Chapter 3: Angel Sent From Above

17 2 1
                                    

"Will, bangun dong ah elah! Udah malem nih! Gue juga mau tidur kali. Sana balik ke kamar lo!"

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, masih dalam proses pengumpulan nyawa. Sial, jam berapa sekarang?

"Gue udah tidur berapa lama?" Tanyaku, masih dengan mata yang menyipit.

"6 jam. Ini udah jam 12, gue udah ngantuk juga. Balik ke kamar lo gih, ini kasur single bed. Lo ga bisa tidur bareng gue bro," Jay terkekeh, lalu menarik tanganku untuk bangun dari kasurnya.

"Ugh. Gue mana bisa tidur lagi kalo begini," gumamku, lalu berjalan menuju kamar tamu disebelah. Biarlah, mungkin aku hanya akan menonton film-film yang ada. Biasanya sih, mayoritas horror.

Aku membuka tas sekolahku, dan mengeluarkan macbook dari antara kertas-kertas ujian. Entah kapan terakhir kali aku membukanya, aku tidak ingat.

Dan tentu saja aku tidak ingat tentang wallpaperku yang sialnya, belum kuganti.

Aku ingat jelas saat itu ketika Trisha mengganti wallpaperku yang awalnya hanya pemandangan, menjadi foto kami berdua.

Aku menghela nafas, lalu segera mengganti wallpaperku menjadi semula setelah menatap wajah Trisha untuk beberapa detik terakhir. Jangan tanya aku apa-apa soal Trisha. Masalahnya, aku sendiri juga tidak mengerti. Trisha tiba-tiba saja menghilang dari kehidupanku. Nomornya pun sudah tidak bisa dihubungi.

Tapi ada satu hal yang kurahasiakan dari semua orang.

Satu hal yang seharusnya membuatku melupakan Trisha. Bahkan membencinya.

Hilangnya Trisha bersamaan dengan hilangnya permata milik ibuku.

Aku tidak pernah memberitahu keberadaan permata-permata itu yang awalnya kusimpan di dalam jam kayu. Setiap malam sebelum tidur, aku selalu mengecek keberadaan permata-permata itu. Sebenarnya, nenek moyangku menjadikannya sebagai barang turunan andai saja salah satu generasi akan jatuh bangkrut.

Dan sialnya, sekarang permata itu telah dicuri.

Aku tahu aku seharusnya melaporkan hal ini ke polisi, atau mungkin seharusnya aku bilang pada ibuku terlebih dahulu.

Tapi pada kenyataannya, nyaliku ciut. Bisa-bisa namaku dicoret dari kartu keluarga jika ibuku tahu bahwa permata-permata turunan itu hilang di tanganku. Lebih parahnya lagi, dicuri oleh pacarku sendiri.

Mantan pacar, tepatnya.

Aku mengacak rambutku, rasanya aku butuh secangkir kopi atau teh. Mau bagaimanapun juga, perasaan cinta itu sulit untuk dihilangkan. Aku hanya butuh waktu untuk melupakan Trisha. Memang salahku sendiri karena tidak mencari tahu lebih dalam tentang latar belakangnya. Siapa yang bisa menyangka gadis semanis dan sepolos itu ternyata adalah seorang pencuri?

Ini jam duabelas malam, dan aku dengan nekatnya turun ke lantai satu untuk membuat kopi di dapur. Semuanya gelap, dan hening. Sial. Meskipun tubuhku cukup besar, aku juga jadi ketakutan sendiri.

Sesampainya di dapur, aku dengan segera menyalakan salah satu lampu yang cukup redup. Setidaknya aku merasa tenang sekarang jika bisa melihat apa yang ada disekitarku. Tapi ternyata, jantungku tidak berhenti berdegup kencang. Begitu melihat seorang gadis sedang duduk di meja pantry tepat di hadapanku, jantungku nyaris berhenti. Sebuah jeritan kaget hampir saja keluar dari mulutku jika saja aku tidak berpikir lebih cepat.

Aku menuangkan sisa kopi dalam teko, lalu berjalan menjinjit ke hadapan gadis itu. Masalahnya, aku tidak tahu siapa namanya. Jadi aku terpaksa memanggilnya dengan sebutan 'gadis itu'.

SugarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang