Bab 3

1.7K 113 1
                                    


VOTE SEBELUM BACA !!!
WAJIBBB !!!
⚠⚠⚠

***

Dengan pelan, aku menyingkirkan tangan Justin dari lenganku. Aku menatapnya dengan penuh kesabaran, meski sebenarnya aku benar-benar marah dengannya. Justin mendesah, lelah. Aku terhimpit oleh tubuh Justin yang menjepitku dengan tembok. Deru nafasnya begitu terdengar di telingaku dan menerpa wajahku dengan hangatnya. Bibirnya benar-benar menggodaku. Dia menjilat bibirnya. Astaga?! Apa dia sedang berusaha untuk menggodaku sehingga aku akan segera memaafkannya?!

"Jadi, kenapa kau begitu cuek denganku 'huh?" tanya Justin.

"Just, aku tidak suka kau menjadi gigolo, itu pekerjaan yang menjijikkan dan entahlah Justin," ucapku mengangkat kedua bahuku. Tiba-tiba nafas Justin begitu memburu. Wajahnya benar-benar memerah sekarang. Aku seperti melihat iblis sekarang.

"Kau tahu apa Jo?" tanya Justin padaku, aku menggelengkan kepalaku.

"Itu karena aku terpaksa, kau mengerti apa kata dasar dari terpaksa?" tanya Justin dengan nada yang penuh dengan kesabaran. Kurasa sebentar lagi ia akan berteriak. Aku menganggukkan kepalaku dengan polosnya.

"Paksa?" tanyaku menjawab pertanyaannya. Aku sunggingan senyuman yang ragu.

"IYA! AKU MELAKUKAN INI KARENA AKU INGIN PERGI JAUH DARI PACIFICA! AKU BOSAN! BOSAN SEKALI! AKU INGIN PERGI KE ATLANTA, TEMPAT DI MANA SEHARUSNYA AKU TINGGAL!!" teriak Justin tepat di depan wajahku. Aku memejamkan mataku. Hatiku tidak sakit, tapi air mataku terjatuh begitu saja. Aku buka mataku lalu menghapus air mataku dengan baik-baik.

Dan lalu aku berpikir lagi. Dia bosan tinggal di Pacifica?! Justin menarik nafasnya yang panjang lalu membuangnya. Dan lalu ia menjauhkan tangannya yang berada di samping kepalaku. Kemudian, ia membersihkan celemeknya dengan kedua tangannya, lalu merapikannya.

"Kau tahu apa, Jo? Kau yang memintanya maka kau dapat itu," ucap Justin yang melengos pergi dari hadapanku. Aku menaikkan satu alisku sambil menatap Justin yang masuk ke dalam Restoran. Aku meminta apa? Oh, yeah. Aku mengerti sekarang. Tapi tidak apa-apa. Aku juga tidak ingin berbicara dengan Justin. Aku benci Justin! SEKARANG!

***

Malam ini aku pulang tanpa ditemani oleh Justin. Memang rasanya sepi, tapi tidak apa-apa. Sekarang aku membencinya. Sahabat macam apa dia?! Ish! Aku tidak membutuhkannya. Aku terus melajukan Vespa-ku dengan lambatnya. Hening sekali malam ini. Astaga, Tuhan. Apa aku bisa sanggup menjalani hidupku tanpa Justin yang seharusnya ada di sampingku?! Yeah, tentu saja Tuhan. Aku pasti bisa. Aku tidak perlu Justin. Aku tidak perlu Justin. AKU TIDAK PERLU JUSTIN!

Aku butuh Justin.

Kumasukkan Vespa-ku ke dalam garasi mobil ayahku. Kemudian, aku taruh helm ku di kaca spion, seperti biasanya. Kemudian, aku masuk ke dalam rumahku dan mendapati ayahku yang sedang menangis. Ayah menangis? Astaga! Kuhampiri ayahku yang sedang terduduk di sofa keluarga ini.

"Dad, kau kenapa?" tanyaku perhatian. Ayahku menghapus air matanya dan menatapku dengan senyuman di wajahnya.

"Tidak nak, ayah hanya ..hiks! Film Toy Story 3 sangat mengharukan! Hiks," tangis ayahku yang berhasil membuatku melongo. Hanya karena Film Toy Story ayahku menangis? Aku bahkan tidak mengira bahwa ayah selemah itu. Aku hanya dapat memutar bola mataku dan pergi dari hadapan ayah yang bersikap konyol.

Berbicara tentang Toy Story. Hmm, film ini memang mengharukan. Tentang persahabat dan kekeluargaan. Well, Woody. Aku menyukai Woody karena dia tampan. Andai saja dia benar-benar manusia, mungkin dia sangat terkenal di seluruh dunia. Kurasa. Dan, karakter dalam filmnya itu benar-benar meyakinkan. Di mana Woody yang selalu percaya dengan Andy meski Andy akan meninggalkannya. Ah, memang benar-benar mengharukan. Tapi, apa seharusnya aku seperti Woody yang di mana Justin adalah Andy?! Justin bilang bahwa dia sudah bosan tinggal di Pacifica, berarti dia akan meninggalkanku. Ah! Bicara apa aku ini?! Bodoh.

BIEBER IS UMM || Herren JerkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang