Prolog

269 7 6
                                    

"San, jadi nasib kita gimana? Kalau begini terus, kita bakal dapet D!"
"Sannn"
"Sania Zahiraaa!!!"
Teriakan itu membuat seorang gadis yang tengah bersender pada jendela terbangun dari lamunannya. Sania Nur Zahira. Itu nama lengkapnya. Ia merupakan salah satu mahasiswi komunikasi tingkat 1 di salah satu universitas swasta di Jakarta. Hijab lebar yang ia pakai, membuatnya selalu menjadi pusat perhatian di kampus ibu kota. Bahkan tak sedikit yang mencaci maki dan menjauhinya. Ucapan mereka terkadang meninggalkan luka yang amat mendalam baginya. Tapi sebuah senyuman masih tergores manis di wajahnya. Pertanda bahwa ia adalah gadis kuat yang masih istiqomah dalam takwa kepada Sang Khaliq, Allah swt. Kehidupan keras di Jakarta, membuatnya selalu rindu kampung halaman. Jika mahasiswi lain pulang sebulan sekali, ia akan pulang setiap minggu.
Bandung adalah tujuan untuk pulang. Kota dengan berbagai macam cerita. Kota dengan berbagai macam cahaya. Pulang ke kota itu membuat dadanya terasa sesak. Terlalu rindu untuk ditinggalkan tapi terlalu pahit untuk dilalui. Ingatan masa lalu masih menempel dalam memorinya, tentang bagaimana perjuangannya untuk pergi melanjutkan studi ke Jakarta. Sampai detik ini pun, rasa bersalah masih tersimpan dalam hatinya. Rasanya ingin sekali menunjukkan pada orang tuanya bahwa ia bisa menjadi seseorang yang sukses. Setidaknya dengan begitu rasa bersalahnya akan berkurang. Walau mungkin tidak semudah itu menghilangkan rasa benci orang tuanya pada Sania. Tapi dengan niat yang tulus dan doa yang selalu ia lontarkan setiap malam dalam sujudnya, ia akan terus mencoba memperbaiki segala sesuatunya.
Akhir-akhir ini ia sering sekali melamun. Hampir setiap waktu. Sania bahkan tidak tau apa yang sedang ia lamunkan. Terlalu banyak masalah yang datang menghampiri. Hanum sebagai sahabatnya sendiri pun cemas dan bingung melihat perilakunya. Seharusnya hari ini mereka berdua mempersiapkan presentasi mengenai riset yang sudah dilakukan, semuanya harus selesai besok, tapi mereka sama sekali belum melakukan apapun. Sudah lebih dari satu jam mereka diam di perpustakaan. Hanum semakin mumet karena tugasnya belum dapat diselesaikan.
"Astagfirullah... Kamu tuh kenapa sih? Bengong terus. Kita lagi banyak tugas, San."
"Kamu sakit ya? Lagi ada masalah?"
Hanum yang sedaritadi memperhatikan Sania semakin cemas pada sahabatnya itu. Tapi sudah berapa kali ia minta untuk bercerita, Sania malah diam.
"Aku ingin pulang, Han." Jawab Sania dengan nada lemas.
"Lho, terus presentasinya gimana? Aduh.. pening aku."
"Iya maaf tapi aku lagi kangen Bandung."
"Oalah kamu ini kayak anak TK aja hmm.. Ya sudah, mau aku antar?"
Sania menolak tawaran Hanum dan memilih untuk menggunakan kereta saja. Bukan tidak mau, hanya saja ia takut merepotkan Hanum. Hampir setiap hari ia merasa selalu menyusahkan, meskipun Hanum sudah bilang tidak keberatan. Karena tugas seorang sahabat bukan hanya mendengar cerita tapi ikut berpartisipasi dalam setiap cerita. Itu yang selalu Hanum katakan.

Dia Yang KupilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang