ke satu

13.6K 445 3
                                    

Angin malam yang mampir ke dalam kamar tidurku melewati jendela mini tempat ku biasa untuk kabur keluar dari rumah sewaktu kecil, selalu menemaniku di setiap malamnya. Di sini lah aku bisa puas melepaskan semua kepedihan yang kuterima sepanjang hari ini. Tak ada satupun yang mempu merusak suasana nan nyaman seperti ini. Namun di sini juga aku selalu teringat akan kasih sayang dan semua yang membahagiakan. Aku di sini sangat merindukan mereka.
Tiba tiba ada yang pintu kamarku di ketuk dengan cukup pelan. Aku yakin kali ini yang mengetuk bibi Sum, asisten rumah tanggaku. Menurutku hanya dia seorang yang peduli dengan kehidupanku di dunia ini. Bahkan aku menyadari, bahwa ia memberikan kasih sayangnya lebih besar kepadaku dibanding mama juga papa.
Lalu, aku segera membukakan pintu. Tak salah lagi dugaanku.
"Non.. Ayo non makan malam. Hanya tinggal nona saja yang belum berkumpul di meja makan. Semuanya menunggu nona. Makanannya enak non, kesukaan nona Febi sekali"
"Oh.. Iya bi. Lagian ini juga udah laper banget kok. Makasih bi" lantas akupun menutup pintu dan berjalan menuju ruang makan. Di tangga, aku bertanya tanya 'apa iya aku di tunggu sama mereka? Dianggap sebagai adik aja juga udah enggak.' Namun Benar kata bibi Sum, semua anggota rumah telah siap menyantap makanan, dan duduk di tempat duduknya masing masing, dan hanya tersisa satu kursi yang di sediakan untukku. Mereka akan menunggu bila ada satu anggota keluarga yang belum hadir di meja makan, sesuai tradisi. Dan sekali lagi perkataan bibi benar, makanan kesukaanku telah dihidangkannya, jadi dengan semangat malam ini aku akan makan banyak.
"Wah enak banget nih. Ayam goreng!! Heemmm baunya aja udah nikmat banget!" ucapku saat tiba di pintu ruang makan.
"Eh dasar Febi ini. Belom juga duduk, tapi udah ngomong!" ucap kak Fian, kakakku yang pertama.
"Tau tuh kamu nih gimana sih! Padahal di sini ada mama sama papa. Ga sopan banget sih kamu itu!" cetus kak Felly. Dia lebih tua dari aku sekitar tujuh menit dariku. Tapi tetap saja dia adalah kakakku, jadi aku memanggilnya dengan sebutan kakak.
"Febi.. Febi... Dasar anak bandel. Harusnya kamu tuh contoh dong kak Felly sama kak Fian. Udah pinter sopan lagi sama orang tua" ujar mama, saat aku hendak duduk di kursiku. Namun, setelah mendengar perkataan mama luka hatiku yang mulai mengering akibat makan malam yang nikmat ini, mulai terasa sakit lagi. Aku tak tahan lagi, aku ingin menangis sekencang kencangnya, tapi aku sadar sekarang berada di mana. Lantas aku pun bergegas meninggalkan ruang makan, berlari meskipun di belakang sana memanggilku berkali kali. Aku masuk ke dalam kamar ku, menguncinya rapat rapat meskipun aku yakin tak ada satu orangpun dari keluargaku yang akan masuk ke kamarku untuk menghiburku.
Aku menangis di dalam kamar. Merenungkan semua yang terjadi. Meskipun aku sadar delapan puluh persen kesalahan pasti ada padaku. Aku menyelimuti tubuhku dari dinginnya suhu udara saat itu, di tambah lagi dengan dinginnya jiwaku yang merindukan kehangatan pelukan seorang ibu. Beberapa kali kuusap air mataku yang berjatuhan pada pipiku. Aku menahan lapar, apalagi jika teringat bahwa makan malam pada hari ini adalah makanan kesukaanku, tapi hanya karna kemauanku aku mengurung diri dan berniat tidak akan makan malam ini, maagku kambuh lagi. Sakit sekali rasanya. Tapi dengan sekuat tenagaku, aku harus menahannya. Aku tak ingin mereka semakin memperolokku, atas semua kelemahan yang ku miliki.
Tok tok tok
Suara pintu lagi. Sudah jelas, tidak mungkin mama, papa, atau kak Fian, bahkan kak Felly. Kalau pun itu salah satu dari mereka aku akan dengan senang hati menerima mereka masuk ke dalam kamarku membiarkan mereka menghiburku, entah itu tulus atau hanya karna kasihan.
Lalu aku membuka pintu, dugaanku selalu tepat, bibi Sum lagi.
"Nona... Ini tadi sisa ayamnya masih ada. Saya lihat tadi nona Feb..." katanya.
