"Ibu sudah siuman, tapi tolong jangan membuatnya stress ya. Nanti jantungnya bisa kambuh lagi."
Kalimat dari dokter itu sangat membuat Sania bahagia dan lega. Selain sudah siuman, dokter juga bilang bahwa ibu sudah bisa pulang besok. Sania tidak sabar untuk melihat keadaan ibu. Sebenarnya ia agak ragu bertemu ibu apalagi ia sendirian. Tadi pagi Bi Asih izin untuk pulang ke rumah karena banyak pekerjaan disana.
Rasa ragu dalam hati Sania tidak bisa menutupi rasa rindunya pada ibu. Ia ingin sekali melihatnya. Perlahan ia menghampiri ibunya yang masih terbaring. Baru saja melangkah, tiba-tiba...
"Ngapain kamu datang kesini?!!" bentak ibu
Benar saja. Reaksi ibu sama sekali tidak berubah. Dari suaranya, dapat dirasakan amarah yang begitu besar pada Sania. Bahkan ia sama sekali tidak mau melihat wajah Sania. Tapi, Sania mencoba untuk tetap tenang dan tidak terbawa emosi. Ia takut kondisi ibu akan memburuk nantinya.
"Ibu, alhamdulillah sudah siuman. Maafin Sania ya, Bu. Sania baru sempet pulang sekarang, soalnya minggu kemarin ada...."
"Halah, masih ingat pulang kamu?! Sudah berapa kali aku bilang, kamu tidak usah pulang ke Bandung!"
Dalam keadaan seperti ini, ibu masih saja emosi. Sania terus mencoba untuk menenangkannya. Tapi, ibu malah semakin meledak-ledak.
"Keluar dari sini!"
"Tapi, Bu...."
"Heh, dengar baik-baik! Sejak kamu memutuskan untuk jadi muallaf, kamu bukan anakku lagi. Jadi berhenti memanggilku ibu! Sudah sana pergi!!!!" bentak Ibu.
Kata-kata ibu berhasil membuat air mata Sania jatuh kembali. Sakit. Sakit sekali mendengar ucapan itu. Selalu saja masalah hijrahnya diungkit kembali. Padahal sudah hampir setahun, tapi sepertinya masalah itu belum saja selesai.
Apa aku salah memilih jalanku ini Ya Allah? Kenapa ibu, orang yang selalu aku sayangi, terus saja membenciku karena hal ini? Aku harus bagaimana sekarang?
Kini semua membuat Sania semakin bingung dan merasa bersalah. Ia tahu, ia memang tidak terlahir dari keluarga Muslim. Tapi, setahun yang lalu tekadnya sudah bulat. Ia membacakan kalimat syahadat lalu memutuskan untuk berhijab. Bahkan ia mengganti namanya "Sanya Gruicella Raiyn" menjadi "Sania Nur Zahira". Tidak disangka, keputusannya membuat kontoversi baru dalam keluarganya. Sejak saat itu, apapun yang ia lakukan, selalu dikaitkan dengan alasan ia berhijrah.
Saat ia berusaha mengejar cita-citanya untuk kuliah ke Jakarta, orang tuanya tak pernah setuju. Tapi ia nekat. Meskipun semua resiko harus siap ia hadapi. Dan inilah yang paling Sania takutkan. Ketika orang tuanya sudah tidak respect, sulit baginya untuk meraih cita-citanya. Bagaimanapun, ridho Allah tergantung dari ridho orang tua.
***Hari ini, ibu sudah diizinkan untuk pulang. Sania dengan sabarnya, terus menemani ibu sampai tiba di rumah. Meskipun perasaannya masih kalut, sama sekali tidak mengurangi baktinya pada ibu. Raut wajah ibu sama sekali tidak berubah. Tak ada senyuman disana. Sebegitu besar perhatian Sania pada ibu, tetap belum bisa meluluhkan hatinya.
"Aku bisa sendiri!"
"Biar Asih saja yang melakukannya. Kau tak usah sok peduli!"
Selalu saja penolakan yang Sania dapat. Tapi, ia sama sekali tidak marah. Malah, ia senang sekali melihat keadaan ibunya sudah membaik.
Baru saja mereka tiba di rumah, tiba-tiba bel berbunyi. Bi Asih langsung membukakan pintu dan melihat siapa yang bertamu. Sania sedikit melirik ke arah pintu. Tapi ternyata tamu itu sudah tidak ada.
Cepat sekali.. pikirnya
"Siapa, Bi?" tanyanya pada Bi Asih
"Gak tau, Neng. Katanya sih temen Neng Sania waktu SMA. Cowok terus pakai kacamata. Nah, dia ngasih ini. Bunga buat ibu katanya semoga cepet sembuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Yang Kupilih
RomanceBerhijrah, tidak semudah yang Sania bayangkan. Banyak hambatan yang harus ia hadapi. Ia harus melewati kerasnya hidup sendiri. Bahkan ia tak bisa meminta tolong pada orang tuanya. Hanya Allah yang menemani setiap langkahnya dan sahabatnya, Hanum, ya...