Prolog

2 0 1
                                    

Sore itu seperti sore-sore lainnya sepulang sekolah. Udara terasa panas, namun tetap lebih menyegarkan ketimbang suntuknya ruang kelas. Dean, seorang gadis 1 SMA, selalu menganggap saat-saat seperti ini sebagai waktu yang paling menyenangkan. Karena setelahnya ia bebas untuk melakukan apapun yang ia suka, seperti berbaring hingga terlelap.

"Kak," ia berbicara pada gadis lain yang berjalan di sampingnya. "Apa hari ini kakak langsung pulang?"

Hal menyenangkan lain yang Dean sukai adalah berbaring bersama kakaknya, lalu saling bercanda tawa hingga terlelap.

Namun gadis yang tampak lebih dewasa itu hanya tersenyum lalu menggeleng.

"Hari ini kakak ada pekerjaan paruh waktu."

Seketika Dean merasa kekecewaan. Tapi ia mengerti jika ia bukanlah anak kecil yang pantas merengek memaksa kakaknya pulang. Lagipula sang kakak pergi bukan untuk bersenang-senang, melainkan mencari tambahan rezeki untuk kelangsungan hidup mereka.

"Tunggu di rumah, nanti malam kita makan sate ayam." Seakan benar-benar memahami adiknya, sang kakak menghibur dengan iming-iming makanan favorit Dean.

"Se—serius kak?" tanya gadis yang masih merasa sangsi.

"Hari ini aku gajian," jawab sang kakak seraya mengedipkan sebelah mata.

"Ba—baiklah," ucap Dean sambil berusaha keras menyembunyikan kebahagiaan. Sudah terlalu lama ia hanya menyantap nasi dan mi instan sebagai makan malam. "Jangan lama-lama ya kak! Aku—" Ia terlalu malu menunjukkan liur yang sudah mengalir. "Aku ingin diajari biologi untuk ujian minggu depan!"

Sang kakak mengangguk.

Di situlah mereka berpisah.

Dean lekas pulang, menuju sebuah rumah—atau lebih mirip gubuk—yang terselip di antara rumah-rumah kumuh lainnya. Gang depan rumahnya hanya cukup dilewati satu orang, dan kadang ada kecoa yang ikut melintas.

Tempat tinggal gadis itu hanya berupa ruang dua kali empat meter, yang dibagi dua dengan sekat triplek menjadi ruang depan dan belakang. Ruang depan adalah ruang multifungsi, kadang menjadi ruang tamu, kadang, ruang makan, kadang ruang tidur. Ada lemari tua yang berisi pakaian dan buku, serta rak berisi perabotan, yang menambah sesaknya tempat itu.

Namun Dean selalu memegang teguh prinsip 'rumahku istanaku'. Maka di ruang sempit itulah ia berbaring nyaman melepas lelah, melakukan hal yang ingin ia lakukan semenjak di sekolah tadi.

Dan waktu pun berlalu.

Hari berangsur di gelap di luar sana.

Gadis itu terus menunggu kepulangan kakaknya, sambil menahan perut yang mulai keroncongan.

Sesekali ia tergoda untuk merebus mi instan, tetapi bayangan sate ayam kerap mengalahkan keinginan itu.

Untuk melupakan lapar, ia mulai membaca-baca buku biologi.

Sayangnya ia tidak tahu jika penantiannya akan percuma.

Karena ia belum sadar bahwasore tadi akan menjadi kali terakhirnya melihat sang kakak.    

Keabadian Di Bawah RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang