Sadega Sotoy

40 0 1
                                    

Di suatu hari yang cerah, langit terang berwarna biru tanpa mendung. Gue, Dega, Adi, Citra, Ovie dan Riyan mendapat tugas dari sekolah untuk menjadi delegasi dalam penyuluhan saka bhayangkara. Hari itu kami mengawali perjalanan dengan indahnya. Datang beramai-ramai naik delman istimewa. Oke gue becanda. Dengan angkutan umum warna merah kita melaju ke tempat penyuluhan berlangsung. Sampai di situ semua masih baik baik saja. Kita sampai dengan selamat sentosa damai sejahtera. Gue selamat dari kutukan rasa mual dan mabok darat. Sampai di sana pun semua tetap berjalan dengan semestinya. Melakukan registrasi dan segala macamnya. Acara berlangsung beberapa jam dan sampai acara selesai, hari itu tetap baik baik saja.
Hari itu adalah hari jumat. Dari kami berenam terdiri dari tiga perempuan dan tiga laki laki. Acara selesai sekitar pukul 12.00 siang. Kaum adam harus segera bergegas mencari masjid untuk melaksanakan kewajiban mereka sebagai muslim. Akhirnya diputuskan untuk kami berpisah sementara. Tiga lelaki itu solat jumat dan kami kaum hawa menunggu di taman yang terletak tak jauh dari lokasi penyuluhan. Nama taman itu adalah Taman Unyil. Entah apa yang menginspirasi pemerintah kota waktu itu sampai menamainya taman unyil. Barangkali di situ ada miniatur si unyil dan usro. Ternyata tidak. Taman unyil tetap seperti taman biasa lainnya. Apalah arti sebuah nama. Dan apalah maksud gue memikirkan nama taman segala.
Sampai di situpun semua masih baik baik saja. Langit mulain sedikit gelap. Mendung mulai menutupi awan putih yang bergumul. Pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Bukan. Gue bukan pawang hujan. Gue hanya membaca tanda tanda yang diberikan oleh alam. Anak anak laki laki itu belum juga kembali. Gue pikir mereka tersesat di jalan. Atau terjadi hal hal konyol yang tidak diinginkan menimpa mereka. Seperti, ditahan imam khatib agar tidak pulang karna ada khotbah tambahan untuk mereka. Atau salah satu dari sepatu mereka diambil orang. Kekhawatiran gue berlebihan.
Ngga lama gue ngebayangin hal hal konyol tentang mereka, dari kejauhan mereka muncul. Berjalan dengan sok gagahnya. Berjajar tiga serangkai bak pengibar bendera paskibraka. Adi yang badannya paling bongsor ada di posisi paling kanan, lalu di sebelah kirinya Dega dan Riyan di posisi paling kiri. Sesaat gue terpana dan segera menyadari bahwa itu bukanlah pasukan pengibar bendera melainkan tangga berjalan.
"lama banget lo ngapain aja sama khatibnya?" celetuk Citra yang sebenarnya dari tadi sudah menggerutu karena menunggu lama. Ia mengaku lapar. Citra serem juga kalo lagi lapar. Jadi lebih galak dan sensitif. Atau mungkin gue juga gitu tapi gengsi untuk menuliskannya di sini. Jadi gue pake nama citra aja. Atau mungkin semua orang yang lapar bisa melakukan tindakan di luar tindakan normal ketika mereka tidak lapar.
"sabar sih. Eh laper nih. Makan yuk" beberapa detik setelah Dega melontarkan ucapannya. Bres! Hujan turun dengan derasnya. Kita berenam saling menatap satu sama lain. Bukan. Bukan untuk mengintimidasi Dega. Melainkan tatapan kekecewaan yang harus ditelan karena harus menahan rasa lapar lebih lama lagi. Sekarang bukan cuma Citra yang jadi lebih galak. Semua orang menjadi garang. Oh tuhan kenapa lapar itu diciptakan.
Sekitar lima belas menit kemudian hujan mereda. Rintik rintik gerimis kecil tak masalah buat kami untuk berjalan ke arah sebrang. Memesan mie ayam pak tua berkaca mata yang sedari sudah melampbai menggoda perut kami yang keroncongan.
"mie ayamnya enam ya pak"
Mie ayam di pesan hati mulai tenang. Mie ayam disajikan perut akan kenyang.
Dan di sinilah, kejanggalan itu mulai terjadi.
"ngomong-ngomong kita pulang ke rumahnya gimana ya?" gue mulai membuka pembicaraan.
"pake angkotlah." dan gue merasa jadi orang paling bodoh di kerumunan enam orang itu. Gue tahu angkutan umum lagi yang akan membawa kita pulang ke rumah. Maksud gue ke sekolah karena motor kita masih di sekolah. Yang gue maksud adalah angkutan umum yang bagaimana. Setelat telatnya otak gue bekerja gue masih kepikiran kalo pulang kita naik angkutan umum. Karena gue yakin diantara kita berenam ngga ada yang tahu angkutan mana yang melaju searah dengan sekolah kita.
Lalu perdebatan konyol pun terjadi. Gue cuma diem. Ngga mau terlihat lebih konyol lagi. Dari sekian banyak angkot yang berlalu lalang, ngga ada tulisan arah salatiga atau ambarawa. Abang-abang kernet juga daritadi cuma bilang "yo naik yo naik yo naik yo". Gue pikir abang itu lagi ngerap.
"kita gambling deh. Kita naik angkutan yang lagi diem itu aja. Kan kayanya bentar lagi jalan tuh. Udah makin sore nih."
" lo yakin, ga ? Tanya dulu itu ke salatiga apa ambarawa"
"alah udah yakin gue. Itu aja. Udah mau ujan lagi nih" Dega meyakinkan.
Dan di situlah sebenarnya kebodohan itu terjadi. Kita berenam sudah duduk manis di angkutan umum yang mulai berjalan. Gue gusar. Gue ngga tenang. Feeling gue ngga enak.
Akhirnya gue memutuskan untuk bertanya ke abang abang angkot dengan sedikit malu malu pasrah.
"bang ini angkutan jalan ke arah salatiga apa ambarawa?"
"ambarawa, neng. Jangan bilang adik adik sekolah ini mau ke arah salatiga ya ?"
Hem! Gue cuma tersenyum kecut. Dalam hati mengutuki Dega yang sotoy. Mungkin Adi dan yang lainnya pun berpikir demikian. Berasa pengen dorong Sadega dari jendela kaca mobil.
Si tersangka cuma nyengir nyengir aja. Seharusnya kita naik angkot yang ada di belakang angkutan ini kata abangnya. Untung abangnya baik kita diturunin di pinggir jalan dan dicariin angkutan lain yang akan melaju ke arah salatiga. Sepeserpun abang itu ngga minta bayaran kami. Terima kasih tuhan sudah menciptakan abang angkot baik hati hari itu.
Cukup sekali aja gue ikutin kesotoyan Dega. Cukup sekali aja gue salah naik angkutan umum. Cukup sekali aja seumur hidup gue.
Tapi untungnya hari itu gue ngga sendiri. Paling tidak hari ini cerita salah naik angkot itu bisa gue kenang. Masih suka ketawa geli kalo inget kejadian itu. Sebenarnya bukan cuma Dega yang hari itu terlihat bodoh. Tapi kami semua. Katanya pelajar. Punya mulut untuk bertanya. Pernah belajar di sekolah untuk merangkai kata yang santun untuk bertanya ke orang orang.
Hari itu hari jumat paling absurd dalam hidup gue.

sepotong martabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang