Side A / Chapter 1 - Part 2

1 0 1
                                    

            Perjalanan ke sekolah dengan membonceng sepeda motor memberikan nuansa yang sama sekali berbeda. Udara pagi menjadi lebih dingin kala menerpa wajah. Waktu perjalanan pun menjadi lebih singkat—terlalu singkat malah—, hingga ia tak sempat berbincang-bincang.

Sesampainya di gerbang sekolah, Paman Joni memberi beberapa wejangan. Yang paling utama adalah agar gadis itu tak terlalu khawatir dan fokus saja pada pelajaran. Kemudian sang paman memacu sepeda motor rombengnya menuju tempat kerja.

Dean menghela napas. Satu lagi hari melelahkan yang harus ia lewatkan.

Gadis itu segera berjalan memasuki halaman depan. Seorang pria tua petugas kebersihan tampak sedang menyapu daun-daun kering. Ia melihatnya setiap hari, tapi tak begitu mengenalnya. Oleh sebab itu ia menundukkan kepala dan memutuskan untuk terus berjalan, kalau saja pria itu tak menyapanya lebih dulu.

"Pagi, neng."

Otomatis Dean mengangkat wajahnya, lalu refleks membalas senyuman keriput itu dengan senyum yang dipaksakan. Tidak biasanya mereka bertegur sapa seperti ini.

"Semangat," kata si petugas kebersihan. "Banyak yang sayang dengan kakakmu. Kami selalu mendoakan yang terbaik. Polisi pasti segera menemukan Anggraini."

"Iya, terima kasih pak."

Dengan itu berlalulah gadis itu. Namun sebuah heran menyembul di hatinya. Memang sejak menghilangnya sang kakak, banyak guru yang ikut menyampaikan belasungkawa padanya. Tapi ia tak pernah tahu jika pria tua barusan juga cukup mengenal ia dan kakaknya.

Sapaan pagi tidak berhenti sampai di situ. Seorang guru dan beberapa kakak kelas yang berpapasan dengannya kerap menanyakan keadaannya, memanjatkan doa, atau sekedar menghiburnya.

Canggung sekali. Menurutnya sang kakak memang pribadi yang cantik dan menyenangkan, namun seminggu terakhir ini ia menyadari bahwa gadis itu sepopuler ini. Dibandingkan itu, tentu ia bukanlah siapa-siapa.

Begitu Dean memasuki kelas, bel tanda masuk ikut berbunyi, seolah merampas kesempatan terakhirnya untuk menghapal bahan ujian. Gadis itu hanya bisa pasrah, lalu menempati kursinya.

Tak lama Pak Prayogo datang. Pria itu memiliki mata sipit yang tajam, menebar teror dari balik kacamata persegi. Seketika atmosfer kelas berubah mencekam, terlebih ketika setiap pasang mata terpaku pada tumpukan kertas soal dalam genggamannya.

"Masukkan semua buku, hanya boleh ada alat tulis di atas meja," ujar pria itu berat dan mengancam. "Yang ketahuan mencontek, akan saya sobek kerta jawabannya pada saat itu juga."

Semua murid memasang ekspresi tegang—beberapa pasrah. Sang guru berhasil membuat ilusi bahwa mendapat nilai jelek adalah pilihan yang lebih baik ketimbang dipermalukan di hadapan satu kelas.

Kertas soal pun dibagikan. Dean mengintipnya dengan harap-harap cemas, sambil berdoa jika pertanyaan yang diajukan tidak terlalu sulit, atau sesuatu yang ia ingat di luar kepala. Sayangnya harapan itu kandas. Sebenarnya tidak ada pertanyaan yang sulit, hanya saja ia tidak sempat mempelajarinya.

Gadis itu pun menjawab seadanya, cuma beberapa nomor saja. Selepas itu ia menghabiskan waktu dengan memperhatikan teman-teman yang tampak bisa mengerjakan dengan lancar. Satu-satunya penghiburan bagi jiwanya yang lelah adalah saat bel berbunyi.

Dean lekas mengumpulkan kertas jawabannya, memutuskan bahwa nilai jelek akan menjadi masalahnya nanti, tak perlu dipusingkan sekarang. Sebisa mungkin ia menyelipkan kertas di antara teman yang lain, agar jawabannya yang kosong tak langsung disadari. Tapi saat ia mengira sudah berhasil bertipu muslihat, Pak Prayogo menyebut namanya. Membuatnya diam mematung.

"Dean."

"I, iya pak?"

"Kamu sehat? Wajahmu kelihatan pucat."

"Saya baik-baik saja pak," jawab Dean lega karena merasa lolos dari maut.

"Kalau kamu tidak enak badan, beristirahatlah di rumah. Tidak apa-apa, ujian bisa menyusul," kata Pak Prayogo sambil merapikan kertas-kertas jawaban yang sudah terkumpul.

Dalam hati Dean mengutuki nasib, mengapa Pak Prayogo tak mengatakannya sejak awal. Tapi setidaknya mungkin pria itu akan memaklumi nilainya yang jelek dan mau memberi kesempatan kedua.

"Baik pak," jawabnya kemudian.

Pak Prayogo pun meninggalkan kelas. Aneh, padahal biasanya pria itu tak memiliki toleransi bahkan pada murid yang sakit. Menurutnya jatuh sakit adalah kesalahan individu yang tak bisa menjaga kesehatan.

Mungkin ini karena pria itu sedang bersimpati atas kehilangan Dean.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Keabadian Di Bawah RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang