Chapter 1 - Pulang

176 7 1
                                    

Gerimis menyambut kedatangan Sania sesampainya di stasiun. Senang sekali Sania bisa pulang dan menginjakan kaki lagi di kota ini. Karena minggu kemarin terjebak tugas dan tak bisa pulang, rasa rindu itu sudah tak bisa tertahankan. Meskipun orang tuanya tak pernah mengharapkan kepulangannya, Sania tetap rindu dengan mereka.

Pak, Bu, Sania pulang! batin Sania

Samar-samar terdengar adzan isya. Sania segera pergi ke mushola untuk sholat isya dan maghrib yang tadi sempat tertunda di perjalanan. Setelah sholat, hati Sania selalu lebih baik. Ketenangan dan kedamaian yang dulu sulit ia dapatkan, kini selalu ia rasakan. Semua pikiran kalutnya seperti hilang dan berganti menjadi sebuah semangat baru. Ia yakin, semua keputusan yang telah ia ambil sampai detik ini adalah cara Allah untuk menjaga dan melindunginya.

Dengan mantap, ia segera keluar dari stasiun. Tak sabar untuk segera sampai di rumah. Jarak rumahnya dari stasiun cukup jauh dan ojek sudah menjadi kendaraan langganannya. Tapi kali ini, sama sekali tak terlihat motor-motor yang biasa berjejer di pinggir stasiun dan siap melayani penumpang. Padahal ini baru jam 8. Sania bisa saja naik taksi, tapi uangnya tak mungkin cukup.

Tiinnnn!!!!

Suara klakson mobil sempat mengejutkan Sania. Sebuah mobil Avanza putih tiba-tiba berhenti tepat di depannya. Kaca mobil bagian kiri depan terbuka perlahan. Terlihat sosok lelaki yang sepertinya tidak asing baginya. Wajah yang sudah lama tidak ia temui. Tapi ia tak begitu yakin. Dilihatnya dengan seksama. Ternyata itu..

"Sania?" tanya lelaki itu penuh semangat.
"Mas Galih?"

Sania tidak percaya. Ternyata itu Galih. Lelaki yang dulu sempat membuatnya terjerumus dalam ikatan "pacar" lalu mencampakkannya begitu saja. Masih teringat jelas, bagaimana ia terluka dan merasa bahwa dunianya hancur begitu saja. Sampai akhirnya, Allah menolongnya keluar dari keterpurukan itu.

"Iya, ini saya. Sania apa kabar? Terakhir kali kita ketemu 3 tahun lalu yaa. Waktu itu kita masih SMA eh sekarang udah kuliah lagi, hehe.. Sania kuliah dimana? Di Bandung juga?"

Rentetan pertanyaan lelaki itu tak bisa Sania jawab. Ia masih terpaku tidak percaya. Masalahnya, ia dibuat pangling oleh penampilan Galih yang sangat berubah. Dulu lelaki itu urakan, tapi kini berpenampilan rapi dan mengenakan jas. Meskipun begitu, Sania tetap tidak mau sampai tergoda lagi. Ia segera menundukkan pandangannya. Ia tahu, jika terlalu lama bertatapan itu tidak akan baik.

"Alhamdulillah kabar saya baik. Saya kuliah di Jakarta, Mas. Sekarang sedang pulang kampung."
"Oh pulang? Ya udah, mau saya antar? Rumahnya dimana?"
"Engga, Mas. Ga usah." Tolak sania dengan cepat.

Di tengah pembicaraan mereka, hp Sania berbunyi. Tampak sebuah nomor yang tak dikenal menghubunginya. Sempat ragu untuk mengangkat, tapi perasaannya mengatakan seperti ada sesuatu yang penting.

"Assalamu'alaikum. Halo?"
"Wa'alaikumsalam. Neng, neng Sania? Ini bibi. Ibu masuk UGD, jantungnya kumat, Neng! Neng sekarang dimana? Masih di Jakarta? Cepet pulang, Neng. Kasian ibu."

Suara Bi Asih terdengar sangat panik. Beberapa kali diselingi isak tangis. Mendengar berita itu seperti hantaman yang sangat keras bagi Sania. Membuat hati Sania sakit, sesak, dan tak bisa lagi berkata-kata. Perlahan air matanya jatuh. Kakinya terasa lemas dan tak sanggup untuk berdiri. Menyesal karena minggu kemarin tak sempat pulang.

Astagfirullahal'adzim.. Ya Allah, cobaan apa lagi ini.. batin Sania menangis

"San, kamu ga apa-apa? Kenapa menangis? Ada apa?" Galih nampak cemas

Sania tetap diam dan tak menjawab pertanyaan Galih. Ia masih mencoba menguatkan diri dan terus beristigfar dalam hati.

"Halo? Neng Sania?"

Suara Bi Asih kembali terdengar. Sania mengambil napas dalam-dalam dan mencoba untuk tetap rileks.

"Iya halo, Bi. Sania baru saja sampai di Bandung. Ini masih di stasiun. Ibu gimana keadaannya?"
"Kondisinya kritis, Neng. Ibu dirawat di RS. Santosa. Neng Sania cepet kesini yaaa.."

"Ya sudah, Sania segera ke rumah sakit yaa, Bi. Bibi yang tenang, banyakin berdoa. Assalamu'alaikum."

Galih yang sedari tadi menangkap apa yang tengah dibicarakan, merasa khawatir.

"Jadi siapa yang dirawat di rumah sakit?" tanyanya cepat
"Ibu, Mas."
"Ya ampun, kok bisa? Ya sudah ayo masuk mobil! Saya antar."

Sania tak punya pilihan lain. Ia harus segera ke rumah sakit. Kondisi ibunya lebih utama dari apapun. Akhirnya ia mengiyakan ajakan Galih.

Sepanjang perjalanan, tak ada perbincangan dalam mobil. Sesekali Galih melemparkan pertanyaan, namun Sania tak menghiraukannya. Pikirannya masih kalut memikirkan kondisi ibu.

"Sudah sampai, San. Ayo kita turun."
Perkataan Galih memecah keheningan diantara mereka. Baru saja Galih mau membuka pintu, Sania segera menolak.

"Mas, lebih baik Mas Galih pulang saja. Biar saya sendiri yang melihat ibu."

Galih yang mengerti maksud dari kalimat yang Sania lontarkan, mengurungkan niatnya.

"Kalau begitu saya titip salam aja ya sama ibumu."
Sania mengangguk dan langsung turun dari mobil.
"Terima kasih ya, Mas. Maaf jadi bikin repot."
"Engga kok, malah saya senang sekali bisa ketemu kamu lagi. Saya pamit ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."

Perlahan mobil Avanza putih itu meninggalkan Sania yang masih berdiri di tempatnya. Sesekali pikirannya kembali melamun. Ia masih tak percaya dengan pertemuannya dan Galih. Entah hikmah apa yang ia dapat dari pertemuannya itu. Tapi ia tak mau terlalu memikirkannya. Kali ini bukan waktu yang pas untuk memikirkan hal seperti itu. Ia bergegas masuk ke rumah sakit untuk melihat keadaan ibu.

Dengan langkah cepat, Sania menuju UGD. Dari jauh, nampak Bi Asih sedang duduk di kursi tunggu. Ia segera menghampiri Bi Asih dengan berbagai pertanyaan yang ingin ia tanyakan.

"Assalamu'alaikum, Bi. Gimana keadaan ibu?"
"Wa'alaikumsalam, ibu masih kritis neng."

Mendengar jawaban bibi, Sania tak mau basa-basi. Ia ingin tahu apa penyebab semua ini dan apa yang terjadi saat ia tak pulang minggu kemarin. Namun raut wajah Bi Asih seperti tak mau menceritakan apa yang terjadi. Nampak rasa takut dan bingung dari tingkahnya. Tapi Sania terus membujuk supaya Bi Asih mau bercerita. Karena posisi Sania adalah anak dan ia merasa harus tahu masalah itu.

"Begini neng, sebenernya ibu sama bapak itu dari minggu kemarin berantem terus. Masalahnya sama seperti yang sudah sudah.. Hmm, mereka saling menyalahkan. Ibu nyalahin bapak katanya gak bisa ngedidik anak dengan baik. Gara-gara bapak katanya neng Sania tumbuh jadi anak yang susah diatur dan keras kepala. Terus bapak juga nyalahin ibu, katanya neng Sania keukeuh kuliah di Jakarta dan gak mau pindah ke Bandung teh gara-gara ibu gak pernah merhatiin neng. Sampai akhirnya, ibu..."

Mulut Bi Asih tiba-tiba berhenti, seakan tak sanggup lagi melanjutkan cerita. Dada Sania kembali sesak, rasanya seperti rapuh. Meskipun sikap ibu padanya tak begitu baik, ia akan tetap menyayangi ibu. Bagaimanapun, ibu tetaplah ibu. Perempuan tegar dan hebat yang sudah membesarkannya hingga bisa menjadi seperti saat ini.

Dia Yang KupilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang