertemuan. 

     Midha mengenali Chacha. Dia juga masih ingat kalau Chacha sangat berharap bisa belajar menulis dariku. Midha juga tidak keberatan dengan pilihan Chacha itu. "Nggak usah khawatir, Cha. Belajar dengan Verdy, ilmunya juga sama kalau Chacha belajar dengan Mbak," ungkap Midha jujur. "Cuma memang, mungkin Verdy punya ciri khas sendiri yang disukai Chacha, kan?" Mendengar begitu Chacha mengangguk seraya mengucapkan terima kasih sudah boleh ikut belajar, juga nanti mau diajak ke Tarakan. "Nggak masalah. Kalau memang kita cocok bekerja sama, dan Chacha juga bisa merasakan atmosfer yang pas di sini, Mbak nggak keberatan Chacha sering ke sini." Mendengar perkataan Midha, bibir Chacha menyunggingkan senyuman. Dalam penglihatanku, senyuman itu, manissss sekali. 

     Gila! Kenapa juga dadaku kini berdebar. Padahal selama ini aku dan Chacha sudah sering bertemu, belajar bersama-sama, dan aku juga sudah menganggapnya adik. Aku menepiskan sesuatu yang tiba-tiba berkecamuk dikepala dan didada. Lagi pula, usiaku dengan Chacha terpaut jauh. Ia memang sepantasnya hanya menjadi adikku. Seperti adik bungsuku yang seumuran Chacha. Mereka sama-sama berusia 20 tahun. Aku tahun ini akan genap berusia 33 tahun. Rentang selisih yang panjang, 13 tahun, bisa jadi tidak masalah bisa juga masalah. Lagi pula kenapa juga aku memikirkan selisih usiaku dengan Chacha. Lagi-lagi lamunanku yang terlena senyuman dikejutkan tepukan pelan di pundak. "Mas Verdy.... Melamun apa, sih?" Sambil bertanya tangan Chacha tiba-tiba menarikku keluar dari ruang pertemuan. Tentunya setelah Midha juga keluar dari situ. 

     "Makan bakso ke situ yuk!" Telunjuk Chacha menunjuk arah luar kantor Midha Agensi. Di seberang kantor ini memang ada warung bakso yang tak pernah sepi pengunjung. Perutku yang belum terisi sejak pagi, seketika langsung berguncang mengikuti irama kelaparan. Ajakan Chacha makan ke sana tentunya saja tidak kutolak, terlebih Chacha bilang, "Aku yang traktir, ya?" Kami pun segera keluar kantor segera. 

     






Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Biru HatinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang