Chapter 1: A Glimpse of You

31 2 0
                                    

"Will,"

"Yes, sir?"

"What happened to you? Look at your score." Mr. Aaron memberikan kertas ujianku, ekspresi kecewa terpampang di wajahnya. "Check for any errors. Maybe I made a mistake while checking it. You're supposed to get the highest score, not the lowest."

"I'm sure there's nothing wrong with my paper, sir. I'm sorry to dissapoint you." Ketika aku berjalan kembali ke tempatku, semua mata memandangku dengan tatapan bingung.

"Okay, I guess that's it. Class is dismissed." Ucap Mr. Aaron, disusul dengan semua murid yang langsung ikut berdiri dan mengikutinya keluar.

"Gara-gara Trisha?" bisik Jay begitu melihat nilaiku yang menurun drastis. Otakku sedang benar-benar kacau saat itu, makanya nilai narrativeku kali ini sangat rendah. Aku mengangguk, lagi-lagi bayangan Trisha memenuhi pikiranku. "Will, she lied to you. I get that you feel betrayed, but 2 weeks? Get over it, man. She's not coming back."

Aku mengacak rambutku. Aku sadar bahwa apa yang Jay bilang itu benar, but moving on is not as easy as it sounds.

"Mau gue kenalin ke cewe lain?"

Aku menggeleng.

"'Gimana kalo lo deketin Jessica kelas sebelah?"

Aku menggeleng lagi.

"Deketin gue?"

Alisku mengkerut, menatap Jay aneh. "Ya kali,"

Jay terkekeh, lalu mengambil ranselnya dari bawah meja. "Ayo lah. Mau main ke rumah gue?"

Aku mengangguk, kemudian menyusulnya keluar dari kelas. Rumah Jay bisa dibilang rumah keduaku, dan percaya atau tidak, sampai saat ini aku belum pernah mengelilingi rumahnya yang layak dibandingkan dengan istana. Biasanya, aku hanya pergi antara ke kamarnya, ruang tamu, kolam renang, dapur, atau toilet. Dan aku tidak berniat untuk menelusuri bagian lain dari 'istana' nya. Bisa-bisa aku tersesat.

Rumah Jay hanya berjarak 5 menit dari sekolah, dan itulah yang membuatku semakin malas pulang ke rumahku sendiri. Jam pulang kerja di sore hari seperti ini, macet nya sudah tak kira-kira lagi. Bisa memakan waktu 1 jam untukku pulang ke rumah, jadi lebih baik jika aku menunggu sampai malam di rumah Jay ketika macetnya sudah mereda.

"Lo mau mandi apa makan dulu?" Tanya Jay begitu kami masuk ke dalam rumahnya. 

"Mandi deh. Gue tinggalkan soal makanan ke ahli nya," kataku sambil menirukan gaya seorang wizard. Jay tersenyum menggeleng, lalu melangkah menuju dapur, meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Seperti biasa, rumahnya begitu hening seolah tak berpenghuni.

Setelah mandi, aku memakai kaus putih polosku dan sweatpants yang kutinggalkan di sini. Aku sengaja meninggalkan beberapa pakaian karena aku tau aku akan sering berkunjung, jadi setidaknya aku tidak perlu meminjam Jay terus-menerus.

Sambil menuruni tangga, aku mengeringkan rambutku dengan handuk kecil. Panggil aku tidak tahu diri, tapi aku sudah terbiasa berada disini. Orang tua Jay juga sudah sangat mengenalku, jadi tidak masalah.

"Jay?"

Tidak ada jawaban. Aku melangkahkan kakiku ke dapur, namun aku tidak menemukannya. Yang ada justru adalah sesosok perempuan dengan rambut yang dikuncir kuda.

"Will!" Baru saja aku mau menghampirinya, Jay memanggilku dari arah ruang tamu. Sambil berjalan pergi, otakku mencoba untuk menebak siapa perempuan tadi. Mungkin adik Jay? Tapi Jay tidak pernah membahas apapun tentang mempunyai seorang adik perempuan. Aku hanya mengenal Grayson, yang umurnya baru menginjak 9 tahun.

"Sorry, tadi gue balik ke mobil bentar. Ada barang ketinggalan. Lo tunggu disini aja," katanya, meninggalkanku lagi.

Hm, ada yang aneh.

Aku mengedikkan kedua bahuku, lalu duduk di salah satu sofa yang menghadap ke tengah rumah. Perutku yang kosong sejak pagi tadi pun terus berbunyi, dan aku yakin Jay bisa mendengarnya dari dapur. I'm freakin' hungry.

Daripada menunggu, kuputuskan untuk tidur selagi ku bisa. Meskipun mataku tertutup, telingaku masih bisa mendengar suara langkah kaki menaiki tangga. Namun begitu aku membuka mataku, sosok perempuan itu sudah menghilang dibalik salah satu pintu. Haruskah aku meminta penjelasan pada Jay? I mean, we've been friends for 3 years and I'd never seen her before until today, so there must be a reason behind this.. right?

Jay kembali dengan dua piring spaghetti, lalu memberiku piring dengan porsi lebih banyak. "I know you'd want more," jelasnya sebelum aku bisa bertanya.

"Thanks. So, do you want to tell me about that girl?"

"No prob. Are you staying tonight?"

"Jay,"

"Lo bisa tidur di sebelah kamar gue kok."

"Jayson."

"Atau lo mau tidur di kamar gue? I need privacy, though,"

"Jayson, stop changing the subject."

Jay meletakkan piringnya diatas meja, lalu menghela nafas panjang. "Fuck you, Will,"

"Dude, what did I do wrong?" Tanyaku dengan alis mengkerut. Jay memutar kedua bola matanya, lalu menunjukkan senyum pertanda kalah. "Dia.. seseorang yang penting."

Mataku membulat, sementara mulutku terbuka, membentuk sebuah lingkaran sempurna. "Cewek lo, Jay?! Wah. Gila lo. Kenapa lo ga pernah cerita ke gue?"

Kini giliran Jay yang menatapku dengan mulut terbuka lebar. "Bukan kampret! Ih! Jangan langsung loncat ke konklusi gitu dong!" Ujar Jay dengan wajah mengkerut, "dia sepupu gue. Baru dateng dari Kanada 1 bulan yang lalu bareng keluarganya, kata bokap gue sih bisnis bokapnya ga berakhir baik disana. Jadi untuk sementara, jumlah kepala di rumah ini bertambah 3."

"Trus maksud lo seseorang yang penting? Perasaan gue nggak pernah nganggep sepupu itu orang yang penting... ato jangan-jangan lo suka sama sepupu lo sendiri diem-diem? Wah, gila juga lo Jay!" Ujarku tak percaya dengan kedua mata kembali membulat. Aku tidak pernah menyangka sahabatku bisa senekat ini.

4 butir kelereng tiba-tiba saja mendarat di keningku. Aku sontak mengerang kesakitan, mempertanyai alasan dibalik lemparan kelereng-kelereng itu. "Apaan sih lo! Main lempar-lempar! Lagian itu kelereng dari mana dah lo ambil- wah gila lo bisa gue tuntut kekerasan dalam rumah tangga!" Protesku dengan wajah kesakitan. Sial. Kalau memar mau ditaruh dimana mukaku besok?

"Laporin aja goblok, sejak kapan gue satu rumah tangga sama lo. Jangan ngomong kenceng-kenceng, takutnya bokapnya denger. Geli banget dah suka sama sepupu sendiri, gini-gini gue masih punya otak! Bokap dia itu mantan tentara dan taekwondonya udah sabuk hitam. Jangan main-main,"

"Oooo.. gitu kek daritadi. Jelasin langsung dong makanya biar gue ga salah tangkep." Ujarku, akhirnya mengerti sambil diam-diam mengasihani siapapun yang akan menjadi pacarnya di masa depan.

"Gue ga mau lo ketemu sama dia loh ya. Jangan sekalipun lo coba buat kenalan sama dia ataupun ngajak ngomong."

"Emangnya kenapa? Kenalan doang boleh kali, kan gue gamau macem-macem."

"Karena kalo gue bukan sepupunya, gue udah pasti seratus persen naksir. Apalagi elo. Dan gue gamau lo digebukin sama bokapnya, Will." Jay mengambil piring kosong ditanganku, lalu membawanya menuju dapur. "Ke kamar gue dulu aja. Gue mau ke kamar nyokap bokap bentar,"

Aku mengangguk, lalu berjalan menaiki tangga. Mungkin jika hanya dilihat dari penampilan, Jay terlihat seperti anak pembangkang yang kerjanya hanya pergi dan menghabiskan uang. Tapi sebaliknya, Jay justru lebih suka untuk bersantai di rumah dan selalu menghampiri orang tuanya kapanpun dirinya sempat. Dan sisi itu hanyalah beberapa orang terdekat yang tahu, salah satunya aku.

Ketika berjalan melalui lorong, aku mendengar samar-samar suara nyanyian dari salah satu kamar. Suasana rumah yang begitu sunyi membuat suaranya terdengar hingga ke kamar Jay. Namun suaranya terdengar semakin sayup, hingga akhirnya menghilang. Entah lagu apa yang dinyanyikan oleh perempuan itu; yang jelas, satu hal yang aku ketahui darinya. She sings amazing.

SugarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang