Memori ( 1 )

761 7 4
                                    

Namaku  Juli. Aku adalah anak dari seorang pemabuk miskin yang bersedia melakukan apapun demi mendapatkan sebotol lagi minuman keras. Ayahku bukanlah tipe ayah yang diinginkan oleh siapapun. Jika aku boleh mengatakan ini, dia tidak pantas menjadi seorang ayah. Sejak kecil aku berusaha keras mencari uang untuk menyambung hidup kami yang selalu kekurangan akibat kebiasaan minum ayah yang buruk. Ibu meninggal saat aku berada di kelas tiga SMP. Mungkin ibu tidak mampu menerima pukulan dan siksaan ayah, atau dia lelah memiliki suami pemabuk yang suka memukulnya ketika tidak mendapatkan cukup banyak uang.
Sejak saat itu aku melakukan apapun yang diperlukan untuk menyambung kehidupanku dan pria yang menyebut dirinya ayahku. Mulai dari menjadi pelayan paruh waktu restoran sampai menjadi penyanyi kafe sudah pernah kulalui. Setelah tamat sekolah aku tak dapat melanjutkan kuliah yang sangat kuimpikan karena ayah memerlukan tenagaku untuk bekerja demi membeli lebih banyak lagi minuman. Sekarang bukan hanya minuman yang diperlukannya, seolah semua sifatnya itu belum cukup, ayah menambah satu lagi kebiasaan lain. Judi menjadi kegiatan yang menemani minumannya. Ketika uang yang kuhasilkan tak mencukupi kebutuhan dan hobi barunya, saat itulah dia kehilangan akalnya dan mencoba menjualku pada seorang Mafia. Pada mulanya aku tidak menyangka pria yang datang bersama ayah adalah orang yang akan membeliku. Aku pergi ke dapur berniat mengambilkan air minum. Saat akan kembali ke depan, aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka dalam suara yang mirip bisikan.
“Bagaimana? Bukankah dia benar-benar cantik?” Bisik ayah.
“Kau benar. Bagaimana kalau kutawar dua puluh juta?”
“Dua puluh juta? Kalau aku menjualnya pada germo itu aku akan mendapatkan setidaknya lima puluh.”
“Apa kau lupa hutangmu itu?”
“Baiklah, tambahkan lima juta. Aku membesarkannya selama delapan belas tahun.”
“Kau memang sampah. Baiklah kau mendapatkannya. Kau yakin anakmu itu masih perawan bukan? Jika kau berani berbohong, kau tahu kau akan berhadapan dengan boss besar.” Ancam pria berperawakan kasar dan bertubuh jauh lebih tegap dan berotot dari sebagian besar pria.
“Tentu saja, kau bisa lihat sendiri.” Ayah terkekeh.
Menit berikutnya aku diseret dari rumah oleh pria itu dan seorang temannya. Aku berteriak memohon dan meminta tolong pada ayah atau siapapun yang mendengarkan, Namun tak seorang pun keluar dari rumah mereka mendengar teriakkanku. Tetanggaku terlalu takut pada preman-preman itu untuk melawan. Mereka tahu siapa yang disebut bos besar. Semua orang di daerah kami takut padanya. Tak pernah kusangka ayahku bisa tega menjual anaknya sendiri hanya demi uang dua puluh lima juta. Aku dibawa ke sebuah rumah besar yang digunakan untuk menampung orang-orang yang bernasib sama sepertiku. Saat aku sampai, ada empat orang gadis dan seorang anak laki-laki berumur sembilan tahun di rumah itu. Semua datang dari tempat dan dengan alasan yang berbeda. Dari kami semua aku merasa aku memiliki nasib terburuk. Dua orang gadis datang karena dibohongi akan dipekerjakan sebagai pembantu, dua lainnya diculik dan dibawa kemari, anak laki-laki yang bernama Adi itu diculik dari orang tua yang kaya raya untuk dimintai tebusan. Ironis rasanya melihat perbedaan kami berdua. Dia ada di sini karena bos besar menginginkan uang ayahnya sedangkan aku berada di sini karena ayahku menginginkan uang bos besar.
Aku dan keempat gadis lainnya berulang kali mencoba melarikan diri dan gagal. Setiap kali kami mencoba melarikan diri kami tertangkap dan diberi pengamanan yang lebih ketat. Dua hari sejak kedatanganku Adi telah pulang ke rumahnya, ayahnya membayar tebusan untuk Adi. Sekarang hanya tinggal kami berlima. Sudah lebih dari seminggu kami berada di rumah itu saat bos besar mereka datang dan menemukan dirinya menyukaiku diantara kelima gadis disini. Saat bos besar memerintahkan anak buahnya untuk membawaku ke rumahnya yang berada di suatu tempat yang jauh dari tempat kami ditahan, saat itulah aku berhasil melarikan diri dengan berpura-pura ingin ke kamar kecil. Aku memanjat jendela kamar kecil umum dan lari dari mereka. Ajaib aku dapat lolos dari mereka mengingat mereka menjaga bagian depan dan belakang kamar kecil itu. Seorang SPG cantik yang coba menawarkan produk pada mereka menangkap perhatian mereka sehingga pria-pria itu berkumpul di sekitar gadis itu dan melihat kesempatan itu aku memanfaatkannya.
Aku tidak tahu aku harus kemana setelah kabur. Aku tidak memiliki rumah lagi untuk pulang dan tak memiliki kerabat untuk berlindung. Tak seperti orang lain yang selalu dapat mengandalkan ayahnya sebagai tempat berlindung, aku malah paling aman jika berada jauh darinya. Tanpa arah aku berjalan. Terus menerusuri jalanan sambil menyiagakan mata dan telingaku jika saja orang-orang itu menemukanku. Entah berapa jauh sudah aku berjalan sampai aku masuk ke sebuah kompleks rumah yang cukup mewah. Rumah-rumah disini terlihat besar dan mahal. Aku merasakan pegal diseluruh bagian tubuhku setelah berjalan tanpa henti. Menurutku aku bisa beristirahat di depan pagar rumah yang tampak kosong ini untuk sejenak. Lagi pula tidak mungkin aku akan mereka temukan di tempat seperti ini. Mereka tidak akan menyangka kalau aku akan masuk kesini. Tanpa menunggu lagi, aku memilih duduk di sudut pagar dimana ada tembok berbentuk ceruk yang cukup besar untuk menutupi seluruh tubuhku dari pengelihatan orang-orang yang lewat jika aku meringkuk disana.
Kebetulan yang sangat menolong ketika sebuah kardus besar berada di tong sampah samping rumah itu. Kardus itu cukup bersih dan besar untuk menutupi tubuhku dari angin malam. Jadi tanpa basa-basi aku membuka kardus itu dan masuk kedalamnya. Tak perlu waktu lama bagiku untuk tertidur. Malam itu aku menghabiskan malamku dalam kardus itu. Pagi harinya aku dibangunkan oleh seorang pria yang mengguncang bahuku. Pria itu masih muda. Mungkin baru berumur dua puluh enam atau dua puluh tujuh tahun. dia menatapku dengan tatapan syok.
“Kenapa kau tidur dalam kardus?”
“Apa kau pemilik rumah ini?”
“Ya, kenapa?”
“Maaf aku telah mengagetkanmu dengan tidur disini. Aku tidak punya pilihan lain.”
“Oh? Apa kau diusir dari rumahmu? Yang pastinya kau bukan seorang gelandangan.” Pria ini memperhatikan seseorang seolah selalu menilai semua tindakanmu dan gerakan tubuhmu.
“Sebenarnya aku bisa dikatakan gelandangan. Aku tidak memiliki rumah untuk pulang dan aku tidak memiliki keluarga untuk dicari.” Sebenarnya untuk apa aku mengatakan ini padanya?
Suara lapar perutku memotong pembicaraan dengan orang asing ini. Karena malu aku tidak berani menatap wajahnya. Yang dapat kulakukan hanya menekan perutku agar tidak mengeluarkan protesnya lagi.
“Kau lapar? Masuklah, aku akan memberimu sarapan.” Karena terlalu sering menghadapi orang yang licik, penuh maksud buruk, dan sikap menjijikkan lainnya, aku belajar untuk waspada pada setiap tawaran murah hati. Selalu ada yang harus kubayar untuk setiap kebaikan itu. Terlebih lagi setelah tindakan ayahku, aku tidak akan pernah bisa mempercayai siapa pun. Aku berdiri mematung disana.
“Kau tidak mau masuk?” Pria itu menyadari aku tidak mengikutinya.
“Terima kasih, sebaiknya aku pergi sekarang.” Secepat kilat aku melompat keluar dari kardus dan berniat melarikan diri sebelum pria itu bisa menahanku. Namun terlambat, pergelangan tanganku telah ditangkapnya dengan mantap.
“Kau tidak perlu takut. Aku bukan orang jahat. Jika kau tak mau masuk, kau bisa menunggu di sini. Aku akan membawakan makanan keluar.” Mendapat anggukan dariku dia tersenyum puas dan masuk ke dalam rumah membiarkan pagarnya terbuka. Betapa bersyukurnya aku dengan tindakannya itu beberapa detik kemudian, ketika harus menyelinap masuk ke dalam dan menutup pagarnya yang terbuat dari kayu yang menyembunyikanku dari anak buah bos besar. Orang-orang itu benar-benar mencari sampai kemari.
“Kenapa kau masuk? Bukankah kau takut aku...” Buru-buru aku menutup mulutnya. Menyentuhkan telunjukku ke mulut, aku memberinya isyarat untuk diam. Saat kami aman dalam rumahnya, aku baru mulai bicara.
“Aku dikejar beberapa orang. Aku dijual ayahku pada mafia untuk di..., aku lari. Kukira aku sudah lolos dari mereka. Mereka tadi baru lewat. Biarkan aku disini untuk beberapa saat lagi, setelah itu aku akan pergi. Kumohon.”
“Kau dijual ayahmu?” Dia membelalakkan matanya tak percaya.
Sebuah senyuman ironi kutawarkan sebagai jawaban. Pria itu langsung menjaga kembali ekspresi wajahnya ketika memahami maksudku. Perasaan dikasihani memang selalu tidak menyenangkan ketika datang dari orang asing.
“Kau bisa tinggal di sini jika kau mau. Aku tinggal sendirian. Sebenarnya pertemuan ini sedikit mengejutkan bagiku. Kau tahu, seorang temanku menghilang sejak dua minggu yang lalu. Kuharap dia baik-baik saja. Kuharap ada orang yang akan menolongnya seperti aku menolongmu.
Tidakkah cerita pria ini seperti sebuah karangan yang dipaksakan? Bukan masalah bagiku, setidaknya ada sebuah tempat untuk menginap malam ini. Saat ini diriku tidak dalam keadaan untuk memilih dan aku sadar betul kenyataan itu. Tanpa berpikir banyak aku menerima tawaran pria yang bernama Juan ini.
Saat ini aku tinggal di rumah Juan sudah hampir dua bulan. Sebagai ganti tempat tinggal dan makan gratis juga pakaian yang disediakannya untukku, aku membersihkan rumah dan melakukan segala pekerjaan rumah untuknya. Sebenarnya Juan tidak memintaku untuk mengerjakannya, hanya saja aku tidak bisa tinggal dan makan gratis tanpa membalas kebaikannya, jadi aku melakukan satu-satunya hal yang dapat kulakukan untuknya. Juan adalah seorang arsitek. Selain ke kantor, dia jarang keluar rumah. Waktu luangnya digunakan untuk melukis ataupun membaca, yang merupakan kegemarannya. Pada hari kerjanya aku tinggal sendirian di rumah selama siang hari. Malam hari kami habiskan untuk menonton film ataupun sekedar duduk bersama untuk mengobrol. Aku mulai menyukai kehidupanku yang sekarang ini. Tidak ada lagi malam-malam yang harus dilewati dengan menyanyi di klub malam atau kafe, juga tidak ada preman yang menagih hutang. Walaupun aku tahu kehidupan yang nyaman ini tidak akan berlangsung selamanya dan entah kapan kebahagiaan ini akan dirampas dariku, aku tidak pernah berhenti berdoa semoga Tuhan tidak mengambilnya dariku terlalu cepat. Alasan lain kenapa aku sangat ingin tinggal disini adalah perasaanku yang mulai menyukai Juan. Entah kapan awalnya Juan terlihat bersinar di mataku. Senyuman pria itu selalu membuatku ikut tersenyum dengannya dan ketika dia mulai menjadikanku model lukisannya, aku menyadari aku akan melakukan apapun agar sepasang mata itu tetap menatapku. Bodoh memang, memiliki perasaan untuk pria yang telah memiliki seorang kekasih, namun aku tidak dapat berhenti berpikir kalau aku akan memiliki kesempatan jika kekasihnya itu tidak pernah pulang lagi. kadang kala aku merasa malu dengan piciknya pemikiranku dan disaat lain aku berdoa semoga pikiranku itu menjadi kenyataan.
Juan mengajakku untuk pergi berlibur dengannya ke Bali. Dia mendapatkan klien yang memintanya untuk menangani proyek Villanya di Bali. Juan berniat menghabiskan waktu lebih lama disana untuk berlibur dan dia tidak mau meninggalkanku sendirian di rumah sebesar ini. Sejak lahir, ini pertama kalinya aku naik pesawat dan tentu saja aku merasa takut. Juan menertawaiku untuk itu. Mulai dari pertama kali menginjakkan kakiku di dalam pesawat sampai keluar dari pesawat yang kami tumpangi, aku tidak melepaskan lengan Juan. Dia menertawaiku untuk beberapa lama namun tidak melepaskan tanganku. Dengan penuh pengertian dia meyakinkanku bahwa tidak akan terjadi apa-apa. “Kau bisa mengatakan seperti itu karena kau sudah sering naik pesawat, tapi aku baru pertama kali dan aku benci ketinggian dan kita ada beberapa ribu meter di atas tanah.” Gerutuku.
“Baiklah, kau benar. Kau boleh menutup matamu dan terus berpegangan padaku selama kau tidak mematahkan lenganku.” Katanya sambil bergurau.
“Aku tidak mungkin mematahkan lenganmu.”
“Aku yakin kau akan melakukannya jika kau berniat terus memegangiku seerat ini.” tawa itu, Juan mengeluarkan tawa yang membuatku tersihir itu.
Saat mendarat di Pulau Dewata, hujan deras sedang mengguyur tempat itu. Karena kami sama sekali tidak memiliki payung dan harus membawa koper yang cukup berat, kami berdua cukup basah kuyup ketika sampai di hotel tujuan kami. Untung saja koper kami yang terbuat dari bahan kedap air tidak ikut basah. Juan tampak kesal ketika resepsionis hotel mengatakan hanya ada satu kamar yang tersedia dan itupun adalah kamar dengan satu tempat tidur. “Kita harus mencari hotel lain.” Ucap Juan.
“Sebenarnya kita bisa mengambil kamar itu. Aku bisa tidur di Sofa atau lantai. Dengan begitu kita akan bisa menghemat uang.” Saranku. Untuk mengajakku bersamanya saja aku sudah sangat berterima kasih, aku tidak ingin Juan menghabiskan terlalu banyak uang untukku. Aku tidak dapat membalas kebaikannya selama ini dan aku juga tidak ingin terlalu banyak berhutang padanya.
“Tidak, aku tidak bisa membiarkanmu tidur di tempat seperti itu. Tempat lain mungkin masih memiliki kamar kosong.” Ucapan Juan disela resepsionis hotel dengan cepat.
“Sekarang adalah musim liburan tuan, jadi kemungkinan hotel lain juga sudah penuh.” Timpalnya dengan ramah.
“Sebenarnya, aku sedikit kedinginan. Anginnya terlalu kencang.” Juan menatapku sesaat sambil berpikir. Mungkin karena melihatku yang mulai gemetar kedinginan, Dia akhirnya memutuskan untuk menuruti saranku.
“Kamar itu memiliki air hangat untuk mandi bukan?” tanya Juan pada resepsionis dan resepsionis itu dengan cepat mengangguk gembira karena kamar terakhir Hotel itu telah berhasil di tawarkannya. Reservasi dilakukan dengan cepat  dan kami diantar ke kamar kami oleh seorang Bellboy yang berseragam bernuansa Bali dengan sekuntum bunga putih ditelinganya.
Sampai di dalam kamar, Juan mendorongku langsung ke kamar mandi. “Gunakan air hangatnya dan jangan lama-lama.”
Tentu saja aku tidak ingin berlama-lama di dalam kamar mandi. Ini liburan pertamaku, aku tidak ingin menghabiskan waktuku di dalam kamar kecil itu. walaupun hujan, setidaknya aku dapat melihat suasana sekitar melalui pintu kaca besar yang menghadap ke laut. Masalahnya adalah aku tidak tahu cara membuka keran air ini. Di rumah Juan memang aku memang telah belajar menggunakan shower namun Shower yang digunakan di hotel ini berbeda. Ketika memutar keran tidak ada air yang keluar.
“Juan.” Aku keluar dari kamar mandi, berniat untuk meminta bantuan Juan untuk membukakan keran air. Tebak apa yang kulihat! Dia tidak memakai bajunya. Juan baru saja melepas bajunya yang basah. Dia menatapku terkejut. Tangannya masih memegang bajunya yang basah. “Ada apa?” tanyanya dengan kaku.
“Aku tidak tahu cara membuka keran airnya.” Jawabku malu-malu. Aku tidak dapat menatapnya ataupun mengangkat kepalaku. Pipiku rasanya panas.
Juan berjalan ke arahku. “Dasar gadis bodoh.” ejeknya dengan geli saat melewatiku. Aku tidak bisa tidak tersenyum mendengarnya. Kalimat itu sama seperti kalimat yang diucapkan pria pemeran utama pada gadis yang disukainya di dalam film yang kami tonton. Saat melihat koperku, aku teringat kalau aku belum mengambil baju ganti dan cepat-cepat mengambilnya sementara Juan membukakan keran air untukku. Untung saja aku belum sempat mandi. Apa yang akan kulakukan jika aku lupa mengambil baju ganti? Tidak mungkin aku mengambilnya hanya dengan terbalut handuk dan juga tidak bisa meminta Juan untuk mengambilkannya.
Setelah kami berdua selesai mandi, kami turun ke restoran hotel untuk makan siang. Makanan di sana cukup enak dan banyak sekali orang asing yang menginap di hotel yang sama dengan kami. Di sana-sini banyak bahasa yang digunakan yang tidak kumengerti. Dua orang Bule menghampiri meja kami dan bertanya, “Can we join you? Well, there’s no table left here, so we wonder if you would share your table.” Ucap bule yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Jhon Wattson.
“Sure. Please have your sit.” Juan berdiri dan pindah duduk disebelahku.
Sambil menyantap makanan, kami berempat berbincang ringan (sebenarnya aku lebih banyak mendengarkan perbincangan mereka dan hanya dapat menjawab pertanyaan dengan yes atau no).
“So, you’re here for holiday?” tanya Juan.
“Yes. We plan to stay for two or three weeks here.” Jawab Bill pria yang satunya.
“Ah, I see.” Guman Juan.
“Are you here for honeymoon?” tanya Jhon.

Slice of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang