Jantungku

1.6K 91 1
                                    

Aku mendekap badanku untuk menghindari dinginnya hujan yang sangat amat menusuk. Sepertinya cuaca belakangan ini sangat tidak menentu. Tadi siang panas terik, sore ini dingin mencekam. Harusnya aku bawa payung tadi.

Aku tidak mungkin menelepon kak Maya sekarang. Aku yang ngotot tadi untuk tidak diantar dan dijemput di toko buku, dan ya aku menyesal sekarang.

Sebenarnya aku ke toko buku hanya alibi agar bisa pergi ke sebuah tempat futsal untuk melihat kak Badai yang latihan. Aku bahkan hafal jadwalnya latihan, Senin, Rabu, Sabtu.

Hujan turun semakin deras. Dan aku gak mungkin pulang dengan keadaan seperti ini. Masuk ke dalam toko buku pun sepertinya enggan.

Aku memutuskan untuk mengecek ponselku yang daritadi menganggur di kantong jaketku.

Bagus.

Bagus sekali.

Ponselku lowbat dan aku gak bawa power bank. Bisakah hari ini lebih buruk lagi?

"Sorry, Iris?"

Aku mendongak menatap seseorang yang sudah berdiri didepanku. Kak Badai. Astaga!

Aku masih mematung ditempat. Kutatap wajahnya, rambutnya dan juga kaosnya yang basah terkena hujan. Sepertinya dia mencari tempat teduh juga.

"Eh, kak Badai." Balasku kemudian.

Sungguh aku gak tahu kalau dia masih ada di sekitar sini. Karena tadi saat aku ingin ke toko buku, kulihat dia bersiap-siap untuk pulang. Karena takut ketahuan, akhirnya aku pergi dari sana.

Dia hanya tersenyum lalu mengusap-usap sambil meniup kedua tangannya. Aku agak kasihan melihatnya. Pasalnya dia hanya memakai kaos tanpa jaket. Rasanya ingin kutawarkan jaketku, tapi aku sadar bahwa aku juga kedinginan.

"Dingin ya, kak?" Tanyaku.

Dia mendelikkan matanya padaku. Ya Tuhan, Iris. Bisakah kau tidak membuat dirimu malu di depannya?

"Eh, eh maaf kak, gak usah dijawab."

Kak Badai hanya terkekeh kecil sambil melanjutkan menghangatkan diri. Sedang begini saja, ketampanannya tak berkurang sedikitpun.

Sadar ada yang memperhatikannya, dia pun menoleh ke arahku. Pandangan kami bertemu untuk kesekian kalinya.

"Lo kedinginan ya? Sampe gemetar gitu." Ucapnya sambil tetap melihatku. Bahkan saking fokus padanya, aku tak sadar bahwa badanku sudah gemetaran.

"Gak apa-apa kok, kak." Ucapku seadanya.

Dia pun terlihat seperti berpikir, dan akhirnya kembali memandangku, "gue anter gimana? Takutnya kalau lo masih disini nanti kena hipotermia."

"Masih hujan tapi kak."

"Udah agak redaan. Gue anter lo balik, tapi nanti kalau udah sampe rumah langsung mandi biar gak pusing."

Mimpi apa aku semalam bisa pulang bareng kak Badai?

"Gimana?" Tanyanya lagi. Aku pun mengiyakan.

Kami menuju motor merah yang ada di seberang jalan, dia memasang helmnya dan menyuruhku untuk naik.

"Pegangan ya, Ris. Gue ngebut nih kayaknya." Katanya agak pelan karena tertutup helm, namun masih dapat kudengar jelas.

"Nanti kalau kakak yang sakit gimana?" Tanyaku agak panik. Kenapa aku baru kepikiran, sih?

Kudengar tawanya dari balik helm. Dia melepaskan helmnya lalu menoleh ke arahku, "yaelah, gue 'kan cowok jadi sans aja. Udah lo pegangan aja. Kalau lo jatuh gue gak tanggung jawab ya." Setelah itu dia kembali memakai helmnya.

Aku pun langsung memegang bajunya yang terasa sangat dingin di tanganku. Tiba-tiba dia menggenggam tanganku dan merapatkannya ke pinggangnya. Setelah itu dia langsung menstarter motornya.

Astaga jantungku!

°•°

Pelangi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang