Broken Home

132 14 2
                                    




Genre: Fiksi Umum
Pengarang : Firaan_ dan intanayukh

Suara benturan terdengar jelas di telingaku. Aku menangis sambil terus meringis. Ada luka yang tidak bisa dijelaskan hanya dari darah yang terus merembes di kaos hitam yang ku kenakan. Sekali lagi, dentuman dinding suara kamarku terdengar diiringi dengan jeritan dari luar kamar.

Mengapa mereka selalu berteriak dan ribut? Batinku sambil membenturkan kepala bagian belakangku lagi ke dinding kamar. Darah mengalir semakin banyak.

Depresi- mungkin hanya satu kata itu yang mampu mewakili keadaanku saat ini.

Aku terus terisak. Air mataku sudah berhenti mengalir dan yang tersisapun sudah mulai mengering. Pita suaraku terasa sakit karena tidak berhenti menangis. Rasa penyesalan membuat dadaku semakin sakit. Aku menyesal. Aku menyesal telah lahir di dunia yang penuh keributan.

Kenapa kalian terus bertengkar? Kenapa kalian berhenti saling mencintai? Bukankah aku bukti cinta kalian? Jeritku dalam hati. Keributan antara kedua orang tuaku masih terus terdengar. Cacian. Bentakan. Umpatan. Semua menyatu dan menggema hingga ke setiap sudut ruangan.

Kubiarkan tubuhku meringkuk sambil bersandar pada balkon. Tubuhku mulai gemetar seiring dengan darah yang merembes keluar dari luka di kepalaku. Kaos hitam pekat yang kukenakan membuat darahku tidak terlihat dari luar. Kepalaku mulai pening dan pandanganku perlahan menjadi buyar.

Aku memejamkan mata untuk mengulang fragmen bahagia terakhir kali bersama keluargaku. Masa yang sudah lama terlewati. Masa bahagia yang belum ternoda oleh penghianatan cinta ibuku bersama kekasih mudanya.

"Aku tidak tahan lagi hidup denganmu. Aku ingin cerai!" Hinaan yang berasal dari wanita yang berstatus ibuku itu secara telak merusak khayalan manisku barusan. Sebuah memori indah tentang keluarga ini di masa lalu, yang entah kapan pastinya, aku sudah lupa.

Aku berjalan ke ruang tengah sambil bertumpu pada dinding, "Hentikan!" Jeritku.

Sontak mereka menghentikan perdebatan dan menaruh perhatian sebentar untuk menatapku. Aku sebisa mungkin menguatkan diri untuk berjalan normal. Aku mendekat ke arah mereka berdua, "Anda itu seorang Ibu yang seharusnya penuh dengan kasih sayang. Apa Anda tidak pernah memikirkan perasaanku dan ayah sebelum bercinta dengan pria lain? Dimana cinta Ibu ke kami yang dulu?" Gemetar pada tubuhku muncul lagi diringi tangis pilu.

PLAK

Tamparan keras mendarat sempurna di pipi kiriku sehingga membuat tubuhku terhuyung jatuh ke lantai. Ku lihat ayah berlari ke arahku dan segera memelukku erat. Entah berapa banyak air mataku yang menetes di pangkuanya kini.

"Ella, kenapa kamu menampar anakku?" Bentak ayah sembari mengepalkan kedua telapak tangannya kuat-kuat.

"Jangan ikut campur, Nisa! Ini masalah ku dengan suami ku!" Bentak ibu ke arahku. Bentakannya membuat hatiku semakin sakit. Dia sudah benar-benar hilang kendali atau cintanya kepada pria muda itu telah menghilangkan belas kasihnya sebagai seorang ibu.

"Apakah kau lupa ada aku diantara kalian, Ibu?" Isakku.

"Kamu cukup berdoa yang terbaik, Nis. Ayah percaya kamu kuat dan sabar. Ayo, ayah antar ke kamar!" Ucap ayah lembut sembari menuntunku untuk berdiri.

Aku masih enggan untuk beranjak dari pangkuannya. Mataku menatap lurus ke arah figura yang masih terpampang sempurna di dinding. Ku lihat kami bertiga- aku, ayah, dan ibu tersenyum lepas penuh bahagia di foto besar itu. Sebuah kenangan manis yang terpaksa harus dikubur dengan raha pahit. Dadaku semakin sesak. Rencana perceraian kedua orangku terus menghantui pikiranku. Aku benar-benar tidak ingin keluarga yang pernah dibangun atas dasar cinta ini mesti berakhir karena cinta yang lainnya.

Senyum tulus terukir pada wajah ayah yang mulai keriput. Wajah yang menjadi saksi bisu tentang betapa kerasnya dia bekerja untuk kami.

"Ayah kau jelas tidak muda lagi. Tapi cintamu untukku dan ibu bahkan selalu bertambah seiring bertambahnya hari pada usiamu," Ucapku terbata sambil menangis. Sekilas aku melihatnya tersenyum ke arahku.

"Ayah..?" Ujar ku lirih.

"Apa, Nak?" Kini aku dapat melihat air mata mulai turun dari mata hitamnya. Aku membelai pipinya seakan ini adalah kali terakhir aku bisa bersamanya.

"Aku selalu ingin yang terbaik untuk ayah. Jangan jadikan aku beban untuk ayah bisa hidup lebih baik. Nisa sayang ayah," Aku mengalihkan pandangan ke arah wanita yang sejak tadi masih berdiri angkuh ditempat semula, ".. Juga sayang Ibu," Lanjutku kemudian.

Wanita itu berjalan mendekat ke arah kami. Dia memegang pipi kiriku yang barusan ia tampar, "Maafkan Ibu, Nak," Ucapnya sambil terisak. Sejenak dapat aku rasakan kembali kehangatan cinta yang sejak lama aku rindukan. Kehangatan cinta keluarga yang utuh.

"Nak, kamu berdarah," Aku dapat merasakan kecemasan yang luar biasa pada ucapan ayah barusan. Aku menahan tangannya saat dia berniat menggendongku. Aku yakin dia berniat membawaku ke dokter.

"Percayalah bukan dokter yang ku butuhkan," Nada suaraku terdengar semakin lirih.

"Ayo, sayang kita ke dokter," Kini gantian ibu yang berusaha membujukku. Aku seolah dapat merasakan rasa bersalah dan penyesalan yang tersirat dari mata coklatnya. Warna mata yang sama dengan warna yang ku miliki, "Ayo, Mas, kita bawa Nisa ke dokter."

Meskipun samar, aku masih dapat melihat ibu yang menggenggam tangan ayah sebagai usahanya memaksa ayah agar membawaku ke dokter. Namun, ku lihat ayah hanya diam di tempat. Tubuhnya kaku.

"Kami sayang kamu, Nak," Ucap ayah sambil tersenyum.

Ayah, kamu memang selalu mengerti aku. Ini yang aku inginkan. Berada dipelukan kalian dan melihat kalian bersama sambil berpengangan tangan.

Aku tersenyum simpul sesaat sebelum pandanganku semakin buyar dan perlahan berubah gelap. Sekilas dapat kurasakan gemetar pada tubuh mereka, sesaat sebelum semua rasa itu benar-benar pergi.

Hanya satu pintaku
Ntuk memandang langit biru

Dalam dekap seorang ibu

Hanya satu pintaku
Tuk bercanda dan tertawa
Di pangkuan seorang ayah

Apabila ini
Hanya sebuah mimpi
Ku selalu berharap
Dan tak pernah terbangun

Hanya satu pintaku
Tuk memandang langit biru
Di pangkuan ayah dan ibu

Apabila ini
Hanya sebuah mimpi
Ku selalu berharap
Dan tak pernah terbangun

FicletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang