iv. Pri---

12.3K 867 61
                                    

iii.
🌙🌙🌙🌙🌙

Prilly melirik kearah Ali dengan ekor matanya, senyumnya mengembang disusul dengan kekehan kecil dari Prilly. Di depan Ali, ice cream dengan rasa blueberry itu masih terlihat utuh tak dicicipi sama sekali.

"Lo gila!" Umpat Ali sambil memeluk tangannya kedinginan. Matanya memandang malas ke arah Prilly yang begitu bahagia dengan ice cream rasa vannila dan pisangnya.

"Eh? Gak ikhlas ya?" Jawab Prilly melemah -lebih tepatnya pura-pura merajuk dengan Ali. Seketika Prilly menghentikan makan ice creamnya, berdalih kalau ia kesal dengan Ali.

Ali membuang nafasnya kasar, dilihatnya Prilly kembali murung hanya karena kata-katanya tadi. Gila ya, hati cewek emang serentan itu, emang? Perasaan Lexa gak gitu amat, pikir Ali.

"Gak, gue ikhlas!" Jawab Ali sekenanya. Prilly tersenyum gembira, kembali lagi ia menyantap ice creamnya dengan lahap. Ya si penggila ice cream itu nampak menikmati hidangannya dengan sungguh-sungguh.

Ali menatap ke arah luar jendela, tetesan air hujan malam ini menghiasi Jakarta. Dingin menyeruak menusuk tulang Ali, cafe yang dibangun sengaja dengan tampilan terbuka ini memudahkan akses masuknya angin ke dalam cafe. Kembali lagi Ali menatap Prilly, kali ini bukan tatapan malas tapi tatapan tulus yang disusul dengan tarikan setengah lingkaran dari bibir Ali.

Dia cantik...

Untuk kedua kalinya Ali memuja sosok yang dulu sangat ia benci. Mata hazel gadis itu bak langsung terpantul dengan lampu-lampu cafe, memperlihatkan betapa cantik mata yang ia miliki sekarang. Bola mata yang menyampaikan keteduhan di dalamnya, Ali suka.

"Gue makan, ya?" kata Prilly. Ck! Itu membuyarkan lamunan manis Ali. Lagi, Ali memandang sok malas ke arah Prilly.

"Ali! Gue makan ya," kata Prilly lagi dengan suara lebih nyaring. Ali memutar bola matanya malas, lalu mengangguk dengan berbagai umpatan yang tertahan. Meski kesal, raut kekaguman itu masih bisa tercipta, kenyataannya kalau Prilly lebih berunggul pada kebaikan daripada buruknya bahkan mungkin tidak ada sisi buruk dari Prilly sebelumnya.

"Leleh 'kan, lo sih pake gak dimakan," Umpat Prilly langsung mengambil segelas ice cream Ali. Gadis itu lagi-lagi menyantap ice dengan lahap, dan -lagi- membuat senyuman Ali kembali tercipta.

Di pundak gadis itu bergantung jaket hitam milik Ali, jaket penghalang agar angin malam tidak bisa menyentuh kulit halusnya. Mungkin tidak ada unsur special disana, tapi bagi Ali itu beda. Ada unsur melindungi baginya, jiwa seorang abang yang melindungi adik kecilnya. Atau... mungkin, lebih gitu? Bisa saja?

Nyatanya mungkin tidak akan pernah bisa!

"Hmmm," Prilly nampak metapikan lidahnya mengecap ingin bicara, "gue kemaren sempet buka line. Dan di line today gu---"

"Gak usah bahas itu." Potong Ali yang membuat Prilly seketika bungkam. Mata Prilly lurus ke arah Ali yang seketika tadi membuang pandangannya, dari pemikiran Prilly; Ali masih mencintai sosok gadis itu.

"Kalau masih sayang, kenapa diputusin?"

"Gini ya, pacaran itu kayak barang. Kalau rusak itu harusnya perbaiki bukan di buang," lanjutnya.

Prilly memainkan sendok di ice creamnya, memotong-motong halus ice creamnya degan pandangan masih ke arah Ali -yang kini menatapnya.

Brother ComplexTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang