Mora

31 2 5
                                    

Keesokan harinya Laia kembali ceria memasuki sekolahan. Ia bertemu dengan orang-orang yang masih memiliki aura pagi yang berdenyar-denyar disekeliling setiap orang. Itu adalah pemandangan yang sangat indah dilihat. Berbeda ketika akhir sekolah aura orang-orang akan mengecil, nyaris padam dengan raut muka lelah.

Rafi menyapanya ketika mereka bertemu. Seperti yang telah ia duga, aura Rafi bukan lagi nyala api yang membara-bara, tergantikan dengan warna biru cerah. Laia yakin kemarahan Rafi sudah padam.

Saat ia memasuki kelas tanpa ia duga-duga Mora sudah duduk manis di bangkunya. Lagi-lagi ia menatap ke depan dengan pandangan kosong. Kelas masih sepi, hanya terisi oleh Mora. Biasanya Laia lah yang pertama datang ke kelas. Mora menoleh dan menatap Laia lekat-lekat ketika ia memasuki kelas. Laia memberanikan diri menatapa Mora lekat-lekat, ia teringat akan penemuannya kemarin yang membuat Laia takut dengan Mora.

Jantung Laia terasa berhenti berdetak, bola mata Laia menemukan apa keganjalan yang selama ini ia rasakan. Pendar aura Mora berbeda dari orang lain. Warnanya kelabu pudar hampir terlihat samar. Hal yang paling mengejutkan Laia adalah aura Mora diam, statis, tidak berdenyar ataupun berpendar sama sekali. Setahu dirinya, setiap makhluk yang bernyawa memiliki aura yang dianamis berpendar, berdenyar dan bisa berubah-ubah sesuai emosi seorang.

Aura seperti itu hanya dimiliki oleh benda mati saja. Laia sama sekali tidak mengerti. Tapi keganjalan yang ia rasakan selama ini terjawab. Ia hanya berdiri membeku di tengah kelas dengan Mora yang menatapnya tajam. Mencerna apa yang baru saja ia temukan.

Siapa atau apa dia sebenarnya? Mora beranjak dari tempat duduknya tanpa sedetikpun matanya lepas dari Laia. Laia mematung ditempatnya. Mau apa dia? Ketakutan merembes pada dirinya. Laia berbalik dan segera mungkin meninggalkan kelas sebelum Mora sempat melakukan apapun.

Selama pelajaran berlangsung Laia sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya di kelas sibuk dengan pikirannya sendiri, ia menyendiri di pekarangan belakang sekolah. Akhirnya ia memutuskan kembali ke kelas. Di dalam kelas didapatinya Mora tak laki berada di mejanya.

Dimana dia? Laia heran, ia menghampiri salah satu meja temannya.

"Kamu tau Mora dimana?" yang ditanya hanya melirik acuh ke Laia.

"Tadi ia nyaris pingsan saat olahraga." Laia tertegun ia baru sadar bahwa ia melewatkan pelajaran olahraga. Ditepisnya pikiran-pikiran buruk tentang Mora, tentang auranya. Bagaimanapun juga ia harus ke UKS menjenguk teman barunya, Mora.

Mora terbaring lemas di salah satu ranjang UKS. Muka putih pucat, hembusan nafas yang hampir tidak terdengar, nyaris membuatnya seperti orang mati. Laia terkesiap, ia sama sekalu tidak bisa melihat aura Mora. Padahal seorang yang sekaratpun akan mengeluarkan aura. Setiap orang, setiap benda pasti memiliki aura tak terkecuali.

Kelopak mata Mora seketika terbuka, posisinya berubah dari posisi terbaring ke posisi duduk tegak tidak sampai hitungan detik. Laia tersentak dan nyaris berteriak segera mungkin ia menutup mulutnya. Bulu kuduknya meremang, keringat dingin bercucuran ketika Mora menatapnya lekat-lekat tanpa ekspresi. Laia menelan ludah, ia mengumpulkan keberanian diri yang tersisa. Ia melangkah mendekati ranjang Mora.

"Kamu kenapa Mora?" Laia memaksakan senyum ramah. Mora tetap diam mematung dengan raut muka yang tak berubah, tetap tanpa ekspresi dengan pandangan kosong.

Detik demi detik berjalan terasa begitu lama. Ketakutan yang kuat mencekeram Laia. Sekali lagi ia ingin menanyakan satu hal yang akan membuat semua rasa penasarannya menguap. Laia menghembuskan nafas panjang untuk mengembalikan keberanian dirinya yang telah terburai-burai.

"Aku ingin menanyakan satu hal padamu. Kamu tau aku bisa melihat aura seseorang. Setiap orang memiliki aura yang berbeda-beda berdenyar-denyar di sekeliling tubuh mereka." Laia berhenti sebentar, "Kecuali kamu, aura kamu berbeda dari semua makhluk hidup yang pernah aku temui. Auramu pudar seperti benda mati. Dan yang ingin aku tanyakan. Siapa kamu?" Detik ini tidak ada respon, tapi detik berikutnya Mora menatap Laia lekat-lekat tanpa kedipan sama sekali.

"Memang aku bukan lagi makhluk hidup." Ia mengatakan itu dengan seringai miring yang tak sampai mata. Matanya yang kian melebar menatap Laia yang berdiri gemetar di pinggir ranjang.

Laia tak kuasa untuk tidak teriak saat itu juga Mora yang berada dihadapannya semakin mengerikan. Kulitnya mengeriput, matanya semakin terbelalak. Lalu tercium aroma busuk mayat dari tubuh Mora. dari tubuh mora, Ia mengeluarkan aura hitam pekat, aura jahat.

Oh tidak! Mora mengulurkan tangan mayatnya dengan cepat ke arah leher Laia lalu mencekik Laia sebelum ia bisa melakukan apapun untuk melarikan diri dari Mora.

Perlahan Laia membuka matanya yang berat hingga kedua matanya benar-benar terbuka dengan sempurna. Ia bangkit dari tempat ia berbaring. Ia merasakan ada hal yang aneh yang ia rasakan, tubuhnya terasa ringan. Satu hal yang membuatnya benar-benar merasa hilang dari kehidupan. Ia tidak punya aura, auranya tak lagi berdenyar. Auranya statis seperti yang dimiliki Mora.

DenyarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang