***
Hari pertama masuk universitas. Aira menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada satu murid pun yang ia kenal disini. Ya, terima kasih pada nilai UN-nya yang pas-pasan.
"Eh, ketua senat tuh! Minggir-minggir!"
Mahasiswa-mahasiswi yang berdiri di lapangan sontak menggeser tubuh mereka untuk membiarkan sosok lelaki tinggi beserta dua temannya lewat dan naik ke panggung kecil. Lelaki tinggi itu adalah ketua senat dan dua temannya adalah pengurus senat.
"Hai, selamat datang di Fakultas Sastra!" Lelaki itu berkata lewat mikrofon. Beberapa siswi berdecak kagum melihatnya.
"Emm.., ngomongnya gue-lo aja kali ya? Umur kita juga kan pada gak beda jauh," katanya. "Nama gue Irfan, yang diujung sana namanya Fransisca, disebelahnya Irene, yang tinggi itu Rendy, dan yang disebelah gue ini namanya Tara."
Pengurus yang disebut namanya membungkukkan badannya pada mahasiswa-mahasiswi baru itu.
"Disini gue cuma mau bilang, kalo ada yang merasa keberatan sama apa yang disuruh kakak-kakak pengurus ini, kalian bisa kasih tau gue ya. Gue jurusan Sastra Jerman, kalian bisa cari gue di ruang senat." kata Irfan.
Mahasiswa-mahasiswi rata-rata mengangguk karena terkesima dengan ketua senat tampan mereka itu. Namun, Aira hanya menunduk. Bukan karena malu atau apa pun, tapi takut pada tatapan tajam yang diberikan dari si tinggi yang berdiri didekat ketua senat itu.
"Ya mungkin itu aja, gue gak mau banyak omong juga. Jadi, nikmatin hari pertama kalian ya!" Irfan turun dari panggung kecil itu dan membungkuk sebelum meninggalkan lapangan.
Mahasiswa-mahasiswi yang ramai tadi pun bubar, mencari tempat masing-masing untuk didatangi.
Aira menghela napas, melihat sebuah pohon besar dan duduk dibawahnya.
***
"Serius dia kuliah disana?" tanya Cia terkejut. Aira mengangguk.
"Dia negor lo gak?" tanya Cia. Kali ini, Aira menggeleng.
"Kalian satu jurusan?" tanya Cia lagi.
"Satu fakultas, beda jurusan. Dia sastra Cina, gue sastra Jerman. Dia juga satu tingkat diatas gue." jawab Aira.
"Terus masalahnya ada dimana? Kan jelas kalian jurusannya beda." Cia mulai bingung.
"Ketua senat satu jurusan sama gue, sementara dia anak senat juga. Pastilah dia bakal sering bolak-balik kelas gue."
Cia mengangkat bahunya, "Kalo untuk urusan satu itu, gue gak bisa bantu. Sastra Jerman kan emang mau lo dari dulu, masa gara-gara dia sering bolak-balik kelas lo terus lo pindah jurusan gitu?"
"Ck, kenapa sih kita harus ketemu lagi?" keluh Aira.
"Tanya sama Tuhan. Mama gue udah manggil tuh, gue balik dulu ya! Semangat kuliahnya my dearest cousin!" Cia menepuk pundak Aira sebelum keluar dari kamarnya dan menghampiri ibunya di ruang tamu keluarga Aira.
Aira menyandarkan kepalanya disandaran kasur, memutar kembali memori beberapa tahun lalu.
***
"Ra, lo cewek orang tapi gue sayang banget sama lo."
Aira membeku, menoleh pada Rendy dengan tatapan terkejut.
"Ren.. tapi.." Aira kehabisan kata-kata. Tidak habis pikir dengan Rendy yang tiba-tiba menembaknya saat pacarnya sedang menunggunya.
Aira melirik ke mobil diseberang jalan, pemilik mobil itu sudah memberi kode untuknya agar segera masuk.
"Ren, gue udah punya Iyan." kata Aira dengan berat hati.