"Iya bi... Masuk bi" potongku, aku sadar aku tak sopan. Tapi aku takut kalau mama papa beserta kakak kakakku mendengar percakapan kami, karna aku ingin banyak bertanya pada bi Sum.
"Jangan non. Nanti ruangan nona bau ayam, sambel dan makanan. Bagaimana kalau di dapur saja?" ajaknya padaku yang melirihkan suaranya. Tapi aku berfikir, bahwa mungkin akan lebih nyaman makan bersana bibi Sum.
"Boleh bi. Tapi makannya bareng sama bibi ya.." jawabku lirih dan lemas. Karena maagku menyerang lagi.
"Ayo non. Kebetulan bibi juga belum makan"
^-^
"Bi, bibi punya anak?" tanyaku berhati hati, takut ada pengalaman buruk yang mengingatkannya dan nantinya malah membuatnya sakit hati.
"Tentu saja non. Cuma satu, sudah kuliah. Dia cantik, seperti non Febi" jawabnya polos sambil mengambil sambel ke dalam piringnya. Sedangkan aku telah mendahuluinya menyantap makanan kesukaanku yang ku tunggu tunggu. "Maaf ya non kalau saya bertanya, kenapa tadi nona tidak jadi makan, padahal bilangnya sama bibi laper banget?" lanjutnya yang mulai menyantap makanannya.
"Enggak papa kok bi. Kalo yang tadi itu emang kesalahanku kok. Aku ga sopan" jawabku pelan.
"Tapi kenapa malah nona yang berlari dan mengunci kamar?" tanyanya tulus.
"Ya mungkin aku malu bi" jawabku bohong. "Oh ya bi. Emangnya tadi ada yang bicarain aku?" lanjutku dengan mulut yang masih terisi penuh, karena tak sabar ingin menanyakannya.
"Maaf non. Selesai nona masuk ke kamar semuanya membicarakan sekolahnya non Felly sama nak Fian. Mungkin Karena nyonya tidak ingin mengungkit masalah tadi..." jelasnya.
"Mengapa bibi harus minta maaf?" sejujurnya aku memang ingin mengetahui seberapa besarnya cinta mama. Tapi jika cerita tadi di teruskan entah mengapa rasa sakit maagku yang mulai hilang bisa muncul lagi.
"Takutnya Nanti nona tersinggung"
"Gapapa kok bi. Makasih ya infonya. Oh ya, terus ayamku ini emang sengaja di sisahin mama atau bibi aja yang ingat kalau aku belum makan?" tanyaku pelan lagi. Aku tak ingin ada yang mengetahui aku makan bersama bibi malan ini.
"Kalau soal itu saya tidak diperintahkan nyonya non. Tapi saya tadi kebetulan lihat nona berlari ke kamar, saya datangi saja" jawab bibi yang sepertinya sangat polos.
"Oalah bi... Makasih lo. Oh ya bi, bibi kan punya anak, perempuan lagi, bibi sayang tidak sama anak perempuan bibi? Kalau sayang kenapa?"
"Ya pasti lah non. Bibi sayang banget sama anak bibi. Kelihatannya anak bibi juga sayang bibi. Bibi sayang anak bibi mungkin karena dia cantik, pintar, anak satu satunya, apa lagi ya non" jawabnya sedikit pelan. Aku sedikit menahan tawaku karena melihat ekspresinya saat menjawab "pokoknya banyak deh non" lanjutnya lalu menelan nasi.
"Ooh.. Terus kalau menurut bibi seorang mama ga suka sama anaknya itu karna dia tidak pintar, jelek ya bi?" tanyaku yang ingin membuktikan jawabannya.
"Ya pasti tidak lah non... Tidak ada dong di dunia ini orang tua yang tidak cinta sama anaknya sendiri. Emang Kenapa non?" jelasnya. Dan sekarang aku telah memiliki suatu pemikiran yang positif berkat kata kata emas bibi Sum 'tidak ada orang tua yang tidak sayang anak anaknya' jadi aku yakin meskipun mama sering mengolokku mama masih cinta sama aku, anaknya. Kecuali jika aku tidak dianggap sebagai anaknya lagi.
"Nggakpapa bi. Cuma tanya. Makasih ya bi, atas makan malamnya" ucapku cepat, sambil bergegas mencuci piringku sendiri. Aku tak mau memberatkan beban bibi, itu semua akan aku lakukan saat aku masih bisa. Selama ku mencuci piring aku tidak bertanya bahkan membuka mulut sekalipun. Karena bibi sedang membereskan piring piring kotor mama, papa, dan kakak kakakku. Selesai mencuci semua peralatan makanku tadi, aku segera menuju ke kamarku tanpa berpamitan dendan bibi, karena bibi sedang sibuk membuang sisa sisa tulang ayam di belakang rumah yang akan di makan oleh kucing.



Lebih Baik Aku Yang PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang