i. Berlin

12.7K 766 14
                                    

9 tahun kemudian...

Ali menghempaskan tubuhnya di ranjang king bed kamarnya. Seragam, kaos kaki, bahkan sepatu masih menempel di tubuhnya. Matanya menatap lurus ke arah pelapon kamar, ucapan Fero malam tadi masih sedikit terngiang di kepalanya. Sebenarnya itu yang ia tunggu, namun entah kenapa sekarang ia malah sulit meninggalkan Berlin, selebihnya ia juga enggan meninggalkan Alexa -kekasihnya-.

"Ayah beri waktu satu minggu untuk berpikir, ya."

Satu minggu, Ali menghela nafasnya. Labil kini merasukinya, bertemu dengan bunda atau malah meninggalkan Alexa, meninggalkan hubungan yang sudah berjalan lebih dari satu tahun lamanya.

"Kamu terusin perusahaan Ayah yang ada disana. Ayah gak bisa lama-lama nyerahin perusahaan Ayah sama Om Rio, kabarnya dia korup banget,"

Ali mengusap wajahnya kasar. Ini pilihan yang terlalu berat untuk Ali, satu sisi ia tidak ingin berpisah dengan Lexa dan meninggalkan Berlin namun disisi lain ia juga kasihan dengan Ayahnya, merindukan sang Bunda dan... Prilly mungkin.

Daun pintu perlahan terbuka menampakan seseorang berbalut kemeja putih tulangnya. Dia tersenyum penuh arti kepada Ali, tersenyum dengan artian: Ayah boleh masuk?

Ali duduk di sisi ranjang lalu mengangguk pada Ayahnya. Pandangan Ali kembali buyar, ia kembali melamun. Fero tahu, anaknya ini sangat tidak suka dengan pilihan--- dan sekarang harus dihadapkan pada pilihan.

"Katanya Prilly kangen kamu," Ali mendongak, menatap Fero yang tersenyum -lagi- padanya.

Dia... apa kabar, ya? Pikir Ali. Tanpa sadar senyumnya mengembang, sadar atau tidak ia merindukan rengekan gadis kecilnya itu dulu.

"Ayah gak akan maksa kamu. Ayah 'kan minta tolong sama kamu. Kalau Ali gak mau, ya gapapa." Kata Fero lagi.

Ali menghembuskan nafasnya tidak beraturan. Pada akhirnya Ali harus membuat kecewa salah satu dari mereka 'kan? Mengecewakan Lexa atau mengecewakan Ayah, Bunda dan Prilly yang sudah menunggunya.

"Ali pikirin dulu ya, Yah. 9 tahun di Berlin bikin Ali males lepas sama lingkungan disini," Kata Ali. Fero mengangguk-anggukan kepalanya.

"Gimana tadi, ujian terakhirnya?"

"Alhamdulillah lancar. Ayah... gak kerja?" Tanya Ali seraya melihat baju yang dikenakan Fero. Ketahui, Fero itu tidak bisa lepas dengan jas -kecuali tidur-, urusan kantor yang sering mendadak membuat ia mau tak mau harus selalu mengenakannya -takut jika ada hal yang penting-.

"Enggak,"

Ali mengeryitkan dahinya bingung. Tidak biasa bahkan tidak pernah Ayahnya memilih cuti tanpa sebab, Fero si workholic sangat tidak mungkin untuk cuti karena hal tidak penting.

"Loh? Kenapa? Ayah sakit?" Tanya Ali dengan nada khawatirnya.

"Ayah gapapa,"

Ali mendengus. Fero ini paling pintar menutupi kelemahannya, menutupi kalau ia sedang bermasalah.

"Ayah bisa bohong sama siapapun, tapi enggak buat Ali. Ayah, kenapa?"

Fero terkekeh geli meilhat kekhawatiran anaknya ini. Fero mengusap rambut Ali sayang, dalam hidupnya kini Ali dan Prilly-lah yang memiliki sisi paling berharga tanpa bisa dibandingkan dengan apapun.

"Ayah lagi banyak pikiran aja. Mungkin drop, rada demam tadi pagi, jadi absen dulu ke kantor."

"Tapi Ayah gapapa 'kan? Ada yang sakit? Mau aku pijitin, gak?" Ucap Ali runtut tanpa jada. Jelas sekali dari matanya, ia takut Ayahnya kenapa-kenapa.

Brother ComplexTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang