1. A Fight

999 91 10
                                    

1

|Shawn|

[18 Agustus 2017]

[New York]

"Shawn," tiga suara yang berbeda memanggil namaku sekaligus.

Aku menolehkan kepalaku ke sekitar namun hanya kegelapan yang kulihat.

"Shawn," aku tahu suara itu. Itu adalah suara ibuku. Putus asa ketika portal itu hampir menghisap seluruh badannya.

"Mom?" aku berteriak, tapi hanya disambut oleh kegelapan.

Aku mulai menggerakkan kakiku untuk berlari, tak tahu ke mana aku pergi.

Aku tersesat di kegelapan.

Jatungku berpacu dengan kencang. Kakiku mulai lelah akibat berlari. Tapi aku tak berhenti berlari di dalam kegelapan. Aku tak ingin menyerah dalam mencari cahaya. Aku haus akan cahaya. Aku butuh cahaya.

Dimana cahayaku?

"Shawn," suara lain berbisik samar-samar.

Aku berhenti berlari, kembali menolehkan kepalaku ke seluruh arah. Aku tak bisa menebak dari mana suara itu datang. Seperti suara itu datang dari semua arah.

"Shawn!" suara itu kembali berteriak. Seperti di dalam gua, suara itu bergema dan terus berulang di kepalaku. Membuatku semakin panik karena aku tak bisa menemukan asal suaranya.

"Siapa kau?" aku berteriak, suara itu tak menjawab. Namun tak berhenti bermain di kepalaku.

Aku harus keluar dari sini.

Cahaya. Aku melihat setitik cahaya.

Mungkinkah itu jalan keluarku?

Aku berlari, sangat kencang menuju cahaya kecil itu. Takut jika cahaya itu akan menghilang di dalam kegelapan ini. Cahaya itu adalah satu-satunya harapanku. Tujuanku untuk hidup di dalam kegelapan ini.

Ketika aku sampai di cahaya itu, aku bisa melihat diriku yang masih kecil dulu tersungkur dengan darah keluar dari mulutnya.

Tangannya memegangi kedua kaki yang ia dekatkan di dadanya. Baju kemeja putih dengan dasi biru yang ia kenakan kotor oleh darahnya sendiri. Tubuhnya gemetar hebat dengan bibir biru mati rasa yang terus menggumamkan sesuatu yang tak bisa aku pahami.

Matanya yang kosong beralih dari kegelapan yang ia tatap tadi menuju diriku yang di atasnya. Matanya memunculkan sedikit cahaya harapan, seolah aku akan menyelamatkannya dari kegelapan ini.

"Shawn... to...long, aku..." suara paraunya memasuki telingaku.

Ia bukan diriku.

Ia adalah Dylan, kembaranku.

Aku berlutut di sampingnya, berusaha untuk mengangkat tubuh kecilnya dengan kedua tanganku. Tapi ia menghilang. Ditelan oleh kegelapan.

Sekarang aku di dalam kegelapan lagi.

Berusaha mencari-cari cahayaku yang telah hilang.

"Shawn.... keluarkan...ku dari sini..." sebuah suara menyeruak dari seluruh penjuru kegelapan. Suaranya yang serak dan parau kembali membuatku ingin mencarinya.

Ia membutuhkan pertolonganku.

"Shawn... Shawn..."

"Shawn!"

Aku terlonjak dari kasurku, aku segera bangun dari kasurku. Tepat setelah aku membuka mataku, aku menatap sepasang mata hijau di depanku. Aku mengerang ketika melihat mata itu. Tubuhku jatuh kembali di atas kasur apartemenku, lalu menarik selimut sampai ke atas kepalaku.

"Shawn! Bangun!" selimutku ditarik olehnya, udara dingin langsung menusuk-nusuk kulitku. Aku mengambil sebuah bantal di sampingku lalu menutup telingaku dengan itu sambil mengerang ke suara yang ia buat agar aku bangun.

"Shawn! Ayolah, kita harus pergi ke sekolah sekarang. Kau tahu kalau aku hanya diantar olehmu." Suara itu mengerang kepada ku yang tak mau bangun dari kasurku.

Aku tak ingin bangun.

"Shawn, bangunlah. Atau aku akan menumpahkan kopiku ke atas laptop kesayanganmu itu." ancamnya.

Aku bergumam, "Oke, oke" lalu bangun dari kasurku. Aku menguap panjang sebelum berjalan menuju kamar mandi lalu mandi. Tak butuh lama untuk aku selesai mandi. Setelah mandi aku segera memakai jeans dengan kemeja kotak-kotak berwarna merah yang di dalamnya aku pakaikan kaus putih.

Aku tak perlu cermin untuk mengecek penampilanku. Aku menyisir rambut hitamku dengan jari-jariku saat aku berjalan keluar kamar menuju dapur apartemenku. Bau bacon berlarian di udara dengan suara mendesisnya yang terdengar saat bacon itu dimasak.

"Apa kau yang memasak semua ini, Mia?" tanyaku terpukau ketika melihatnya mengisi dua piring di atas meja dengan bacon yang baru ia masak. Di sampingnya ada telur mata sapi, roti panggang, dan sebuah gelas berisi jus jambu berdiri di samping piring itu.

"Yeah... "

Tak menunggu lama lagi, aku segera melahap potongan pertama dari sarapan di hadapanku.

Aku mendesah saat aku mengunyah potongan surga itu.

"Ya ampun, seharusnya kau lebih sering memasak di tempatku."

Mia tak berkata-kata, hanya menyeringai gembira ketika melihatku melahap makanan itu hingga habis.

.

.

.

Lorong kelas sebelum bel berbunyi bagai lautan manusia dimana aku harus bisa menjaga jarak antara siswa lain. Maksudku, dengan orang yang sebanyak ini bagaimana aku bisa lewat tanpa menyenggol seseorang?

Ada sekelompok siswi yang bergerombol, wajah mereka tebal dengan foundation, bibir mereka yang dilapisi lipstik ternama, dan membusungkan payudara palsu mereka. Mereka adalah Barbie plastik. Aku sangat yakin bahwa mereka sudah menjalankan operasi plastik dari ujung rambut hingga ujung kaki mereka.

Mereka meracau di pinggir lorong dekat deretan loker, membicarakan bagaimana kapten football yang kekar dan menawan itu saat berjalan melewati gerombolan mereka. Bagaimana gerombolan pemain football itu menebar pesona mereka. Walau semua orang tahu bahwa mereka adalah playboy nomor satu serta anak nakal, tapi entah mengapa semua wanita tetap mengidolakan mereka.

Gerombolan peman football itu berhenti di ujung deretan loker, beberapa dari mereka menggoda setiap siswi cantik yang melewati mereka.

Aku mengeratkan tanganku di pinggang Mia dan berusaha tak menghiraukan saat melewati mereka.

Seseorang bersiul saat aku dan Mia berjalan di depan mereka.

"Apa kau mau berpesta denganku nanti malam, sayang?"

Aku tak menghiraukan mereka.

"Dia sangat sexy, benarkan Ryan?"

"Yeah, aku akan bercinta dengannya semalaman jika si sok jenius itu bukan pacarnya."

Aku menghentikan langkahku dengan tiba-tiba, menyebabkan Mia bertanya-tanya mengapa aku berhenti berjalan.

Aku memutar tumitku, berbalik menuju gerombolan football tolol itu.

"Diamlah, Ryan." Aku menegur Ryan-- si kapten football itu dengan kebencian.

"Oh, yeah? Jika aku tak mau diam, apa yang mau kau lakukan, kutu buku? Kau hanyalah sebuah kutu kecil yang sangat mudah untuk diinjak." Ryan maju berhadap-hadapan denganku, mencondongkan badan kekarnya itu. Tapi aku tak takut padanya.

Aku menatap mata hijau Ryan dengan sengit, dan Ryan menatap mata biruku dengan tajam.

Para siswa lain dengan perlahan mulai mendekati ke sekitar kami, tahu apa yang akan selanjutnya terjadi.

Sebuah perkelahian

LOOP ∞ A Never Ending CycleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang