Side A / Chapter 1 - Part 1

5 0 0
                                    

            Saat membuka mata, Dean selalu berharap menemukan kakaknya terbaring di sebelahnya, seperti biasa. Atau ia membuka mata setelah dibangunkan dengan susah payah oleh sang kakak, seperti biasa. Namun ketika ia melihat sekeliling, harapan itu sirna seketika. Sudah satu miggu ia terbangun di dalam rumahnya sendirian, hal yang mampu menyebabkan ruang sempit itu terasa luas—atau kosong.

"Kakak di mana?" tanyanya pada kesendirian.

Sudah terlalu lama sang kakak tidak pulang.

Dean sudah ingin mencari ke tempat kerja paruh waktu sang kakak, ketika ia menyadari bahwa ia sama sekali tak tahu tempat kerja kakaknya. Saat ia mencoba mencari saksi mata, ia juga baru menyadari jika justru ia sendirilah orang yang terakhir kali melakukan kontak dengan sang kakak.

Segala ketidakberdayaan itu akhirnya berujung pada berbagai pikiran negatif yang membersit dalam benak silih berganti.

Apa terjadi sesuatu di tempat kerja?

Apa kakak mengalami kecelakaan?

Apa kakak diculik?

Apa kakak di—

Dean lekas menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir bayangan buruk tersebut. Kalau ucapan adalah doa, mungkin demikian juga dengan pemikiran. Karenanya ia harus tetap mengharapkan yang terbaik, agar kakaknya lekas kembali. Tanpa sang kakak, ia merasakan ada sesuatu yang hilang dari dirinya.

Masih dalam posisi berbaring di tikar, gadis itu melihat ke arah jam dinding. Sudah pukul enam lewat dua puluh menit. Ia masih belum akan terlambat berangkat ke sekolah jika mulai bersiap-siap sekarang.

Dean pun bergegas bangkit. Hanya untuk menyadari sebuah buku teks biologi tergeletak di sisinya. Gadis itu baru teringat jika semalam ia tengah mencoba untuk belajar, sebelum—entah kapan—tertidur begitu saja. Karena jam pelajaran pertama hari ini akan diisi oleh ujian biologi.

Gadis itu segera meraih bukunya lalu membaca materi dari halaman pertama. Dimulai dengan ciri-ciri virus. Yang pertama...

Ia menelan ludah. Ia sama sekali tak bisa mengingat ciri-ciri virus. Lebih dari itu, ia bahkan tak bisa mengingat apapun yang ia baca semalam. Sampai-sampai ia sendiri jadi ragu, apa semalam ia memang sempat membaca bukunya sebelum terlelap?

Akhirnya gadis itu menyimpan bukunya ke dalam tas. Mencoba belajar pada detik-detik terakhir adalah hal konyol. Lagipula saat ini apa pentingnya ujian biologi... Ia memutuskan untuk tidak peduli. Tak ada artinya ujian biologi tanpa sang kakak. Bahkan hidup, entah apa masih ada artinya jika sang kakak tak berada di dalamnya.

Maka gadis itu bangkit, lalu mencuci muka menggunakan tampungan air dalam ember, di ruang belakang. Ia merapikan rambut sebahu yang kusut. Cukup segitu saja, kemudian ia berganti baju seragam. Tak ada waktu untuk mengantri kamar mandi umum.

Setelah semua siap, Dean tinggal berangkat ke sekolah. Jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh lewat sedikit. Jika ia cepat sampai, mungkin masih ada waktu untuk belajar.

Saat ia hendak meraih kenop pintu untuk keluar, tiba-tiba terdengar ketukan dari luar.

Tok tok tok.

Seketika hati gadis itu berdebar. Siapakah tamu yang datang sepagi ini? Lali kedua matanya terbuka lebar. Harapannya membuncah. Dengan cekatan, mmbuka kunci lalu menarik daun pintu kuat-kuat. Mungkin kakaknya telah kembali.

Sayang, pada akhirnya hanya kekecewaan yang menyambut. Bukan sang kakak yang berdiri di hadapannya, melainkan sesosok pria paruh baya berkepala setengah botak. Setelan kemejanya rapi, lengkap dengan sebuah tas jinjing berwarna hitam.

"Paman Joni..." gumam Dean dengan nada kecewa, yang nyaris tak terdengar.

Bukannya ia tak suka melihat satu-satunya kerabat yang masih memiliki hubungan darah dengannya. Pria itu adalah orang baik, yang pernah menampung ia dan kakaknya setelah kematian ayah mereka dulu. Tapi mungkin karena keadaan ekonomi yang juga pas-pasan, setelah beberapa waktu istri sang paman meminta mereka untuk pindah.

Namun ia tak pernah marah. Ia sendiri tak ingin merepotkan keluarga pamannya. Lagipula tinggal berdua saja bersama kakaknya sudah cukup. Itulah yang saat ini membuatnya kecewa. Bukan karena ia tak suka melihat pamannya, tapi karena yang ia lihat adalah orang lain padahal yang paling ia harapkan sekarang adalah sang kakak.

"Dean, mau berangkat sekolah?" tanya Paman Joni lembut, memecah kemurungan sang gadis.

"Iya," jawabnya.

"Kamu kelihatan berantakan," ucap Paman Joni seraya memperhatikan Dean dari ujung kepala hingga kaki. "Sudah sarapan?"

Tentu saja belum. Bahkan di hari biasa pun tidak jarang gadis itu memiliki uang untuk dihamburkan dengan makan pagi. Ia pun menggeleng.

"Kalau begitu kita cari tukang bubur ayam dulu ya? Hari ini biar Paman antar ke sekolah."

Dean mengangguk. Tapi sebelum itu, ada satu hal yang ingin ia tanyakan meski takut mendapat jawaban yang tak ia harapkan.

"Paman," ucapnya, "Apa sudah menemukan petunjuk keberadaan kakak?"

Paman Joni mengerutkan kening, lalu menggeleng. Sebuah sinyal buruk yang membawa kekecewaan, walau Dean sudah menduganya. Jika memang ada kabar baik, sang paman pasti sudah menceritakannya sejak tadi.

"Bagaimana dengan polisi?" tanya gadis itu lagi, masih ingin memastikan. "Apa mereka tidak menemukan sesuatu?"

"Dean, tenanglah," kata Paman Joni seraya meremas bahu gadis itu. "Polisi sedang melaksanakan tugasnya tanpa istirahat. Kamu tinggal berdoa untuk yang terbaik." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Kalau kau mau, kau boleh tinggal bersama kami."

Sebuah tawaan yang sangat baik. Sudah sewajarnya berada bersama orang lain adalah cara ampuh untuk berlindung dari kesendirian yang menyakitkan. Tapi Dean merasa jika ia meninggalkan rumah ini, ia tak bisa menyambut ketika sang kakak pulang nanti. Terlebih lagi... karena baginya 'rumahku adalah istanaku'.

"Akan kupikirkan," jawabnya pelan, khawatir apabila penolakan secara langsung akan dianggap sesuatu yang kasar.

"Baiklah." Paman Joni mengangguk.

Dean menangkap sesuatu dalam ekspresi wajah pamannya. Kecewa? Kasihan? Ia tak yakin.

"Sekarang sebaiknya kita berangkat," Paman Joni melihat jam tangan tuanya. "Sebelum kau terlambat."

[j

Keabadian Di Bawah RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang