Sang Pemimpi

30 2 3
                                    

[ s a n g    p e m i m p i ]

  
     
  

Jika kau bisa mengetahui 'mimpi' dan bisa mengendalikannya, berarti kau sama sepertiku. Lucid Dreamer. Tapi, aku lebih suka menyebut kita dengan panggilan 'Sang Pemimpi'. Kita? Iya, kita. Kau bisa mengendalikan mimpimu, 'kan?

Bagus, aku mau bercerita.

Eh, tunggu dulu. Apa kau juga pernah tidak suka dengan mimpimu dan berusaha bangun? Tapi, saat sudah bangun ternyata kau masih di dunia mimpi? Kalau iya, berarti kau sama sepertiku. Lagi. False awakening.

Nah, sekarang aku akan mulai bercerita. Siapkan kopi atau teh untuk menemanimu.

Ah, dimana sopan santunku. Maaf. Perkenalkan, namaku Via. Tetapi, teman-temanku suka memanggilku Pia. Dan bisa disingkat Pi. Jadi, panggil saja aku Pi. Senang berkenalan denganmu.

Oke, mari kita mulai.

Kau tahu? Aku dulu tidak sadar kalau aku adalah salah satu Sang Pemimpi. Dulu aku selalu suka dengan bunga tidur. Terlebih saat aku memimpikan negeri yang penuh dengan cupcakes. Anak kecil mana yang tak suka cupcakes atau permen atau cokelat? Aku selalu ingin membawa salah satu cupcakes di dunia mimpi kembali ke dunia nyata. Sayangnya, hal itu mustahil.

Sejak saat itu, aku mulai mencatat setiap detail mimpiku setelah bangun tidur. Ada buku catatan yang kutulis judulnya besar-besar 'JURNAL MIMPI PI'. Secara tidak langsung, aku mengasah kemampuanku sebagai seorang Sang Pemimpi.

Sampai saat itu tiba.


•••


Aku tidak ingat bagaimana mimpi bermula. Karena memang begitulah cara kerja dunia mimpi.

"Pia!" Seseorang memanggilku. Dia di depan sana. Berjarak kira-kira dua ratus meter dari tempatku berdiri dan sepertinya semakin menjauh.

"Woi! Lari, Pi!" Tentu saja menjauh, dia memang sedang berlari.

"Kenapa lari?"

"Bodoh! Kita dikejar ular karena ketahuan nyolong soal ujian!" teriak Stefi. Stefi? Ah, sudahlah. Anggap saja namanya Stefi.

Aku menoleh. Seketika tubuhku membeku. Tidak hanya satu ular. Di belakangku mungkin ada puluhan atau bahkan ratusan! Ratusan ular menggeliat mengejarku dan ukuran mereka bukan ukuran ular biasa. Mungkin satu ekor ular memiliki panjang delapan meter dengan bobot kurang lebih lima belas kilogram, atau mungkin lebih?

Lah, kenapa malah mikir panjang sama berat? Ah, bodoh! Lari, Pi. Lari!

Lagian sebodoh apa aku sampai nyolong soal ujian?

Aku mencoba berlari sekuat tenaga. Serius, sekuat tenaga. Sampai rasanya aku bermandikan keringatku sendiri. Menjijikkan.

Saat aku menoleh, ular-ular itu masih saja di belakangku. Malah jarak mereka hanya terpaut beberapa meter dari kakiku. Sialan!

Aku terus berlari, sedangkan Stefi sudah hilang entah kemana. Aku yakin, Stefi hanya figuran di mimpiku.

Di ceritaku ini hanya aku yang berperan protagonis dan ular-ular ini yang jadi lawan mainku, sang antagonis.

YAMANILOKA #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang